Catatan Muhammad Munir

Penelusuran Jejak Annangguru di Manjopai memang menggunakan durasi waktu yang cukup panjang dibandingkan dengan obyek sebelumnya. Ini dikarenakan Manjopai merupakan salah satu sumbu peradaban Islam yang tautannya dengan ulama penganjur Islam sangat kuat dan dalam. Di Manjopai selain diaspora orang Arab, daerah ini juga memiliki banyak tokoh agama yang punya karomah, antara lain KH. M. Yahya Abdul Razak yang tak lain adalah Imam Masjid Manjopai. Salah satu sumber mengatakan bahwa beliau ini menggali lubang yang akan digunakannya sendiri. Ketika itu, jamaah dan warga yang menyaksikannya merasa heran dan salah satu jamaah bertanya, “lubang itu untuk siapa Puang?”. Lalu dengan santainya ia menjawab untuk saya gunakan besok. Dan ternyata besoknya, beliau meninggal dunia dan lubang yang digalinya itu menjadi tempat istirahatnya yang panjang (wafat tahun 10 Juni 1967).

Karomah memiliki kemampuan untuk mengetahui waktu kematiannya memang sangat sering terjadi di Mandar. Termasuk H. Yahyadin yang lebih dikenal dengan Annangguru Pocci atau Imam Napo (Desa Napo Kec. Limboro). Suatu hari menjelang ajalnya, ia menyuruh istrinya untuk ke pasar belanja keperluan dengan jumlah yang agak banyak. Istrinya agak heran. Kenapa harus banyak? ” Untuk kalian gunakan besok bersama tamu dan warga disini, sebab besok saya akan berangkat”. Ternyata besoknya beliau mrmang berangkat memenuhi panggilan Tuhannya. Ia meninggal dunia tepat pada hari yang ditentukan dan persiapan untuk proses kematiannya tidak merepotkan sebab sebagian sudah dipersiapkan satu hari sebelumnya.

Yang menarik dari KH. M. Yahya Abdul Razak adalah jejak putranya yang bernama Dr. Nawawi Yahya Abdul Razak (Nawawi Al Mandary), doktor zakat pertama asal Nusantara jebolan Kuliyyah Syari’ah, Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Pada tahun 1980-an beliau telah berhasil mendapat gelar doktor dengan menyusun desertasi Fikih Zakat setebal 3000 halaman dimana desertasi tersebut telah diterbitkan oleh Kementerian Agama melalui Pusat LKKMO sejumlah 6 jilid untuk risalah doktoral di Universitas Al-Azhar pada tahun 1980. Karya tersebut dapat dikatakan menandingi kitab “Fiqh al-Zakat” yang disusun oleh ulama Mesir sebelumnya, yaitu Syaikh Dr. Yusuf al-Qardhawi.

Karya agung Dr. Nawawi sempat terlupakan selama sekian generasi lamanya, hingga pada tahun 2010-an, Dr. Muhammad Zain (saat ini Kepala Pusat LKKMO Kementrian Agama RI), berinisiatif untuk mencari dan menemukan kembali karya tersebut. Dengan dibantu oleh Dr. Wajidi (IAIN Pontianak) dan Dr. Muchlish M. Hanafi (saat ini Kepala Lajnah Pentashih Al-Qur’an Kemenag RI) akhirnya desertase Dr. Nawawi tersebut ditemukan dan telah telah terbit dalam bahasa Arab pada tahun 2018 (Ginanjar Sya’ban)

Nama lengkap beliau adalah DR. Muhammad Nawawi Yahya Abd Razak atau dikenal juga denhan nama Muhammad Nawawi al-Mandari. Beliau lahir tahun 1929 di Dusun Manjopai Desa Karama Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar. Ia dibesarkan dan dididik dalam lingkungan keluarga yang kental dengan tradisi agama Islam. Ayahnya adalah KH. Yahya Abdurrazak seorang imam masjid di Manjopai. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di kampung halaman di Mandar. Muhammad Nawawi al-Mandari meninggalkan kampung halaman sesaat setelah peristiwa pembantaian Westerling di Mandar. Peristiwa tersebut lebih populer dengan sebutan tragedi korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan khususnya di Galung Lombok Mandar.

Peristiwa maut Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Dalam peristiwa di Galung Lombok ini, selain korban tewas juga beberapa tokoh dan pemuda ditangkap di antaranya saudara kandung Muhammad Nawawi sendiri ikut tertangkap namanya Zawawi Yahya.

Sehari setelah peristiwa Westerling di Galung Lombok, Muhammad Nawawi yang pada waktu itu baru berumur 18 tahun tinggalkan Mandar menuju Sawitto Pinrang. Selanjutnya, ia menuju Makassar. Pada tahun itu juga ia berhasil berangkat ke Mekah dan Madinah. Beberapa tahun setelah menyelesaikan studinya di Madrasah tingkat Aliyah di Mekah, lalu selanjutnya ke Kairo Mesir hingga menetap dan menghabiskan usianya belajar dan mengajar di sana.

Sejak usia yang masih muda itulah Muhammad Nawawi al-Mandari berangkat ke Saudi Arabia selanjutnya ke Kairo belajar hingga umurnya lebih banyak digunakan di luar negeri termasuk di Eropa seperti di Belanda. Hidup beliau lebih lama di Kairo dibandingkan di negeri sendiri, Indonesia. Bahkan ia memperistri wanita mesir.

Tidak lama setelah menyelesaikan Program Doktornya di Universitas Al-Azhar Kairo, ia pulang ke kampung kelahirannya di Dusun Mojopahit Polewali Mandar. Sekitar satu bulan di kampung halamannya, ia wafat dalam keadaan mendadak pada hari Kamis 9 Februari 1984 dalam usia 53 tahun.

Riwayat pendidikannya tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah menengah diselesaikan di Mandar. Pendidikan selanjutnya di Madrasah tingkat Aliyah di Makkah al-Mukarramah Saudi Arabia. Setelah itu, Beliau ke Kairo Mesir masuk Program S1, S2, hingga S3 diselesaikan di Unuiversitas Al-Azhar Fakultas Syariah wa al-Qanun, Jurusan Fiqh al-Muqaran (Perbandingan Hukum dan Madzhab). Disertasinya diselesaikan pada tahun 1980. Muhammad Nawawi al-Mandari tercatat sebagai Doktor pertama bidang syariah khususnya zakat dalam perbandingan madzhab dari Asia Tenggara. Karya monumentalnya berupa disertasi terdiri atas 6 jilid dengan jumlah 3. 246 halaman.(Wajidi, 2018).

Terkait Dr. Nawawi, Kepala Puslitbang Lektur Khazanah Keagamaan dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Muhammad Zain mengungkapkan “Selama ini kita hanya disuguhi nama besar Syaikh Al –Qordhowiy tapi tidak banyak yang mengetahui tentang kepakaran Syaikh Nawawi Al Mandari dalam Fiqh Zakat, padahal Kitab Fiqh Zakat Syaikh Nawawi Al Mandari lebih unggul daripada karya Syaikh Yusuf Al Qordhowiy dalam keluasan analisisnya. Hal ini sebagaimana hukum jaminan sosial Prancis dan Romawi.”

Demikian pernyataan tersebut saat hadir dalam Sosialisasi Produk Puslitbang Kemenag RI, di Villa Bogor Majene Sulbar.

Dalam kaitan itu, Dr. Zain selalu menghimbau untuk mengeksplorasi naskah warisan ulama nusantara dalam konteks masalah agama dan bangsa saat ini. Sebab, ketidaktahuan masyarakat Indonesia terhadap magnum opus anak bangsa berkontribusi besar terhadap tidak dihargainya karya ulama besar anak bangsa di tingkat dunia. Bagaimana dunia akan menghargai bila anak bangsa sendiri tidak mengetahui apalagi memahami karya para pendahulunya yang mampu meruang dan mewaktu dalam kekinian”.

Naskah Kotab al-Zakah wa al-Nudzum al-Ijtimaiyah al-Mu’ashiroh karya monumental Syaikh Muhammad Nawawi Yahja Abd. Razaq seorang ulama asal Mandar yang penyusunannya bersamaan dengan Syekh Yusuf Al Qorodhowiy menyusun disertasi fiqh zakat.

Kejeniusan Syaikh Nawawi Al – Mandari, masih kata Zain, nampak jelas dari pilihannya menjadikan Syaikh Anis Ubbdah, Ia sebagai promovendus seorang pengajar yang terkenal teliti di Al Azhar. Di masanya di Al Azhar tidak ada lagi pengajar yang lebih ketat daripada Anis Ubbdah ini. Karena itu, terkenallah ungkapan “kalau promovendus Anda Anis Ubbdah maka Anda dipastikan lulus bahkan sebelum sidang disertasi dimulai”. Demikian ketatnya Syaikh Anis Ubbdah dan demikian nekatnya Syaikh Nawawi Al – Mandari untuk menjadikan standar tinggi Syaikh Anis Ubbdah sebagai alat uji yang tak terbantahkan tentang kualitas disertasi Fiqh Zakat yang disusunnya.

Begitu luas cakupan dan bahasan Nawawi sampai zakat rumah kos-kosan juga diulas. Perdebatan kewajiban zakat bagi orang gila pun tak luput dari uraianya. Pembahasan hukum-hukum Romawi dan Francis modern juga menjadi salah satu pokok bahasan disertasinya.

Penuturan keluarganya saat kami berkunjung bersama Dr. Zain dan Tim menjelaskan bahwa selain di Mesir, Dr. Nawawi juga pernah tinggal di Eropa. Nawawi selalu berucap bahwa saya akan menghabiskan seluruh umurku untuk mengkaji zakat. Tidak kurang 3.000 referensi yang dibacanya untuk keperluan penulisan disertasi. Disertasinya ditulis mulai tahun 1969 dan selesai tahun 1979. Ujian promosi doktor tahun 1980.

Beliau orangnya ramah, rendah hati, sangat menghargai lawan dialognya. Menurut Wajidi Zayadi, salah seorang cucu Syaikh Nawawi Al Mandari, dalam pribadi kakeknya itu menyatu IQ, EQ, dan SQ sebagaimana adap diri ulama lain yang jauh mendahului beliau. Dr. Wajdi juga memberikan kesaksian tentang syakhsiyah beliau. “Syaikh Nawawai Al – Mandari tidak pernah memikirkan perempuan macam apa yang akan menjadi pendampingnya kelak. Satu-satunya pernikahan yang dijalaninya adalah dengan seorang janda Mesir beranak dua. Alasannya sangat sederhana, beliau termasuk yang menganut paham bahwa dilarang sentuhan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya. Dikarenakan waktu itu beliau sakit keras dan harus dirawat oleh perawat profesional dan secara kebetulan yang menjadi perawatnya adalah seorang janda beranak dua maka beliau memintanya untuk dijadikan sebagai istrinya, Naimah namanya”.

Warisan kenabian yang bukan saja keilmuan namun berikut ketaatan dan kesalehan yang luar biasa dalam diri Syaikh Nawawi Al Mandari disegel dengan aktivitas di akhir hayat beliau. Beliau ditemukan orang meninggal di atas sajadahnya dalam keadaan mendekap kitab.

sumber: FB Mandar Studies

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *