Sambil masih dalam posisi berdiri aku melakukan ritual spiritual: Tahlil, bacaan zikir yang lain dan diakhiri dengan do’a pengampunan dan harapan, sebagaimana tradisiku bila berziarah ke kuburan atau dalam ritual-ritual lainnya. Hari Pebriantok, teman yang menuntunku dengan setia, ikut mendampingiku. Dengan berbisik, aku bilang : “Hari, tolong, bisakah ambil kamera dan mengambil gambarku?”. Aku berharap ada ruang untuk mengambil gambar aku di depan Maulana. “Di sini siapapun tidak boleh memotret. Lihat itu, Kiyai, ada sekuriti yang terus mengawasi para peziarah”. Aku menoleh. Benar, ada sekuriti yang duduk di atas kursi dengan mata tajamnya. Meski kecewa, aku maklum. Boleh jadi ini kebijakan yang baik. Bila semua orang boleh mengambil gambar, suasana ruangan itu pasti akan sangat heboh. Aku meneruskan tahlilku sampai selesai.

Ketika aku membalikkan tubuhku, seorang pemuda menyampaikan salam, sambil mengatakan : “do’amu, bagus”. Oh, anda mendengarkan bacaan aku rupanya ya?. Dia mengangguk sambil tersenyum. Kami berkenalan dan bercakanp-cakap dalam bahasa Arab. Aku bertanya tentang tempat istirahat Maulana ini.

Kapan museum ini dibangun?, kataku. Dia bilang : “Dulu kuburan maulana sederhana, tidak semegah dan seanggun sekarang. Belum menjadi museum. Dulu di dekat dan di latar depan kuburan  dijadikan tempat tarian Sema. Kemudian dilarang oleh pemerintahan Kemal. Konon bangunan ini baru menjadi museum pada 1926 dan kemudian kembali menjadi pusat kegiatan Whirling Dervishes.

Pada ruangan makam, di bagian kanan, terdapat 55 makam dari keluarga dan pengikut Rumi. Tepat di bawah sebuah atap kerucut hijau, terdapat dua makam dari marmer biru. Itulah makam Rumi dan anaknya, Sultan Walad. Kedua makam dibuat pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman. Orang-orang tampak menengadahkan tangan, berdoa bagi sang ‘Maulana’.

Aku mendengarkan dengan penuh minat dan kekaguman penuh, sambil memandangi tempat maulana Rumi dan tembok yang mengelilinginya.

Aku baru menemukan orang Turki yang mau atau bisa bicara dalam bahasa Arab. Konon, orang Turki sangat nasionalis. Mereka hanya ingin menggunakan bahasa nasional mereka. Manakala aku menanyakan dari mana dia belajar bahasa Arab, dia mengaku keluarganya dari Afganistan.

Aku dan Hari permisi untuk meneruskan perjalanan. Nah, pada saat itu pikiranku untuk bisa mengambil gambar makam Maulana muncul kembali. Penasaran. Sambil berjalan pelan-pelan, aku menyerahkan HP kepada hari, dan bilang dalam lirih : “Hari, tolong ambil gambarku”. Dia mau memotret sekali. Tetapi rupanya blitz HP itu memantukan cahaya dan terlihat oleh sekuriti di belakang. Aku mendengar suara tegurannya. Maka aku bergegas, mempercepat langkahku keluar ruangan. “Alhamdulillah. Sip lah. Kita berhasil “mencuri” gambar Maulana, meski dari jarak agak jauh. Terima kasih ya?”. Hari tersenyum-senyum.

30.08.2021

HM

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *