Banyak sekali jamaah/santri pengajian yang bertanya “Kapan pengajian akan dimulai lagi?” Ada yang menyatakan dalam bentuk pernyataan: “Gara-gara lama tidak ada pengajian, telinga ini isinya hanya madalah dunawi saja. Hagi jadi keras, bahagia damai semakin menjauh.” Ada yang menyampaikan kekesalannya dalam bentuk nasehat untuk saya: “Kiai apa takut sama corona, kok sudah lama tidak buka pengajiannya. Jangan takut pada corona, takutlah kepada Allah.” Masih banyak ragam keluhan masyarakat tentang lamanya tiada pengajian.
Pada satu sisi saya senang dengan keinginan mereka untuk segera ada pengajian dan kajian. Itu menjadi pertanda bahwa di hatinya masih ada cahaya iman. Adanya cahaya iman salah satunya adalah ditandai dengan kerinduan akan kebaikan dan penyesalan atas jauhnya hati dari tuntunan. Orang-orang seperti ini sadar bahwa bukan hanya badan yang membutuhkan makanan bergizi, hati pun membutuhkannya. Bukankah badan yang sehat tapi hatinya sakit itu lebih madlarat, lebih berbahaya, ketimbang badan yang sakit tapi hatinya sehat?
Pada sisi yang lain memang kita harus menjaga kamanan dan keselamatan bersama. Mengikuti peraturan pemerintah dan anjuran kesehatan menjadi penting dan kewajiban bagi semua warga negara. Berhati-hati dan waspada dalam menghadapi penyebaran penyakit, apapun itu macam dan bentuknya, adalah sangat perlu. Ini juga menjadi perintah agama dan bahkan masuk dalam katagori maqasid al-syari’ah yang perlu dituju.
Lalu, bagaimanakah jalan tengahnya? Banyak orang kota yang menjawab bahwa kita perlu memaksimalkan instrumen teknologi yang memungkinkan mengaji tanpa berkumpul. Kajian online adalah bentuk yang dipiihnya melalui berbagai macam perangat media sosial. Hal seperti ini sudah lazim dan marak dilakukan. Pondok kami yang di Surabaya pun sudah lama mengadakan pengajian online seperti ini. Apakah tidak ada titik lemahnya?
Ternyata pengajian online itu tidak gratis. Ada kuota internet yang harus dibayar. Bayarannya adalah tidak murah. Tagihan listrik dan wifi menanjak tajam. Biaya ini tidak hanya mengenai penyelenggara pengajian. Mereka yang ikut dari rumah masing-masing pun menanggung biaya sendiri. Bayak kuota kepada siapa? Siapa yang mendulang untung? Itu pertanyaan lain. Kelemahan lainnya adalah kemungkinan sambungan atau sinyal uang tidak stabil. Kelemahan paling parah adalah tidak seriusnya para peserta pengajian, yakni mengaji online sambil tiduran, masak, atau sebagai gaya hidup saja, bukan kebutuhan hidup. Tentu pahala dan barakahnya berbeda.
Mungkin saja pengajian online ini menjadi salah satu alternatif yang bisa dipilih. Namun itu kan bagi masyarakat kota yang kekuatan sinyal telekomunikasinya bagus, bagi masyarakat yang memiliki perangkat HP/laptop, uang serta kuota. Lalu bagaimana dengan masyarat yang tak memiliki akses itu semua? Bagaimana dengan masyarakat yang hanya memiliki kaki untuk melangkah ke pengajian dan tak punya uang apalagi alat komunikasi? Apakah mereka tak berhak mendapatkan pencerahan hati?
Sungguh pemerintah perlu memikirkan cara untuk terwujudnya kebahagiaan hati para rakyatnya. Tentu saja, hal ini perlu dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat. Nihilnya sentuhan keagaman, keruhanian, pada kehidupan masyarakat sungguh akan menjadi bom waktu yang akan meluluhlantahkan pembangunan, yakn dengan maraknya para pengkhianat dan kriminal. Mari kita ikut berpikir bersama. Apa kira-kira yang terbaik untuk kita lakukan?
No responses yet