Oleh : Zainul Milal Bizawie (Sejarawan, penulis buku Masterpiece Islam Nusantara)
Pada tahun 1919, KH A Wahab Chasbullah bertemu tiap hari Kamis siang di Kota Surabaya dengan dua saudara sepupunya, Syekh Hasyim As’yari dan HOS Tjokroaminoto. Tjokroaminoto disertai menantunya Soekarno, yang kemudian hari disebut Bung Karno (Gus Dur: 2009). Mereka mendiskusikan hubungan antara ajaran agama Islam dan semangat kebangsaan.
Kenyataan politik di bawah kolonialisme Belanda menyadarkan aktivis gerakan Islam dan gerakan nasionalis sebelum masa kemerdekaan. Dari kesadaran itulah lahir berbagai gerakan Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang memimpin kesadaran berbangsa melalui jaringan masing-masing.
Semangat kebangsaan di sini dalam arti menolak penjajahan, pencarian jati diri sejarah masa lampau negeri sendiri. Syekh Hasyim Asyari menyadari bahwa secara kultural, gerakan Islam dan nasionalis berbeda satu dari yang lain, tetapi dari sudut ideologi berupa kebutuhan akan kemerdekaan, adalah satu bangsa.
Munculnya aspirasi negara bangsa sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda dan diskusi intensif antara Tjokroaminoto dengan Syekh Hasyim Asyari dan Kiai Wahab Hasbullah, berujung pada Muktamar NU ke-9 di Banjarmasin pada tahun 1935, yang memutuskan NU tidak akan mendirikan negara Islam. Pada tahun 1933, Syekh Hasjim Asyari memerintahkan putranya, Kyai Wahid Hasjim yang baru pulang dari Tanah Suci Mekkah untuk mempersiapkan Muktamar NU ke-9 di Banjarmasin (Borneo Selatan), dimana akan dibahas tentang kebangsaan.
Saat itu, para kyai merasa perlu membahas secara intensif terus antara ajaran agama Islam dan paham kebangsaan tersebut. Karenanya, sejak berdirinya negeri ini ajaran agama Islam tidak bisa lepas dari faktor kebangsaan tersebut (Gus Dur, 2008). Kalau hal ini dilupakan, maka perjuangan Islam di negeri ini hanya akan diikuti oleh jumlah kecil dari para anak bangsa.
Mayoritas anak bangsa itu tidak biasa berjuang terlepas dari faham kebangsaan, karena hal itu memang sudah lama dilakukan di negeri ini. Paham kebangsaan perlu didialogkan, guna menampung hal-hal yang bersifat lokal. Tetapi ini tidak berarti ditinggalkannya ajaran Islam, atau dibiarkannya hal-hal yang bersifat lokal itu, melainkan untuk menjaga agar hubungan antara lokalitas dan ajaran Islam itu tidak sampai bertentangan. Mengembangkan pandangan ini, berarti menganggap ajaran Islam itu komplementer terhadap ajaran-ajaran lain, bukan menjadi alternatif.
Seperti juga ungkapan para ahli fiqih bahwa, tindakan dan pandangan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpinnya sangat erat terkait dengan kesejahteraan mereka. Ini berarti, sang pemimpin haruslah selalu mendasarkan tindakan-tindakannya dengan tujuan kesejahteraan dan keadilan para pengikutnya.
Dalam Muktamar tersebut salah satu masalah yang diajukan kepada Muktamar berbunyi wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia Belanda, padahal diperintah orang-orang nonmuslim? Muktamar yang dihadiri oleh ribuan orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya secara agama, karena adanya dua sebab, pertama, karena kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam. Kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah ada Kerajaan Islam.
Jadi, sesungguhnya negara Indonesia adalah dar Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir (Belanda), tetapi nama negeri Islam masih selamanya. Negeri ini pernah mengenal adanya kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya sebagian masih menganut dan melaksanakan ajaran Islam, dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu atau diusik.
Negara Indonesia dapat dikategorikan sebagai darul Islam (daerah Islam), bukan daulah Islamiyyah (pemerintahan Islam), karena mayoritas penduduk di wilayah ini beragama Islam dan dapat melaksanakan syariat Islam dengan bebas dan secara terang-terangan.
Keputusan tersebut merujuk dari kitab Bughyatul Mustarsyidin (hal. 254) karangan Sayed Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar atau dikenal dengan Syeikh Balawi, pada bab Hudnah wal Imamah, yang artinya Setiap kawasan di mana orang Muslim mampu menempatinya pada suatu masa tertentu, maka kawasan itu menjadi daerah Islam yang ditandai dengan berlakunya hukum Islam pada masanya.
Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan Islam terputus oleh penguasaan orang-orang kafir (Belanda), dan melarang mereka untuk memasukinya kembali dan mengusir mereka. Jika dalam keadaan seperti itu, maka dinamakan darul harb (daerah perang) hanya merupakan bentuk formalnya, tetapi bukan hukumnya. Dengan demikian perlu diketahui bahwa kawasan Batavia dan bahkan seluruh Tanah Jawa (Nusantara) adalah dar Islam (daerah Islam) karena pernah dikuasai umat Islam, sebelum dikuasai oleh orang kafir (Penjajah Belanda). (ditetapkan di Banjarmasin 19 Juni 1936)
Keputusan tersebut setelah diadakan penyelidikan baik yang bersifat historis bahwa kawasan Tanah Jawi atau Bumi Nusantara ini adalah sebuah negara yang diperintah oleh berbagai kerajaan Islam, yang di dalamnya berkembang tradisi dan kebudayaan Islam baik dalam bentuk kesenian, sistem pengetahuan sistem politik dan perekonomian. Para Sultan atau raja itu memerintah berdasarkaan ajaran dan tradisi Islam, apalagi mereka mendapat bimbingan para wali dan ulama, sehingga di situ berjalanlah norma-norma Islam dalam pemerintahan.
Pemerintahan raja-raja Islam itu kemudian direbut oleh penjajah Belanda yang kemudian berganti menjadi pemerintah Hindia Belanda di atas Bumi Nusantara ini. Walaupun Bumi Nusantara telah dighasab (dijarah) oleh Belanda tetapi bumi ini tetap merupakan masyarakat Islam. Sebab walaupun telah ratusan tahun dijajah Belanda, budaya Nusantara tetap berhasil dipertahankan dan mayoritas penduduknya Islam.
Apalagi dengan sikap kalangan ulama pesantren yang non kooperatif total terhadap semua budaya Belanda, maka tradisi Islam Nusantara nyaris tetap lestari, baik sistem pengetahuan, sistem kepercayaan, hukum dan Termasuk politik, tetap dipertahankan. Penjajahan hanya numpang di permukaan, sementara basis masyarakatnya masih basis Nusantara dan basis Islam. Dalam pengertian itulah Indonesia ditetapkan sebagai dar al Islam yakni wilayah yang dihuni umat Islam.
Mengenai cita-cita Indonesia sebagai negara bangsa sebagaimana yang dirumuskan oleh para aktivis pergerakan itu dianggap sudah memenuhi aspirasi umat Islam, karena di dalamnya ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan menjalankan agamanya secara bebas. Dengan demikian umat Islam tidak perlu membuat negara lain yang berdasarkan syariat Islam, karena negara yang dirumuskan telah memenuhi aspirasi Islam (Muním Dz, 2012: 51-52).
Keputusan ini telah melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan di Indonesia. Dari sini dapat diartikan bahwa pemerintahan dinilai dari fungsionalisasinya, bukan dari norma formal dari eksistensinya, negara Islam atau bukan. Konsep yang seperti itu dalam mendudukkan pemerintahan pada posisi netral adalah inti dari pandangan mazhab Syafii tentang tiga jenis daerah, dar islam, dar harb dan dar sulh (daerah Islam, daerah perang dan daerah damai).
Menurut paham ini daerah Islam harus dipertahankan dari serangan luar, karena ia merupakan perwujudan normatif dan fungsional dari cita-cita masyarakat Islam. Daerah perang, harus diwaspadai dan diperangi karena berbahaya bagi kelangsungan hidup daerah Islam. Daerah damai atau sangga harus dipertahankan, karena syariah (dalam bentuk hukum agama/fiqh atau etika masyarakat) dapat dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara.
Pandangan inilah yang selama ini terpendam dalam khazanah kitab kuning bacaan para ulama mazhab Syafi’i, dan diaplikasikan dengan tuntas dalam kehidupan bernegara di Nusantara.
Baca juga : Menegaskan Hubungan Islam dan Negara (2) : Refleksi Harlah NU Menjelang Satu Abad
Menegaskan Hubungan Islam dan Negara (2) : Refleksi Harlah NU Menjelang Satu Abad
Comments are closed