“Gusti Allah memberi pahala pada manusia atas ketaatan mereka berdasarkan hukum-Nya yang Maha Mulia dan Maha Adil, bukan berdasarkan hukum timbal balik dan sebab akibat. Sehingga, Gusti Allah pun tidak punya keharusan untuk membalas semua kebaikan dan ketaatan manusia, tidak wajib pula bagi-Nya membalas semua keburukan manusia dan tidak wajib pula meletakkan satu kebenaran pada satu pihak saja”
Karena Gusti Allah telah dawuh
فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Maka Gusti Allah mengampuni siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Gusti Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al Baqoroh 284)
Gusti Allah juga dawuh
اللَّهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيزُ
“Gusti Allah Maha lembut pemberian-Nya terhadap hamba-hamba-Nya. Dia memberi rezeki kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (Asy Syuura 19)
Gusti Allah juga dawuh
وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa perhitungan” (Al Baqoroh 212)
Dari ayat2 tersebut jelas menyebut bahwa Gusti Allah tidak dibatasi ras, golongan, agama, suku dan lain-lain dalam menganugerahi ampunan, siksaan dan rejeki pada hamba-Nya. Bisa saja seorang non muslim diampuni sehingga mati Islam, bisa saja seorang yang males tiba-tiba jadi kaya, atau bisa saja orang yang terlihat gaul sama purel ternyata wali. Kita gak pernah tahu keputusan Gusti Allah kayak gimana dan apa yang menyebabkan mereka punya keistimewaan di mata Gusti Allah.
Inilah kenapa kita tidak boleh sama sekali meremehkan orang lain, tidak boleh mencaci dan menyakiti orang lain keterlaluan walau jelas-jelas orang itu tidak nyembah Gusti Allah, melanggar syariat atau berbuat buruk.
Di sisi lain, walau kita mengakui bahwa baik buruk seseorang itu kehendak Gusti Allah, kita tetap harus menunjukkan ketaatan pada perintah Gusti Allah dan kebencian pada keburukan karena itu juga perintah Gusti Allah.
Maka, kita kalo mengkritik ya sewajarnya, berdasar keilmuan, bukan berdasar emosi dan gak usah terus-terusan hingga punya dendam yang dibawa sampai mati. Kita gak tau keputusan Gusti Allah padanya kayak gimana, tapi kita juga harus melakukan ketaatan untuk meluruskan yang gak bener.
Contohnya kayak pemboman dan penembakan oleh teroris kemarin, kita harus benci kelakuannya yang bikin onar negara. Tapi di sisi lain, kita jangan terus-terusan mengutuk teroris itu. Karena pertama itu udah jadi takdir Gusti Allah bahwa terjadi kejahatan terorisme. Kedua kalo tiap hari disebut-sebut, bakal terjadi suasana panik di masyarakat sesuai tujuan teroris itu, sehingga tujuan teroris dlm membuat onar itu tercapai dan mereka justru lebih kuat. Ketiga, terus mengutuk teroris bikin hati kita akan keras karena marah2 terus, sehingga sulit mengurai masalah terorisme dgn kepala dingin.
Maka yang harus kita lakukan adalah mengutuk terorisme seperlunya, mengurai sebab musabab seseorang bisa jadi teroris dan memandang pelaku pemboman itu sebagai korban ideologi sesat. Sehingga ketemu akar masalahnya, bahwa terorisme itu terjadi karena paham takfiri dan dikompori dengan keadaan ekonomi pelakunya. Maka solusi terorisme adalah memberantas paham takfiri dengan menggenjot dakwah Ahlu Sunnah Wal Jamaah lebih luas lagi dan memberantas kemiskinan jasmani dan rohani.
Dengan keyakinan bahwa baik buruknya dunia ini kehendak Gusti Allah dibarengi rasa tunduk untuk melakukan kebaikan karena perintah Gusti Allah, hati kita bisa inshof (gak ekstrim) namun tetap punya visi kebaikan untuk diri dan semua makhluk. Kita gak gampang mencaci, gak gampang memvonis, tapi sekaligus punya visi untuk menjunjung tinggi nilai kebaikan secara universal. Inilah akhlaq seorang mukmin yang berakhlaq dengan sifat Af’al Gusti Allah.
No responses yet