Mengingat pesan-pesan Maulana menjelang pulang sebagaimana di atas, aku ingin menahan duka begitu mendalam. Aku mencoba menghibur diri dengan mengingat sebuah puisi manis karya agung Maulana : “Matsnawi” :
فَإِنْ مَضَتِ الاَيَّامُ فَقُلْ لَهَا إِذْهَبِى وَلاَ خَوْفٌ
وَلِتَبْقَ أَنْتَ يَا مَنْ لاَ مَثِيْلَ لَكَ فِى الطُّهْرِ
Bila waktumu telah tiba untuk pulang, berangkatlah.
Jangan gelisah. Aku tak akan berduka.
Sebab kau masih dan selalu di sini, di hatiku
Duhai, yang tiada orang sepertimu.
Maulana, boleh jadi mengungkapkan puisi ini kepada an untuk guru spiritualnya yang agung, sang matahari dari Tabriz (Syams al-Tabrizi), sesudah putus harapan untuk bertemu kembali dengannya. Syams sang kekasih Rumi itu, hilang entah ke mana.
Kakiku terus melangkah, memasuki ruang Mauseleum (maqbaroh) maulana Rumi yang anggun dan kharismatik itu.
Aku menghirup aroma wangi, seperti aroma mawar, yang merebak menebar memenuhi ruangan, tempat maulana diistirahkan. Mataku berputar-putar mengelilingi seluruh ruangan itu. Aku melihat orang berjubel di depan pusara Maulana. Kulit mereka bermacam-macam.. Tentu saja aku tak mengenal mereka. Yang aku lihat sekilas dan selintas, mereka, di tempat itu seperti tak melakukan apa-apa selain memandangi dengan penuh kekaguman, tubuh yang terbaring di bawah bungkusan kain hitam yang diletakkan di atas lantai yang sedikit tinggi. Di atasnya ada “surban”, peci khas yang dipakai Maulana, yang dilipat kain berwarna hijau. Konon pakaian ini dikenakannya usai pertemuannya yang intim dengan Syams Tabrizi. Ada pula di antara mereka yang terus memandangi kaligrafi indah diliputi ornament-ornamen dalam lukisan yang indah pula. Kaligrafi itu terpampang memenuhi tembok dan dua pilar raksasa. Di bagian lain terdapat sejumlah pusara. Konon, ia adalah pusara keluarganya: ayahnya, Baha al-Din Walad dan putranya: Sultan Walad serta pusara para raja. Di bagian lain dari tempat itu aku melihat ada beberapa orang dengan mulut komat-kamit, berdoa dengan khusyu. Kepanya tertunduk. Aku berhenti di samping mereka dengan menghadap lurus pada pusara itu. “Assalamu’alaika ya Maulana”, “Assalamu’alaik Ya Darwish”. Assalamu’alaika Ya Syeikh Baha al-Din Walad”, “Assalamu’alaikum Ahla Hadzihi al-Dar”. Aku menyampaikan salam kepadanya dan kepada orang-orang yang bersamanya di tempat itu. Sesudah itu aku juga menyampaikan salam yang sama, titipan teman-teman yang mereka tulis di wall FB ku.
Aku diam, menghela nafas, lalu bersenandung dalam lirih:
يا من أنت فى ساعة الالم راحة فى نفسى
يا من أنت فى مرارة الفقر كنز لروحى
Duhai dikau, yang ketika aku
dirundung nestapa,
Adalah Pelipur jiwaku
Duhai, dikau,
yang ketika aku dilanda kepapaan nurani
Adalah perbendaharaan ruhku
يا مولانا, يا حبيب الروح !
قلوب ودادكم تشتاق والى لذيد لقآءكم ترتاح
يبلغون السلام عليكم ويتمنون اللقآء بكم
ويرجون غفران ربكم و رحمته
Ya Maulana, Ya Habib al-Ruh
Quluub Widaadikum Tasytaaqu
Wa Ila Ladziidzi Liqaa-ikum Tartaahu
Yuballighuun al-Salaam ‘alaikum
Wa Yatamannauna al-Liqa bikum
wa Yarjuuna Ghufran Rabbikum wa Rahmatah
Duhai pemimpinku. Duhai kekasih jiwaku
Hati para pencintamu merindukanmu
Kenikmatan perjumpaan denganmu
Bikin mereka damai
Mereka menitipkan padaku salam untukmu
Seraya memimpikan bertemu denganmu
Dan mengharap ampunan dan Kasih Tuhanmu
Bersambung
Repost 30.08.21
HM
No responses yet