Oleh: Muhammad Hilmi (Mahasiswa UIN Jakarta)
Pesantren merupakan produk asli ummat islam Indonesia. Bahkan banyak pessantren lahir jauh sebelum negeri kita merdeka. Hingga kini pesantren-pesantren tersebut masih tetap eksis. Lembaga pendidikan yang satu ini tetap berdiri tegak melintasi zaman meskipun banyak lembaga pendidikan modern lahir setelahnya. Pondok pesantren dengan keunikan ynag dimilikinya mampu bertahan ditengah gempuran arus budaya asing dan perubahan kehidupan sosial, politik, da ekonomi masyarakat. Mengingat kontribusi pesantren yang amat besar, lewat tulisan ini penulis mencoba memberikan korelasi antara mengelola pesantren dan menganalogikan keduanya secara sederhana. Nantinya akan lahir pertanyaan, apakah kita bisa mengelola negara ala pesantren? Diharapkan setidaknya kita bisa mengadopssi beberapa hal positif yang terdapat di dunia pesantren untuk dijadikan sebagai pedoman daalm kehidupan bernegara.
Pertama, pesantren yang tujuan asasi pendiriannya adalah tarbiyah (pendidikan), menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasi, hakikat pendidikan pesantren tidak lepas dari Islam, dan pendidikan pesantren bermula tidak lama setelah Islam masuk ke Indonesia. Alasannya sangat sederhana, Islam, sebagai agama dakwah, disebarkan secara efektif melalui proses transmisi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim, atau ta’dib). Proses ini di Indonesia telah berlangsung sejak ratusan tahun melalui dunia pesantren.
Pendidikan dengan konsep inilah yang amat perlu diadopsi oleh negara. Para pemimpin harus memberi sugesti kepada rakyat untuk terus belajar. Tidak ada kata “tamat” dalam belajar. Toh, bila terpaksa putus sekolah, tidak boleh menjadi alasan berhenti menuntut ilmu. Yang terpenting bagaimana segenap warga negara selalu melakukan hal yang terbaik hari demi hari.
Kedua, kyai atau tuan guru adalah tokoh sentral dalam pesantren. Kyai/tuan guru bukan saja pemimpin pesantren, tetapi qudwah (teladan) bagi jamaah dan masyarakatnya. Dalam mengurus pesantren, ia mengedepankan keteladanan berupa amal nyata sebelum memerintahkan sesuatu.
Seharusnya para pemimpin dan pemegang kekuasaan menjadikan diri mereka layaknya kyai. Artinya sebelum menginstruksikan sesuatu, mereka terlebih dahulu menjalankannya. Mereka adalah teladan bagi rakyatnya layaknya kyai bagi santri dan jamaahnya. Takutnya merreka kepada murka Allah seperti takutnya kyai, bahkan lebih. Tentu tanggungjawab mereka di akhirat lebih berat.
Ketiga, kyai, tuan guru, atau ulama adlah ulul amri fi at-tabligh wa al-bayan.
(bertanggungjawab dalam penyampaian dan penjelasan) sebagaimana pemimpin atau umara adalah ulul amri fi at-tanfizh wa as-sulthan (pelaksana dan penguasa). Masing-masing memiliki tugas dan peran yang signifikan bagi rakyat. Sehingga antara kyai dan pemimpin harus bersinergi dalam visi dan misi. Tidak boleh ada garis demarkasi diantara keduanya.
Keempat, kata santri berasal dari bahasa sanskerta, yaitu san artinya orang baik; tra berati suka menolong. Lembaga tempat belajar itupun kemudian mengikuti akar kata santri dan menjadi pe-santri-an atau “pesantren”. Kaum santri dididik tidak hanya berbudi pekerti dan gemar menolong. Mereka dituntut harus bisa berkontribusi dimana pun mereka berada.
Para penyelenggara negara wajib mengadopsi hal positif ini. Jadikanlah jiwa anda jiwa santri yang banyak memberi dan sedikit meminta. Mereka harus berjuang menyejehterakan rakyat bukan menyengsarakannya. Mereka bekerja keras untuk rakyat bukan mempekerjakannya. Mereka memberi rakyat makan bukan malah memerasnya.
Kelima, sebagian besar pesantren mewajibkan para santrinya tinggal di asrama. Ini dalam rangka tarbiyah full day. Para santri dikenai berbagai aturan yang wajib ditaati. Bila mereka melanggar, akan dikenai sanksi. Pesantren ingin membentuk mereka tidak saja menjadi generasi unggul intelektual, tapi juga berakhlaqul karimah.
Sebuah neegara anan tetap tegak bila memiliki aturan yang ketat. Imam Ali pernah berkata, “kebenaran dengan menejerial buruk akan kalah oleh kebatilan yang memiliki menejerial baik.” Sebagai negara hukum, penyimpangan dalam bidang apapun terutama menyangkut agama, sosial, dan moral tidak boleh ditoleransi. Semua sama di mata hukum. Jangan sampai tidak adil alias tebang pilih.
Keenam, pesantren hingga kini tetap eksis mengingat kiprahnya hampir ratusan tahun. Jauh sebelum republik ini berdiri. Rahasianya adalah karena pesantren dibangun atas dasar keikhlasan yang berbuah keringat. Para kyai mendidik santrinya dangan nilai-nilai tadhiah (pengorbanan) dan khidmah (pelayanan). Orientasi utamanya adalah menyelamatkan umat dari penghambaan kepada manusia dan materi menuju penghambaan yang tulus kepada Allah saja (tauhid).
Seandainya para pemimpin kita menganut nilai-nilai positif diatas, niscaya mereka akan tahu diri. Amanah kekuasaan itu adalah sarana untuk bertadhiah dan berkhidmah kepada rakyat, sehingga tidak pantas mereka menilep uang rakyat lalu memperkaya diri.
Enam poin diatas adalah potret pesantren dengan kesederhanaannya. Kesederhanaan yang melahirkan para pembesar negeri ini. Agus Salim sebagai diplomat ulung, Muhammad Natsir sebagai perdana menteri, Jenderal Sudirman sebagai panglima TNI, Wahid Hasyim sebagai menteri, dan masih banyak lagi. Mereka adalah pemimpin sederhana berjiwa santri. Melalui rahimnya, pesantren tidak akan lelah melahirkan calon pemimpin yang dibutuhkan negeri ini.
No responses yet