Catatan Muhammad Munir

‌Membincang Manjopai adalah membincang berbagai peristiwa peristiwa sejarah yang menjadi gerbang utama mengenal peradaban Islam sekaligus pintu utama masuk para annangguru penganjur Islam dari Arab. Para pedagang dan penganjur Islam yang datang itu menjadi acuan dalam meriset jejak-jejak orang Arab di Mandar. Orang orang Arab yang terus berdatangan itu kemudian familiar ditengah masyarakat kita dengan sappan Puang Saiyye’. Para Habib, Sayyid dan bahksn Syarif pun dipanggil Puang Saiyye’. Tulisan ini tenru tidak dakam rangka memposisikan Manjopai sebagai satu satunya pintu masuk orang Arab ke Mandar, tapi gelombang besar orang orang Arab ke Mandar itu tertaut kuat dengan kampung bernama Manjopai ini.

‌Setidaknya di tempat ini merupakan salah satu daerah pesisir yang sering didatangi oleh pendatang dari luar pulau dulunya. Di tempat ini banyak kapal-kapal nelayan yang bersandar. Bahkan sampai saat ini pun ketika kita melihat ke arah laut, maka kapal dan perahu pun akan menjadi penghias penglihatan. Berlayar dari suatu daerah ke daerah lainnya di nusantara dengan tujuan berdagang, akhirnya ia sampai ke Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), dimana Habib Alwi membina masyarakat setempat, dengan membuka pengajian dan kebetulan ada beberapa pelaut-pelaut dari tanah Mandar ikut dalam pengajiannya dan dari sanalah ia mendapat banyak informasi tentang keadaan tanah Mandar (Idham, 2018)

‌Penyebaran orang Arab disini tidaklah terlalu banyak, hanya saja karena salah satu desanya yaitu Karama merupakan tempat yang pertama didatangi orang Arab keturunan Sayyid. Mereka diantaranya dari marga Bin Sahl Jamalullail dan Al-Attas. Tepatnya di Manjopai yang merupakan sebuah kampung di desa Karama.

‌Daerah ini dihuni oleh kebanyakan nelayan. Gambaran keadaan alamnyapun membentang di pesisir laut. Tanaman yang tumbuh di sekitarnya hanyalah kelapa, pisang dan pohon mangga. Itupun tidak terlalu luas. Jadi selain nelayan, warga di tempat ini pula petani dan pegawai. Sementara para perempuannya ada yang sebagai ibu rumah tangga, pedagang (ikan) di pasar, dan adapula yang perempuan (rata-rata gadis) berprofesi sebagai panggulang (buruh pembuat tali). Dikampung ini juga merupakan salah satu daerah pesisir yang sering didatangi oleh pendatang dari luar pulau dulunya. Di tempat ini banyak kapal-kapal nelayan yang bersandar. Bahkan sampai saat ini pun ketika kita melihat ke arah laut, maka kapal dan perahu pun akan menjadi penghias penglihatan.

Penyebaran dan kemajuan Islam di Mandar tak bisa dipungkiri adalah jasa baik dari orang orang Arab yang berdiaspora ke Mandar. Diaspora masyarakat yang diberi gelaran Puang Saiyye ini tersebar diberbagai daerah di wilayah Sulawesi Barat. Mereka terdiri dari berbagai marga atau fam. Salah satu marga yang menjadi geberasi awal adalah Marga Bin Sahl Jamalullail. Dari salah seorang keturunan AL-Attas yaitu Hasan bin Husain Al Attas dan Shodiq Al Attas, diperoleh informasi bahwa awal kedatangan khususnya dari keluarga Bin Sahl Jamalullail dan Al Attas itu tepatnya berada di daerah Manjopai Desa Karama Kec, Tinambung. Selain dari marga Al Attas, Ia pun merupakan keturunan dari marga bin Sahl Jamalullail dari jalur ibunya. Jadi antara kedua marga tersebut saling berkaitan. (Idham, 2018)

Dalam buku Varian Khazanah Keagamaan yang dierbitkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar (2018) disebutkan bahwa Bin Sahl Jamalullail ini adalah seorang Arab dari Hadramaut, Yaman. Mereka didatangkan atau diantar oleh nelayan Mandar yang senantiasa melanglang buana di lautan. Mereka pun ditempatkan di daerah tempat sandarnya kapal mereka dan bermukim disana. Masyarakat setempat sangat menaruh hormat kepada sang sayyid. Mereka pun dibimbing dan dibina praktek kehidupan ber-Islamnya.

Kedatangan orang Arab yang lainnya adalah datangnya dari marga Al-Attas. Sebagaimana hasil wawancara penulis bahwa keluarga Al Attas sebenarnya memiliki dua jalur kedatangan, yaitu dengan perdagangan dan dakwah. Pertama kali datang di tanah Mandar (masih di Manjopai) adalah Habib Alwi bin Husein bin Hasan Al-Attas. Ia merupakan putra dari seorang sayyid dari marga bin Sahl Jamalullail yang bernama Abdillah bin Husain bin Sahl Jamalullail yang menikah dengan salah seorang putri keraton Solo yang bernama Raden Ayu Bibah Patilasang. Dari pasangan inilah lahu Habib Alwi bin Abdillah.

Dengan latar belakang keulamaan sang ayah, maka Habib Alwi pun mengikuti jejaknya sebagai pendakwah. Sepak terjang berdakwah pun dimulai dari Jawa hingga Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dari penjelajahannya itu ketemu dengan nelayan Mandar di Lombok. Hingga kahirnya ia diminta oleh para nelayan yang sempat mendapat bimbingan darinya untuk datang ke Mandar.

Awalnya Ia tidak tahu dimana itu Mandar, namun karena ajakan tersebut, Ia lalu salat istikharah dan dalam sakatnya itu mendapat petunjuk yang baik. Berangkatlah ia ke Mandar bersama dengan nelayan itu Lalu kedatangan pertamanya di daerah Manjopai, Karama yang merupakan daerah pesisir yang dihuni oleh para nelayan.

Menurut sejarahnya, Habib Alwi bin Abdillah Bin Sahl Jamalullail pun menikah dengan salah seorang putri bangsawan di Balanipa. Ia menikah dengan salah seorang anak dari mara”dia (raja) di Mandar kala itu. Istrinya tersebut bernama Maniayah. Hingga akhirnya turunan mereka menjadi pertalian antara seorang sayyid dan bangsawan Mandar. Mereka berdua memiliki dua orang putri yang bernama Syarifah Rugaiyah dan Syarifah lntan. Syarifah Rugaiyah inilah yang kemudian menikah dengan salah seorang marga Al-Attas yang datang dari Balanipa Sinjai yang bernama Al Habib Alwi bin Husain Al-Attas. Jadi antara menantu dan mertua memiliki nama yang sama, namun dengan marga yang berbeda.

Setelah Habib Alwi bin Abdillah bin Sahl Jamalullail memiliki anak di Manjopai, Ia kemudian berpindah ke daerah Pambusuang. Tempatnya tidaklah terlalu jauh dari Manjopai, hanya sekitar tujuh km. Ia kemudian menikah dengan salah seorang perempuan Pambusuang. Dari pernikahan tersebut kemudian melahirkan seorang ulama besar juga yang bernama Habib Hasan Jamalullail Puang Lero. Ia lama berdakwah di Pambusang, juga mengirim anaknya ke Mekah untuk memperdalam ilmu Islam.

Di Pambusuang, ia diajak salah seorang muridnya yang bernama K.H. Muhammad Tahir untuk datang ke Campalagian berdakwah. Di Campalagian itu pula ia kembali menikah hingga akhirnya meninggal disana dan dimakamkan di dalam Masjid Besar Campalagian yang bertempat d’ Desa Bonde

Marga Al-Attas, berasal dari dua jalur, perdagangan dan dakwah. Jalur perdagangan inilah yang kemudian beranak cucu yang kemudian melahirkan tokoh di Polewali Mandar yaitu keluarga Sayyed Mengga Al-Attas. Sementara jalur dakwah melalui Al Habib Alwi bin Husain Al-Attas. Lebih lanjut yang berperan penting dalam kedatangan orang Arab Sayyed di Mandar adalah Habib Alwi bin Abdillah bin Sahl Jamalullail. Beliau memiliki hubungan baik di penjuru dunia seperti Malaysia. Ia pula yang berjasa mendatangkan keluarga Al-Attas yang merupakan kakek dari Puang Mengga. Keduanya sebenarnya memiliki pertalian juga hingga ke kakek-kakek mereka.

Marga lain yang sekarang terdapat di daerah Campalagian, tepatnya di Desa Bonde adalah Al Siraj krbdati jumlah mereka tidaklah terlalu signifikan laiknya marga Bin Sahl Jamalullail ataupun Al-Attas. Bahkan menurut narasumber (S. Usman Abbas) yang merupakan salah seorang marga Al-Siraj menuturkan bahwa hanya dirinya dan saudara-saudara serta ayahnya yang bermarga Al-Siraj. Selebihnya ia tidak mengetahui kalau pernah ada yang lainnya selain dari keluarga mereka.

Penyebaran marga Al-Siraj sepengetahuan S. Usman Abbas tersebut adanya di daerah Bugis. Konon Al-Siraj itu datangnya dari kakeknya yang bernama Ali Al-Siraj. Pertamanya ia melakukan jalur dakwah di daerah Bugis, kemudian datang di Bonde. Ia pernah menikah di sana dan memiliki keturunan. Kemudian di Bonde sendiri menikah dengan salah seorang warga yang bernama Sitti Dawiyah dan melahirkan Anak yang bernama Sayyid Abbas Ali Al-Siraj. Perkiraan tahunnya sekitar tahun 1920-an. Kedatangannya masih sangat belakangan ketimbang kedatangan orang Arab sebelumnya. Al-Siraj ini pun merupakan bangsa Arab dari Yaman.

Kedatangan Ali Al-Siraj hingga sampai di Mandar dengan alasan syiar Islam. Kebulatan tekadnya untuk melanglang buana ke berbagai belahan dunia juga dikuatkan oleh penentangan beliau terhadap keputusan Raja pada saat berada di negerinya. Alasan lain pemilihan daerah Campalagian khususnya di Bonde ini karena banyak yang bisa berbahasa Arab di tempat
tersebut. Yang tentu saja karena di tempat ini termasuk salah satu ladang pengkajian ilmu kitab, mulai dari kitab dasar atau pengajian dasar hingga kitab kuning atau yang sering disebut dengan kitab gundul.

Jalur kedatangan lainnya adalah dengan menikahnya Sayyid Miswar Al-Siraj dengan Farhanah binti Muhsin Al-Attas yang merupakan cucu dari Puang Bela yang tidak lain saudara kandung dari Sayyid Mengga (Puang Mengga). Konon Miswar Al-Siraj tersebut adalah kemanakan dari $. Abbas Ali Al-Siraj yang juga memiliki keturunan di Bonde Kecamatan Campalagian. (Bersambung).

sumber: FB Mandar Studies

3 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *