Catatan Muhammad Munir

Dari Masjid Imam Lapeo perjalanan kembali dilanjutkan. Kali ini titik kunjungan adalah Manjopai Desa Karama Kec. Tinambung Kabupaten Polewali Mandar. Manjopai yang sebagian sumber cerita dikaitkan dengan nama kerajaan Majapahit ini memang menyisahkan berbagai tinggalan sejarah. Manjopai dalam tutur konon merupakan tempat pelarian tentara Majapahit). Hal yang juga terkait penamaan kampung di Pulau Jawa adalah Ga’de (Ga’de berasal dari kata gede, bahasa Jawa. Dinamai demikian karena di tempat inilah awal mula datangnya seorang guru dari Jawa yang dikenal dengan nama Guru Ga’de (guru besar yang berasal dari Jawa), kampung Sumarrang (Semarang, Jawa), kampung Garassi’ (Gresik, Jawa), dan lain-lain.(Idham, 2018). Pelabuhan Galetto yang sebagaian informan mengatakan sebagai tempat berlabuhnya perahu perahu tradisional cina sejenis ‘gale’ yang menjadi penanda dasar penulisan toponimi daerah ini.

Bukan hanya itu, Manjopai ini merupakan daerah yang disinggahi pertama oleh salah satu ulama besar HABIB ALWI bin Abdullah bin Sahil bin Jamalullail, populer disapa “Puang Towa”. Beliau sosok pendakwah dan penganjur islam ditanah Mandar. Hidupnya dihabiskan dalam berdakwah. Habib Alwi ini mempunyai silsilah keturunan konglomerat dari Makkah, ayahnya bernama Abdullah yang masih salah satu keturunan dari Makkah. Kemudian Habib Abdullah berdakwah ke tanah Jawa dan menikah dengan Raden Ayu Habibah al-Munawwar putri dari Pati Lasem Jawa Tengah (sekarang dikenal Kota Solo). Masih punya silsilah keturunan dari kota Tarim tanah kelahiran Sa’adah Bani Alawi, keturunan Ahlulbait Rasulullah SAW. Dari pernikahan itulah lahir anak bernama Habib Alwi Bin Abdullah. Dalam pendidikan agama, beliau mengalami pahit dan tempaan belajar dari ayahnya. Kemudian dikirim ke Hadramaut dan Mekkah untuk mendalami ajaran islam. Setelah kembali dari Hadramaut dan Mekkah, Habib Alwi melanjutkan misi dakwahnya di tanah kelahirannya dan berbagai daerah termasuk Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) dan sampai ke Tanah Mandar (Sulawesi Barat), karena diajak oleh para pelaut Mandar disana.

Benerapa literatur menyebutkan bahwa Habib Alwy bin Abdullah bin Sahl Jamalullail adalah tokoh yang lebih dikenal dengan sebutan Puang Towa. Lahir di Lasem, Jawa Tengah pada 1835 Masehi. Habib ini mempunyai saudara sebanyak 15 orang yang tersebar di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, termasuk di tanah Mandar.

Sarman Sahuding menulis terkait pertemuan Habib Alwi dengan Muhammad Tha Thahir (Imam Lapeo) berawal ketika Habib Alwy tiba di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Di daerah itu sang Habib ini bertemu dengan orang-orang Mandar, atau lebih tepatnya pelaut-pelaut Mandar yang sudah lama bermukim di pulau itu. Perkenalan ini bermula dari pengenalan ajaran Islam. Sebagai tokoh yang mendalami Islam secara sempurna, Habib Alwy mengajarkan ajaran ini kepada warga pelaut Mandar.

Dari perkenalan dan asimilasi ini, Habib Alwy kemudian beroleh pengetahuan tentang daerah Mandar yang berada di bagian barat Pulau Sulawesi. Habib juga mulai terkesan sebab warga yang ada di Mandar umumnya sudah mengenal Islam sejak lama. Bisa dibilang bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas warga Mandar. Sejak itulah kemudian Habib Alwy berbesar hati untuk menguatkan keinginannya mengunjungi daerah Mandar. Suatu ketika, Habib dari Arab ini menumpang di sebuah perahu milik warga Pambusuang yang akan berlayar ke Sulawesi dengan tujuan ke tanah Mandar.

Setibanya di Pambusuang, Habib tinggal di rumah pemilik perahu itu. Daerah pertama yang didatangi Habib Alwy adalah Manjompai. Ketika itu sudah berdiri sebuah Masjid yang bernama Masjid Manjompai. Masjid ini dipimpin oleh seorang Imam yang bernama H. Kaisah, atau yang bergelar H. Kappung (1859-1900). Dalam fakta sejarah disebutkan bahwa Agama Islam mulai dikenal di kawasan Mandar sekitar tahun 1608 atau abad ke-17. Ketika itu Kerajaan Balanipa diperintah oleh Raja Balanipa ke-IV yakni Daetta Tommuane.

Selain di Manjompai, Habib Alwy juga mengajarkan Agama Islam di Pambusuang. Masyarakat Pambusuang menerima baik kehadiran Habib Alwy. Salah satu bukti penerimaan warga dan kedekatan sang Habib dengan tokoh-tokoh agama di Pambusuang adalah dengan dibangunnya sebuah Masjid di Pambusuang. Inilah buah dari prakarsa Habib Alwy bersama tokoh masyarakat Pambusuang.

Ketika di Campalagian, Habib Alwy bersama dua tokoh terpandang dalam Islam yakni KH Muhammad Arsyad Maddapungeng dan Muhammad Thahir atau Imam Lapeo. Pemuka agama Islam ini bersama-sama mengupayakan pembangunan sebuah Masjid di Campalagian. Habib Alwy merupakan guru Muhammad Thahir Imam Lapeo. Bersama sang guru dan murid ini kerap berkeliling ke daerah pegunungan untuk memperluas pengetahuan ajaran Islam yang sesungguhnya.

Muhammad Thahir Imam Lapeo adalah satu-satunya murid yang paling diandalkan oleh Habib Alwy. Sang guru dari Arab ini pernah beberapa kali menguji Imam Lapeo, dan ujian itu dinilai berhasil dilaksanakan oleh sang murid. Habib Alwy yang biasa dipanggil Puang Towa ini mengakhiri hidupnya pada 9 April 1934. Ia dimakamkan di komplek Masjid Besar Campalagian.

Dalam dokumen tertulis yang dihimpun oleh generasi penerus Imam Lapeo, disebutkan bahwa Habib Alwy pernah menikah dengan empat perempuan. Pernikahan pertama terjadi ketika masih di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dan dikaruniai empat orang anak. Pernikahan kedua dengan perempuan Mandar, yakni salah seorang anak Bangsawan Mandar yang bernama Kanna Cora. Pernikahan ini dikaruniai empat orang anak. Pernikahannya yang ketiga di Pambusuang dengan salah seorang puteri turunan pelaut atau anak dari Pua Padang, dan dikaruniai tiga orang anak. Pada pernikahannya yang keempat di Campalagian dengan seorang puteri yang bernama Cumeng, dan dikaruniai empat orang anak.

Setidaknya yang penulis dapatkan bahwa di Pambusuang ada pesantren yang tokoh penting dalam pembangunannya adalah dari Habib Alwi, yaitu Pesantren Nuhiyah yang dulunya adalah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) yang khusus dijadikan sebagai tempat mengkaji ilmu Islam seperti nahwu, Sharaf, fikih dan lain sebagainya.

Terkait pesantren, di Campalagian juga ada
Pesantren dimana pendirinya orang Arab yaitu Syekh Hasan Yamani dan S. Muhammad Said Hasan Al Mahdaly. Pcsantren tersebut kini diberi nama Pesantren Syekh Hasan Yamani. Pesantren dikenal banyak melahirkan muballig-muballig, khususnya di daerah Polewali Mandar bahkan ada yang berdatangan dari luar Sulawesi Barat.
(Bersambung)

sumber : FB Mandar Studies

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *