Para leluhur kita sudah jauh lama berlatih khusyuk atau manjing atau transenden atau menekung yaitu dengan meditasi atau bertapa,

Itulah tujuan meditasi/bertapa serta tidak ada tujuan untuk sakti. Sehingga aktivitas kita full sadar total saat ini detik ini serta pikiran yang melayang2 dapat terkendali… Sholat dan ibadah bisa khusyuk total.

Tugu Golong-Gilig dibangun tahun 1755 pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I. Disebut Tugu Golog-Gilig, karena puncak tugu tersebut berbentuk golong (bulat), sedangkan  gilig (silinder). Tugu tersebut tingginya 25 meter. Tugu golong-gilig dulu oleh Hamengkubuwono I berfungsi sebagai tetenger (penanda) kota dan titik konsentrasi ketika Sultan Hamengku Buwana I berlatih meditasi/bertapa di Bangsal Manguntur Tangkil. 

Tinggi Tugu Golong-Gilig dahulu mencapai 25 meter dan minim hiasan kecuali garis mendatar yang dibuat menonjol di bagian tengah-bawah. Lutse Lambert Daniel Morin mengatakan tugu ini mengusung nilai filosofi manunggaling kawula lan Gusti atau menyatunya antara rakyat dengan raja dan Tuhannya untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan.

Tugu Golong-Gilig merupakan simbol keberadaan raja dalam menjalani proses kehidupannya yang dilandasi manembah manekung (transenden, manjing, Khusyuk, menyembah secara tulus) kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan disertai satu tekad menuju kesejahteraan bersama rakyat (golong gilig).

 Tugu Golong-Gilig runtuh digoyang gempa bumi pada 10 Juni 1867. Kemudian tugu direnovasi oleh Belanda pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII dengan mengubah bentuk dan tinggi yang berbeda dengan aslinya. Tubuh tugu berbentuk persegi, pada setiap sisinya dihiasi oleh prasasti yang menerangkan tentang siapa saja yang terlibat dalam renovasi.  Puncak tugu berubah bentuk menjadi kerucut spiral yang meruncing. 

Pendirian tugu kemudian dilakukan oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum Belanda JWS van Brussel di bawah pengawasan Pepatih Dalem Kanjeng Raden Adipati Danurejo V. Tugu Golong-Gilig kemudian diganti namanya oleh Belanda menjadi De Witte Paal (Tugu Putih) dan diresmikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII tahun 1889.

Selain nama, bentuk tugu juga diubah sehingga berbeda dari semula. Keraton Yogyakarta melalui laman resminya menjelaskan bahwa tugu yang baru berbentuk persegi dan berujung lancip alih-alih berbentuk golong dan gilig. Tingginya pun menyusut dari 25 meter menjadi 15 meter.

Perubahan ini dinilai merupakan usaha Belanda untuk melenyapkan simbol kebersamaan raja dan rakyat yang dilambangkan oleh bentuk Tugu Golong-Gilig.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *