Cinta adalah bagian dari emosi perasaan seseorang berupa curahan hati sepenuhnya kepada obyek. Sebagai pedoman hidup, kitab suci al-Qur‟an tidak hanya menghidupkan dimensi fisik tetapi juga dimensi psikhis manusia. Al-Qur‟an telah menentukan satu obyek, titik sentral pondasi kehidupan yaitu cinta kepada sang pencipta kehidupan, Allah swt. Cinta kepada Tuhan merupakan dasar utama yang harus ditanamkan dalam jiwa setiap muslim. Dengan cinta, ibadah terasa nikmat dan dengan cinta kehidupan menjadi sehat lahir dan batin.

Problemnya, mengapa konsep ideal ini belum maksimal terwujud dalam kehidupan? Tulisan ini  ingin  merumuskan  tawaran  Dzū  al-Nūn  al-Miṣrī  tentang  konsep cinta  kepada  Allah. Melalui  penafsiran  ayat  cinta,  konsep  normatif  ini  diharapkan  dapat  menjadi  panduan menuju kehidupan yang penuh cinta tanpa kekerasan dan perpecahan.

Kitab-kitab tafsir merupakan sebuah produk penjelasan ayat-ayat al-Qur‟an yang telah dilakukan oleh para mufassir, keragaman disiplin ilmu para mufassir meniscayakan adanya keragaman produk tafsir. Seorang ahli bahasa, dia akan melahirkan tafsir bernuansa yang kecenderungan kebahasaan lebih menonjol. Seorang ulama yang ahli hukum, maka produk tafsirnya  lebih  banyak  berbicara  hukum  atau  fiqh.  Demikian  juga,  para  sufi  ketika bersentuhan dengan ayat-ayat al-Qur‟an, disadari atau tidak hasil penafsirannya sangat bernuansa sufistik. Tafsir seperti ini disebut tafsir sebagai tafsir sufi.

Sufi adalah nama bagi para pengamal ajaran tasawuf. Tasawuf merupakan kata yang tidak  asing  dalam  khazanah  pengetahuan  Islam,  karena  di  samping  telah  menjadi  suatu disiplin ilmu tertentu yang dikenal luas di dunia Timur dan Barat, tasawuf juga mempunyai banyak penganut yang dihadapkan atas berbagai polemik. Para ulama berbeda pendapat mengenai asal-usul kata tasawuf, hal ini terjadi karena istilah tasawuf sendiri tidak pernah dipakai dalam al-Qur‟an ataupun hadis Nabi. Sehingga tidak mengherankan jika sufi atau tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Ajaran tasawuf muncul

dalam agama Islam karena adanya ketidakpuasan sekelompok Muslim terhadap ibadah-ibadah yang telah mereka lakukan.Sufisme atau tasawuf merupakan sisi spiritual dalam ajaran Islam, karena dalam tasawuf inilah seseorang diajarkan cara berdialog dengan Tuhan, dan merasakan kedekatan Tuhan yang melebihi kedekatan urat nadi manusia itu sendiri. (QS. Qāf [50]: 16.

Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan dengan cara hidup menuju Allah dan membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan dunia lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. al-Dhahabī membenarkan bahwa praktek tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak masa awal Islam, banyak di antara sahabat  yang melakukan praktik tasawuf  yaitu  hidup dalam zuhud dan ibadah dan  yang lainnya, tetapi mereka belum mengetahui istilah tasawuf.

Pada angkatan berikutnya, yaitu pada abad ke-2 H dan seterusnya, secara berangsur- angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan dunia menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhana lebih dikenal dengan kaum ṣūfiyah. Tafsir ishārī lahir serempak dengan lahirnya aliran tasawuf dalam Islam, yaitu pada abad kedua hijriyah. Istilah itu baru terkenal setelah Abū Hāshīm secara  terang-terangan  menyebut  dirinya  sebagai  al-ṣūfī (±  150  H).  Setelah  peristiwa  itu barulah timbul pembahasan tasawuf secara meluas di kalangan kaum muslimin. Ibn Khaldūn menyatakan, bahwa kata-kata sufi dan tasawwuf belum terkenal di kalangan muslimin terkecuali setelah abad kedua hijriyah atau sesudahnya.

Abū al-Wafā al-Taftazānī menjelaskan, ada dua orientasi dalam sufisme yang berkembang pada abad 3 dan 4 H. yaitu orientasi moderat dan semi filosofis. Menurutnya, sufisme  yang  berorientasi  moderat  melandaskan  ajaran-ajarannya  dari  al-Qur‟an dan  al- Sunnah.Arah aliran sufi ini lebih bersifat moralitas, sehingga disebut tasawuf akhlāqī. Tokoh utamanya adalah Junaid al-Baghdādī (w. 298 H), al-Qushairī (w. 465 H), dan AbūḤamid al- Ghazālī (w. 505 H).

Sedangkan orientasi kedua adalah semi filosofis. Semi filosofis ini berawal dari teori fanā dalam dunia filsafat, yang menjelaskan antara hubungan manusia dengan Tuhan. Tokoh utama dari fanā (hulūl) ini adalah Abū Yazīd al-Busthāmī (w. 261 H) dan al-Ḥallāj (w. 301 H).  Menurut  al-Taftazānī,  orientasi  yang  asalnya  masih  bersifat  semi  filosofis  ini  pada akhirnya kemudian lebih kental pada aspek filosofisnya,sehingga ulama menyebutnya tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menggunakan termonologi filsafat dalam ajaran- ajaran  tasawufnya.   Dua  orientasi  dalam  tasawuf  ini  kemudian  bersentuhan  juga  dengan tradisi penafsiran al-Qur‟an, sehingga oleh al-Dhahabī dijelaskan adanya dua varian dalam tafsir sufistik, yaitu tafsir sufi naẓhārī dan sufi ishārī (amalī).

Dalam tafsir sufi naẓhārī akan tampak upaya mufassir membangun doktrin sufismenya secara teoritis, kemudian ia mencari ayat al-Qur‟an dan memproduksi sebuah penafsiran yang sesuai dengan pandangan tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibn „Arabī. Sedangkan  dalam  tafsir  sufi  ishārī  (amalī), seorang  sufi  berusaha  menakwilkan  atau memberikan makna batin dari masing-masing ayat atau beberapa ayat-ayat al-Qur‟an yang bersumber dari isyarat batin. Isyarat batin ini hanya bisa dilakukan oleh para pengembara rohani, dalam istilah tasawufnya adalah sālik.

Perbedaan utama dari kitab tafsir sufi naẓhārī dan ishārī („amalī)adalah, dalam kitab tafsir naẓhārī lebih cenderung pengungkapan konsep- konsep atau teori-teori sufi, dan ada juga yang dipengaruhi oleh teori filosofis atau filsafat. Sebagaimana tokoh yang terkenal dalam hal ini adalah Ibn al-‘Arabī. Sedangkan tafsir sufi ishārīatau pengembangan dari tafsir sufi amali adalah upaya pentakwilan al-Qur‟an yang berbeda dari makna zhahirnya. Pemaknaan batin ini hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang dekat pada Allah. Penggunaan isyarat batin sebagai sumber penafsiran oleh para sālik (pengembara rohani) pada akhirnya menimbulkan polemik.

Perbedebatan seputar eksistensi tafsir sufi berawal dari penempatan isyarat batin sebagai sumber penafsiran al-Qur‟an. Al-Zarkashī dalam al-Burhān-nya menyatakan bahwa ucapan sufi terkait penjelasan ayat-ayat al-Qur‟an bukanlah tafsir melainkan sebatas pengalaman batin seorang sufi ketika membaca al-Qur‟an. Demikian juga komentar dari al- Suyūṭī  bahwa  apa  yang  dikatakan  oleh  sufi  mengenai  ayat-ayat  al-Qur‟an tidak  dapat dikategorikan sebagai tafsir.Corak tafsir sufi masih sering dicurigai secara berlebihan oleh para pengikut aliran lain. Pada dasarnya, belum ada ulama tasawuf yang menyusun sebuah kitab tafsir khusus, yang di dalamnya dijelaskan ayat per ayat.

Sebagaimana karya Ibn Arabī pada kitab Al-Futūḥāt al-Makiyyah dan kitab Al-Fuṣūṣ. Dalam I‟jaz al-Qur‟ān, disebutkan bahwa tafsir sufi  adalah  penafsiran  yang dilakukan  oleh para sufi,  yang pada umumnya dilingkupi  oleh  ungkapan  mistik. Dari  sinilah  ulama-ulama  ulum  al-Qur‟an menetapkan rambu-rambu terhadap tafsir ishārī, yaitu: 1) Tidak bertolak belakang dengan makna dzahir Al-Qur‟an yang lahir; 2)Maknanya itu sendiri sahih; 3) Pada lafadz yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna) ishārī tersebut; dan 4) Antara makna ishārī dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat.  Apabila keempat kriteria itu, diterapkan dalam penafsiran sufi, maka penafsirannya dapat dijadikan tuntunan bagi umat dan merupakan istinbat yang baik.

Salah satu dari kitab tafsir sufi naẓhārī adalah karya tokoh sufi yang terkenal yaitu Dzū al-Nūn al-Miṣrī  yang berjudul  al-Tafsīr al-Ṣūfī al-Irfānī  li al-Qur‟ān al-Karīm. Di dalam kitabnya dapat terbaca bahwasannya Dzū al-Nūn al-Miṣrī hanya mengungkapkan beberapa ayat al-Qur‟an terkait dengan teori-teori praktis kesufiannya. Sehingga ayat-ayat yang tidak terkait dengan teori sufinya tidak ia sebutkan di dalam kitab tafsirnya.

Di antara teori-teori sufi yang ia bahas adalah tentang maḥabbah atau cinta. Tulisan ini akan membahas lebih lanjut bagaimana konsep cinta dari Dzū al-Nūn al-Miṣrī melalui penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an dalam kitab tafsirnya. Apakah konsep cintanya berasal dari konsep cinta dari para sufi-sufi lainnya, termasuk yang terkenal Rābiah al-Adawīyah?.

Lantas siapakah Dzū al-Nūn al-Miṣrī? Ia  memiliki nama lengkap Abū al-Faydh bin Aḥmad. Ada juga yang mengatakan Dzū al-Nūn al-Miṣrī bin Ibrāhīm al-Ikhmimī. Dzū al-Nūn al-Miṣrī dikenal juga Thauban bin Ibrāhīm. Dzū al-Nūn al-Miṣrī memiliki 3 saudara kandung yaitu Maimūn Dzū al-Kifl, „Abd al-Bārī dan „Abd al-Khāliq.Ada perbedaan pendapat tentang kelahiran Dzū al- Nūn al-Miṣrī. Ada yang mengatakan pada tahun 156 H, ia dilahirkan di IkhmimMesir. Ada juga yang mengatakan tahun 180 H. Begitu juga tahun kewafatannya, ada yang mengatakan 245 H, dan ada juga yang mengatakan 246 H.

Dzū al-Nūn al-Miṣrī dikenal sebagai sufi pertama yang menonjolkan konsep ma‟rifah dalam tasawufnya.Dzū al-Nūn al-Miṣrī telah melakukan perjalanan sepiritual dari negara ke negara  lain.  Antara  lain  Damaskus,  Baghdad,  Mekkah,  Madinah,  Syiriah,  Lebanon,  dan Aṭā’illāh.Beliau  juga  memiliki  keahlian  dalam  bidang  ilmu  pengetahuan,  yaitu  bidang Filsafat, Kimia, juga bidang tulisan hieroglif (tulisan dan abjad Mesir kuno).

Dzū al-Nūn al-Miṣrī dikenal sebagai orang pertama yang mengembangkan teori-teori tasawufnya dengan pengertian-pengertian yang khas. Bidang tasawuf merupakan bidang keilmuan yang memang sejak awal ia pelajari. Di antara gurunya, Imām Mālik bin Ānas (Madinah), Imām Aḥmad bin Ḥanbāl, Ma‟rūf al-Kharkhī, Sarrī al-Saqathī, dan Bishr al-Ḥāfī.

Sebagai seorang sufi Dzū al-Nūn al-Miṣrī dikenal sebagai ulama yang memiliki keistimewaan. Karamah atau keistimewaan Dzū al-Nūn al-Miṣrī antara lain:

Suatu ketika Dzū al-Nūn al-Miṣrī menyuruh seorang pemuda yang dikenal tidak menyukai sufi atau pemuda ini suka mengajak golongan-golongan sufi. Dzū al-Nūn al- Miṣrīmenyuruhnya agar menggadaikan cincin permatanya ke pasar dengan harga 1 dinar. Setelah keliling-keliling pasar, pemuda tersebut tidak menemui seorangpun yang bersedia membayar 1 dinar untuk cincin Dzū al-Nūn al-Miṣrī. Sehingga pemuda itu lapor ke Dzū al- Nūn   al-Miṣrī   tentang   hal   tersebut.   Mendengar   laporan   ini,   Dzū   al-Nūn   al-Miṣrī memerintahkan pemuda tersebut untuk menemui ahli permata, untuk menaksir harga dari cincin tersebut. Ternyata menurut ahli permata, harga cincin tersebut adalah 1000 dinar, padahal tadi ia disuruh menjual di pasar dengan harga 1 dinar tidak ada orang yang mau membelinya.

Dari   kejadian   ini,   Dzū   al-Nūn   al-Miṣrī   berkata   kepada   pemuda   tersebut, pengetahuanmu tentang sufi sama dengan pengetahuan orang-orang di pasar tadi, tentang taksiran harga dari cincin permata ini. Engkau sebenarnya tidak mengetahui siapa seorang sufi yang biasa engkau ejek-ejek itu.

Kehidupan pribadinya atau biografi secara lengkap dari Dzū al-Nūn al-Miṣrī sangat jarang diketahui oleh para peneliti. Diceritakan pula suatu ketika Dzū al-Nūn al-Miṣrī menumpang sebuah kapal saudagar kaya, tiba-tiba saudagar itu kehilangan permata yang berharga, dari kejadian ini Dzū al-Nūn al-Miṣrī dituduh sebagai pencuri dari permata tersebut, karena tuduhuan ini ia disiksa dan dianiaya sampai dipaksah untuk mengembalikan permata itu.

Dalam keadaan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdo‟a “Wahai Tuhan,  Engkaulah Yang Maha Tahu”.  Hanya dengan ucapan itu dari suara hati terdalam, tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nūn kepermukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulutnya masing-masing. Dzū al-Nūn al-Miṣrī lalu mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar yang kehilangan tadi. Dari peristiwa itulah, ia digelari dengan Dzū al-Nūn yang artinya si pemilik ikan Nūn. (bersambung)

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *