Categories:

Bagi yang pernah mengenyam pendidikan Al-Qur’an, wabil khusus di pesantren Al-Qur’an, pasti punya pengalaman tak terlupakan saat harus belajar membaca surah Al-Fatihah hingga berhari-hari, seminggu bahkan satu bulan. Begitu sulitkah sekadar belajar membaca surah Al-Fatihah hingga butuh waktu lama?

Begitulah bentuk tanggungjawab seorang guru. Tanggungjawab dunia akhirat agar bacaan al-Fatihah santrinya benar – benar sempurna mengingat surah al-Fatihah menjadi rukun dalam menentukan sah tidaknya salat seseorang. 

Sisi lain dari sulitnya belajar al-Qur’an di pesantren dan ketatnya dalam memberikan ijazah keabsahan bacaan santrinya karena menyangkut tanggungjawab yang tidak ringan dalam mengajarkan al-Qur’an. Karena itu wajar sekali bila untuk mengajarkan surah fatihah saja butuh waktu lama sebagai bagian proses penting agar santri memahami sulitnya belajar Al-Qur’an dan tidak main-main dalam belajar.

Demikian itu proses ketat untuk bisa memperoleh sanad, di mana dalam dunia pesantren sanad menjadi hal paling urgen yang wajib dimiliki sebagai bukti ketersambungan mata rantai ilmu yang dipelajari dari gurunya hingga Rasulullah saw. Terlebih ilmu qiraat, di mana Al-Qur’an sebagai pedoman utama umat Islam wajib hukumnya dipelajari melalui kemampuan membaca yang benar sesuai dengan riwayat bacaan yang sambung hingga Rasulullah saw, sang pembawa wahyu.

Bagaimana dengan jalur sanad qiraat Syeikh Mahfuzh al-Tarmasi? 

Dalam hal jalur sanad  qira’at beliau memiliki dua guru utama. Yang pertama adalah Syeikh Muhammad  al-Minsyawi  (w.1314  H). Darinya Syeikh Mahfuzh medapatkan sanad Qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh. Guru keduanya adalah  Syeikh  Muhammad al-Syarbini al-Dimyathi (w.1321   H). Darinya Syeikh Mahfuzh mendapat sanad qira’at ‘asyrah (qira’at sepuluh). 

Di   antara   dua gurunya   tersebut,  Syekh   al-Syarbinî lebih memiliki  pengaruh besar pada kepakaran  Syeikh Mahfuzh di bidang ilmu qira’at. Hal ini bisa dilihat dari dua kemungkinan; pertama, lamanya masa mulazamah dan banyaknya  daftar  nama  kitab  yang  berhasil  beliau  pelajari dari Syeikh     al-Syarbini. Kedua, dalam beberapa manuskrip kitab qira’at, nama Syeikh al-Syarbinî  selalu disebut sebagai guru utamanya dalam bidang qira’at.

Pada  bagian mukadimah  kitab Ghunyah  al-Thalabah misalnya, secara   tegas   Syeikh   Mahfuzh   menyebutkan   jalur   sanad qira’atnya dari Syekh al-Syarbini seraya berkata:

“Saya  telah  mendapatkan  qira’at  ini  dengan cara simâ’an  (mendengar  langsung)  dari  guru  kami,  yang menjadi teladan utama,rujukan sempurna, seorang muqri’ (guru qira’at) yang sangat alim, yaitu Syekh Muhammad asy-Syarbinî al-Makkî.” 

Pernyataan  ini   menjadi indikator kedekatan  hubungan  guru-murid diantara keduanya.   Seakan-akan   tidak   ada   sekat   yang memisahkan antara Syeikh Mahfuzh dengan Syeikh al-Syarbini. Bahasa yang digunakan juga menunjukkan  kedekatan  hubungan  ilmiah  antara  Syeikh Mahfuzh dengan gurunya, Syekh al-Syarbini. 

Dalam  kitab Ta’mîm al-Manâfi’ dan  kitab Bughyah  al-Adzkiyâ’ karya beliau, juga diketahui jalur sanad qira’at Syeikh Mahfuzh ke  bawah  (muridnya).  Salah  satunya  adalah  Syeikh Ahmad bin Abdullah al-Mukhallilati al-Dimasyqi (w. 1362 H). Ia mendapatkan  ijazah  ‘ammah dari Syeikh   Mahfuzh.   

Pada  perkembangannya,   Syeikh Mukhallilati   ditunjuk menjadi guru Al-Qur’an dan imam masjid al-Muwara’ah di Jarwal, juga pernah menjadi imam masjid Syams atau yang dikenal  dengan  Dar  at-Ta’lim al-‘Auni.  Di  antara  karya monumentalnya  adalah Nazhm fi Qira’at Ibn Katsir.

Dari jalur Syekh   al-Mukhallilâti  inilah  sanad  qira’at  Syeikh Mahfuzh tersebar di Makkah-Madinah. Hanya saja hal tersebut berbeda dengan data sanad qira’at yang ada di Pondok Pesantren BUQ, pesantren milik keturunan Syeikh Mahfuzh di Demak. Dalam  syahadah   ijazah   sanad  Al-Qur’an  di pesantren itu tertera  nama lain  yakni  Syeikh Muhammad Amin Ridhwan al-Madani (w. 1329 H) sebagai guru langsung Syeikh Mahfuzh.

Dalam kitab Kifayah al-Mustafîd,  nama  Syeikh Muhammad Amin Ridhwan al-Madani memang tercantum sebagai salah satu guru beliau, hanya saja tidak ada keterangan yang spesifik bahwa Syeikh Mahfuzh mendapatkan sanad qira’at Al-Qur’an dari beliau. Memang ada pernyataan; 

“fa qad ajazanî bi jamî’i marwîyâtihi  al-katsirah  musyafahatan  wa  mukatabah”(semua riwayat  yang  [dimiliki  syekh  Ridhwan  al-Madani]  telah diijazahkan  kepadaku,  baik  secara  lisan  maupun  tulisan). 

Pernyataan Syeikh Mahfuzh ini, utamanya pada kalimat jamî’ marwiyatih, bisa jadi merujuk kepada semua  riwayat  keilmuan gurunya, termasuk ilmu qira’at A-Qur’an. Melalui  syahadah   ijazah   sanad   Al-Qur’an di  BUQ, diketahui pula jaringan sanad qira’at Syekh Mahfuzh yang ada di    Indonesia,   yaitu    kepada    saudaranya,    Kiai Muhammad Dimyati dan Kiai Abdur Razzaq dan kemudian turun  kepada  putra  semata wayangnya,  Raden Muhammad, yang juga memiliki sanad Al-Qur’an dari jalur Kiai Munawwir, Krapyak,Yogyakarta.  Bahkan ijazah sanad saat ini juga menyambung ke Kiai Arwani Amin, Kudus, guru dari Kiai Harir Muhammad, cucu Syeikh Mahfuzh al-Tarmasi.

Setidaknya dari keterangan di atas, terjawab sudah mengenai jalur sanad qira’at Al-Qur’an yang dimiliki Syekh Mahfuzh , baik yang ke  atas  (guru)  maupun  ke  bawah  (murid), meskipun  sanad yang bersambung ke Indonesia hanya sanad qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh, sementara qira’at yang lain tidak tersambung. 

Wallahu a’lam.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *