Setiap orang berpotensi menjadi mandul. Lingkungan, keluarga, pergaulan, komunitas, bacaan, teman-teman hingga pilihan musik dan jenis aplikasi yang biasa mengisi waktu-waktunya mempengaruhi naik-turunnya kesadaran dan kepekaan seseorang akan “dunia”, akan realitas materiil yang dihadapi atau dibayangkan sedang dihadapinya.

Demikian cara ideologi sebagai kesadaran palsu bekerja: mengubah pola hidup, membentuk habitus, mempengaruhi pola pikir dan keyakinan, lalu dalam jangka tertentu, membuat seseorang menjadi reaksioner, anti kepada ide-ide kritis dan progresif, tertutup, sektarian, fanatik, dan diam-diam mendukung status quo, mendukung tetap langgengnya ketimpangan masyarakat kelas hari ini.

Ini semacam “sunnatullah” pada evolusi manusia sebagai makhluk makhluk sosial yang dibekali dua perangkat tajam untuk mengasah kepekaannya terhadap realitas materiil: akal dan pancaindra. Ketika keduanya telah diisi dan dijejali dengan hal-hal (ide-ide, data-data) yang semakin membuat hubungan antara manusia dan realitas materiilnya kabur, maka hubungan itu pun berbelok menjadi kabur. 

Apa yang disebut “idealisme” dalam kritik filsafat Marxis sebenarnya adalah pengaburan ini. Ketika akal asyik dengan dirinya, tidak peduli realitas materiilnya. Pengaburan ini juga dialami oleh empirisisme vulgar yang menerima realitas materiil mentah-mentah. Empirisisme ini membuat kita merasa nyaman dengan rasa kopi Starbucks, tapi tidak memahami bagaimana Starbucks terlibat dalam kapitalisme.

Setiap orang, selama memiliki akal, pasti memiliki kadar “idealisme” dalam pengertian di atas, yang membawanya menjauh dari realitas materiil. Melihat cangkul tak lagi sebagai cangkul di sawah, tapi “cangkul” sebagai konsep akliah. Cara berpikir idealistik ini terlihat pada cara berpikir petugas statistik Kementerian Pertanian: melihat “petani” bukan sebagai sosok, tapi sebagai angka atau konsep dalam sebuah skema kebijakan. Di situlah terjadi pengasingan, alienasi. Petani hanya menjadi objek. Dari semula menjadi subjek, dilihat dari sudut pandang birokrat kementerian, dia hanyalah data di atas kertas. 

Karena potensi kemandulan itu, setiap orang yang mengaku aktivis memang menjadi niscaya untuk selalu mengevaluasi diri atas potensi pemandulan dirinya hingga taraf yang rigid. Suatu “muhasabah” terus-menerus. Agama yang dijalankan dengan ketulusan tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, membantu berlangsungnya metabolisme kesadaran semacam ini. Karena keberagamaan seperti ini akan membuat orang mawas pada fasilitas-fasilitas hidup dan jebakan-jebakan pemandulan oleh lingkungan, pergaulan, dan kebiasaannya sendiri.

Bila mengingat bagaimana Rasulullah terus memilih hidup beralaskan tikar pelepah kurma dan tidak pernah memiliki sekadar kursi untuk menyangga jasad mulianya, kebiasaan itu bukan sekadar cerminan keimanan. Kebiasaan itu adalah cara beliau menghindari jebakan kesadaran palsu yang diciptakan oleh lingkungan dan pola hidup yang akan menjauhkan beliau dari mayoritas umatnya yang hidup dalam ketertindasan dan penderitaan. Meski beliau mampu berpenampilan dan berpola hidup berbeda di atas rata-rata, namun beliau memilih hidup seperti kaum fakir-miskin di Madinah. Itu cara beliau membangun habitus yang sedapat mungkin mirip dengan habitus kaum fakir-miskin yang hendak diangkat dan dibela nasibnya. 

Bagaimana akan membela si miskin orang yang habitus dan pergaulannya kaum jetset yang sekali makan berjuta rupiah atau tinggal di hotel yang bertarif puluhan juta semalam? Bagaimana akan membela si miskin aktivis yang setiap harinya hilir mudik di antara meja-meja kaum konglomerat, menguap dan tidur di kasur empuk yang hanya menjadi mimpi seumur hidup sepasang keluarga miskin di kolong jembatan Jakarta?

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *