• Catatan Singkat FGD dengan Mahasiswa Perguruan Tinggi di Surakarta

Dua di antara tokoh bangsa yang saya kagumi adalah Cak Nur (1939-2005) dan Kuntowijoyo (1943-2005). Karya kedua tokoh tersebut komplit terkoleksi. Beberapa tahun lalu, saat awal masuk di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2009), saya rela cari hutangan untuk membeli satu persatu buku keduanya. Terlebih ketika ada stand penjualan buku dengan diskon besar di selasar Student Center, bawah bangunan besar masjid Jami kampus. Strategi hutang untuk berburu buku ini menjadi pelengkap dari peniadaan jatah uang jajan ataupun membeli baju baru selama kuliah S1.

Siang tadi, 15 Agustus 2020, betapa bahagia dan antusiasnya saya ketika mendengar beberapa mahasiswa dengan wasis merujuk pemikiran kedua tokoh di atas. Diskusi dengan aktivis BEM dari Universitas Nahdhatul Ulama Surakarta, IAIN Surakarta, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).  Masing-masing menyampaikan pandangannya tentang urgensi dan relevansi moderasi beragama di kalangan mahasiswa. Tentunya banyak hal yang menarik disampaikan, terlebih ketika Dr. Gun Gun Heryanto, pakar komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memantik diskusi dengan kerangka teori konstruksi sosial.

Salah satu hal yang terkesan adalah respon balik dari peserta diskusi yang mengangkat prespektif Islam inklusif dan ilmu sosial profetik. Dua konsep penting yang diwariskan oleh Cak Nur dan Kuntowijoyo ini menjadi titik tolak untuk membincang tantangan mahasiswa di era saat ini. Di antaranya ialah tantangan generasi muda merawat keragaman Indonesia melalui moderasi. Menghormati perbedaan serta mengupayakan titik temu di antara ragam ideologi. Ujungnya, tidak mudah terjebak pada sikap ekstrem dan ekslusif. Tertutup untuk berdialog dan mendengar pendapat orang lain.

Saya semakin tertegun ketika ada peserta yang bercerita tentang perjalanan pencarian jadi diri. Sebelum masuk perguruan tinggi, ia adalah salah satu pendukung ide jihad ke Timur Tengah dan ide khilafah ISIS. Bahkan sempat berbaiat. Namun setelah masuk di Universitas Muhammadiyah Surakarta, pandangannya pelan-pelan berubah. Nilai-nilai keislaman yang didakwahkan oleh Muhammadiyah membuka cara pandangnya. Telaah jalan dakwah kebudayaan yang banyak ditulis oleh Kuntowijoyo terkesan di benaknya. 

Demikian halnya, Islam inklusif juga menjadi panduan penting bagi peserta diskusi dari UNS. Diakuinya, UNS dengan keragaman latar belakang mahasiswanya, formula Islam inklusif adalah sebuah keniscayaan. Lebih-lebih, untuk menjaga harmonisasi keragaman yang ada. Di lingkungan kampus UNS, masing-masing agama memiliki tempat ibadah. UNS menjadi miniatur keragaman suku, budaya, dan agama di Indonesia.

Dari pengalaman otentik ini, penting kiranya, kajian dan diskusi pemikiran-pemikiran para guru bangsa terus dihidupkan. Karya-karya Cak Nur, Kuntowijoyo, dan Gus Dur merupakan warisan penting bagi generasi penerus bangsa. Khususnya dalam menjalinkan nilai keislaman, keindonesian, dan kemodernan. Di tengah terpaan ragam wacana dan limpahan informasi di media sosial, pemikiran para guru bangsa tersebut dapat menjadi inspirasi.

Lantas tertarikkah anda?

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *