Sejuk dan tenang. Demikian suasana hati Hj. Lilik Ummi Kaltsum atau biasa disapa Bu Nyai Lilik saat pertama kali menginjakkan kaki di Pesantren Sunan Pandanaran. Menurutnya, kala itu kesejukan dan ketenangan yang ia rasakan bukan ditimbulkan oleh suasana fisik pesantren, melainkan karena spirit keihlasan Al-Mukarram KH. Mufid Mas’ud dalam mendidik santri-santrinya. Nyai Lilik nyantri di Pesantren Sunan Pandanaran pada tahun 1991 hingga 1996. Ada satu hal yang masih ia kenang, bahkan tidak mungkin dilupakan. Yaitu, saat pertama kali sowan kepada Romo KH. Mufid, dirinya tidak ditanya mengapa memilih Sunan Pandanaran sebagai tempat tujuan pendidikannya.

Tetapi justru ditanya seberapa sering ia bersilaturahmi kepada para alim ulama dan berziarah ke makam para wali Allah. “Ulama dan para wali Allah mana saja yang sudah ananda kunjungi?” demikian pertanyaan KH. Mufid seperti dikenang Nyai Lilik. Ia mengaku telah bersilaturahmi kepada banyak alim ulama. Telah pula mengunjungi banyak makam wali Allah. Akan tetapi, saat itu yang diingat hanya satu nama, yaitu Sunan Ampel. Karena jelasnya, makam Sunan Ampel terletak di daerah asalnya, Surabaya.

Menurut Nyai Lilik, pertanyaan Romo KH. Mufid itu mengandung pelajaran yang sangat berharga. Bahwa, seorang Muslim harus menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang yang dicintai Allah. “Kita tidak boleh memutuskan hubungan silaturahmi dengan para alim ulama dan para wali, meskipun kita secara pribadi tidak mengenalnya. Itulah pelajaran pertama yang saya dapatkan dari Kiai Mufid,” tutur Nyai Lilik.

Ada pelajaran lain yang tak kalah pentingnya. Menurut Nyai Lilik, KH. Mufid tak henti-hentinya menanamkan nilai-nilai tauhid kepada santri-santrinya. Seperti ia akui, nilai tauhid yang disampaikan KH. Mufid hingga saat ini dipegangnya erat-erat. Di antaranya nasehat Beliau supaya memasrahkan segala urusan hanya kepada Allah, dan tidak bergantung kepada orang lain.

“Sopo wae anak didikku sing arep nggedekake pesantren ora usah njaluk-njaluk sumbangan rono-rene. Njaluk nang Pengeran wae”, kata KH. Mufid di banyak kesempatan.

Maksud dari nasehat itu adalah, siapa saja santri-santri KH. Mufid yang akan mendirikan dan mengembangkan pesantren, tidak pantas meminta-minta sumbangan kepada orang lain, cukuplah meminta pertolongan kepada Allah. Nasihat itu laksana pagar beton dalam hati Nyai Lilik. Ia senantiasa mengingatnya, bahkan menjadikannya senjata tatkala menghadapi berbagai cobaan hidup yang cukup berat.

Dalam urusan penguatan akidah, tambahnya, KH. Mufid tidak berhenti pada penanaman nilai-nilai tauhid saja, tetapi juga memberikan pelajaran bagaimana mencintai baginda Nabi Muhammad Saw. Di antaranya memperbanyak bacaan shalawat serta mencontoh perilaku dan kepribadian Beliau. Mendengar tuntunan KH. Mufid ini, Nyai Lilik merasa malu karena ternyata cintanya kepada baginda Nabi saat itu masih akon-akon (sebatas di bibir) saja. “Jika cinta kepada Nabi hanya di bibir saja, bagaimana mungkin kita akan mampu meneladani kepribadian dan sifat-sifat Nabi Muhammad,” katanya.

Hasrat Kuliah

Kisah penuh hikmah yang dialami Nyai Lilik tidak hanya berkisar tentang peningkatan kualitas ibadah, tetapi juga peningkatan pendidikan formal. Suatu ketika, orang tua Nyai Lilik berharap dirinya bisa melanjutkan kuliah di sebuah universitas di Yogyakarta. Tentu, dengan pendidikan formal itu orang tua berharap anaknya akan bisa membangun masa depan dengan lebih baik. Namun bagaimana nasehat KH. Mufid kala itu? Nyai Lilik dipanggil menghadap dan diberikan nasehat, “Mbak Lilik, ora usah gupuh daftar kuliah disik, tahun sesuk wae” (Mbak Lilik, tidak usah tergesa-gesa masuk kuliah dulu, sebaiknya tahun depan saja). Mendengar nasehat ini, Nyai Lilik serasa mendapatkan siraman hati yang teramat sejuk. Ia pun berketetapan hati mematuhi nasehat Romo Kiai Mufid. Dan ia segera menyampaikan berita itu kepada orang tuanya.

Memasuki tahun berikutnya, ketika tiba masa kuliah, Romo Kiai Mufid memberikan nasehat yang membakar semangat Nyai Lilik untuk terus maju di dunia kampus. Kata Beliau, “Yen wis mlebu dunia akademis terusno sampe entek bangku kuliahe” (Kalau sudah masuk dunia akademis, teruskan hingga habis bangku kuliahnya).

Rentetan nasehat tersebut, bagi Nyai Lilik menekankan konsistensi atau istiqamah ketika sudah menentukan pilihan hidup. Meski demikian, lanjut Nyai Lilik, nasehat itu jauh sekali dari unsur keserakahan mengejar jabatan, pangkat, atau gelar. Karena, Kiai Mufid, dalam nasehat-nasehatnya, selalu menegaskan penataan hati agar tidak terjebak dalam niat yang tidak baik. “Ditoto niate yo,” (Ditata niatnya ya) demikian nasehat Beliau, sebagaimana dikenang Nyai Lilik.

Di samping itu, Kiai Mufid juga menekankan pentingnya menjaga Al-Qur’an, baik itu di lidah, pikiran, maupun perbuatan. Artinya, Alquran tidak hanya dibaca secara lisan saja, tetapi harus dimasukkan ke dalam akal dan hati, kemudian diwujudkan ke dalam tindakan-tindakan. Nasehat terindah Romo Kiai Mufid bagi santrinya yang hendak boyong adalah, “Uripmu gawe ngabdi nang Qur’an, ora usah wedi mlarat” (Gunakan hidupmu untuk mengabdi kepada Alquran, tidak usah takut miskin).

Artikel di atas dimuat di Majalah Suara Pandanaran edisi Juni 2010

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *