Menelusuri Rekam Perjuangan Menjelang Proklamasi dari Desa Rengasdengklok, Karawang

“Berikan aku seratus orang tua maka akan kucabut semeru dari akarnya. Berikan aku sepuluh pemuda maka akan aku guncangkan dunia”(Bung Karno)

Pemuda adalah aset berharga  bagi bangsa dan negara di masa selanjutnya. Lewat merekalah berjuta impian dititipkan untuk melanjutkan estafet perjuangan. Di tangan merekalah masa depan bangsa ini dipertaruhkan.شبان اليوم رجال الغد(Pemuda Sekarang Harapan Masa Depan)

Di hari ini 73 tahun silam, teringat kita pada sekelompok pemuda begitu gigih yang begitu menginginkan kemerdekaan bangsa. Sebuah cita-cita yang tertanam sekian lama setelah 434 tahun dijajah yang dimulai dengan penaklukkan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, Spanyol ke Maluku tahun 1512, masuknya Belanda di Banten tahun 1596, Inggris masuk pada tahun 1811 sampai datangnya Jepang tahun 1942. Semangat menuju kemerdekaan ini begitu membara sejak diadakannya Kongres Sumpah Pemuda di Bandung 28 Oktober 1928.

Mendengar berita kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dimulai dengan penandatangan   pernyataan menyerah tanpa syarat pada 14 Agustus 1945 setelah sebelumnya bom atom menghujani 2 kota besarnya, Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945). Maka sekelompok pemuda seperti Soekarni Wikana, Chaerul Saleh yang tergabung dalam perkumpulan Menteng 31 mendesak Bung Karno dan Bung Hatta sebagai representasi pemimpin bangsa untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi tersebut ingin mereka segerakan karena janji kemerdekaan yang akan diberikan Jepang tak berlaku dan Sekutu akan segera kembali menjajah bumi pertiwi ini. 

Dikutip dari Buku Sejarah untuk SMA/MA dikatakan bahwa Sebelumnya sekelompok pemuda mengadakan suatu perundingan di salah satu Laboratorium Bakteriologi di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta, pada tanggal 15 Agustus. Dalam pertemuan ini diputuskan agar pelaksanaan kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang. 

Hasil keputusan disampaikan kepada Ir. Soekarno pada malam harinya tetapi ditolak oleh Soekarno karena merasa bertanggung jawab sebagai Ketua PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Beliau beralasan karena masih menunggu sidang PPKI  terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh. Beliau juga masih yakin bahwa Jepang akan menepati janjinya meski kalah perang. 

Namun masukan para pemuda tak digubris, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota PETA mendukung rencana tersebut. 

Lewat tengah malam para pemuda kembali berkumpul di Baperpi (Badan Pemusyawaratan Pemuda Indonesia) di Jalan Cikini No. 71. Dalam pertemuan tersebut mereka membahas atas sikap golongan tua seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Maka tercapailah kesepakatan, yakni mengamankan kedua tokoh tersebut dari pengaruh Jepang.

Maka pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 dini hari, Chairul Saleh dan Muwardi ditugaskan untuk menjemput Soekarno, sedangkan Sukarni dan Jusuf Kunto menjemput Moh. Hatta. Mereka diarahkan menjauh dari pusat kota Jakarta. Dan dipilihlah Desa Rengasdengklok sebagai pengasingan mereka berdua.

Rengasdengklok sendiri adalah sebuah desa kecil di sebelah barat Jakarta. Saat ini Rengasdengklok menjadi sebuah desa dan kecamatan masuk wilayah Kabupaten Karawang. Di kota yang didirikan oleh Syekh Singaperbangsa ini juga dikebumikan Syekh Hasanuddin yang masyhur disebut Syekh Quro, guru dari Nyi Subanglarang dan Pangeran Walangsungsang, Ibunda dan Paman dari Syarif Hidayatullah yang masyhur dengan sebutan Sunan Gunung Jati

Sesampai di Rengasdengklok, kedua tokoh bangsa ini didudukkan oleh pemuda dan mereka terus mendesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, penculikan ini juga dimaksud agar beliau berdua tak lagi terpengaruh pada Jepang yang telah kalah perang Asia Timur Raya. Disana Ir. Soekarno dan Mr. Moh. Hatta diculik sehari penuh di desa Rengasdengklok. 

Sementara itu keadaan di Jakarta semakin genting, Jusuf Konta kembali ke Jakarta untuk melaporkan peristiwa Rengasdengklok kepada Ahmad Soebarjo, perwira Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Di Jakarta ternyata Mr. Soebarjo mewakili golongan tua sedang mengadakan perundingan  dengan Wikana, Perwakilan Golongan Muda. 

 

Penulis ketika di Monumen Kebulatan tekad Rengas Dengklok tahun 2018

Mereka sepakat bahwa akan melaksanakan proklamasi di Jakarta, dan Soekarno Hatta harus dipulangkan ke Jakarta. Mr. Soebarjo juga menambahkan bahwa atasannya, Laksamana Tadashi Maeda mengizinkan rumah kediamannya (sekarang Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta) sebagai tempat perundingan dan menjamin keselamatan mereka. Sebelumnya Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Kamis tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Berdasarkan kesepakatan tersebut maka Ahmad Subardjo, Sudiro, Yusuf Kunto dan Sulaiman segera menuju Rengasdengklok. Rombongan tersebut tiba di Rengasdengklok pukul 17.30 WIB.  Disana mereka meminta pada Soekarno-Hatta agar segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.  Dan dijawab oleh beliau berdua asalkan proklamasi diadakan di Jakarta. 

Sempat terjadi penolakan dari Sukarni, namun setelah Mr. Soebarjo berani memberikan jaminan nyawanya sebagai taruhan, jika sampai jam 12.00 esok pagi (17/8) proklamasi kemerdekaan belum dilaksanakan
Mendengar pernyataan tersebut, maka Cudanco Subeno (Komandan Kompi) PETA (Pembela Tanah Air) setempat bersedia melepaskan Soekarno Hatta ke Jakarta.

Sekitar pukul 23.00, rombongan tersebut sampai di Jakarta. Sesampai disana, rombongan segera menuju Rumah Laksamana Tadashi Pemuda, seorang perwira Jepang yang memliki kepedulian pada nasib bangsa Indonesia. Disanalah naskah proklamasi disusun oleh beberapa tokoh dari golongan tua maupun muda, seperti Chairul Saleh, Sukarni, BM. Diah, Semaun Bakri, Iwa Kusumasumantri, Sayuti Melik dan lain-lain.

Sekitar pukul 01.30, 17 Agustus 1945 barulah perundingan dimulai. Dan setelah melalui perundingan sampai menjelang Subuh, maka selesailah penyusunan teks proklamasi kemerdekaan yang kemudian diketik ulang oleh Sayuti Melik dengan menggunakan mesin ketik yang dipinjam dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.

Dan di pagi harinya proklamasi yang rencananya akan dikumandangkan di Lapangan Ikada (sekarang Monumen Nasional), Jakarta. Namun karena terdapat tentara Jepang yang telah siap siaga disana, maka proklamasi dialihkan ke kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta (Sekarang Jalan Proklamasi). Dan bertepatan hari Jum’at, 17 Agustus 2018 bertepatan pada 9 Ramadan 1365 H pukul 10.00 terjadilah peristiwa paling bersejarah bangsa Indonesia yang memasuki gerbang baru, kemerdekaan.
Proklamasi dibacakan langsung dengan lantang oleh Bung Karno.

Bendera Merah Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati Soekarno dikibarkan oleh paskibraka (pasukan pengibar bendara pusaka) oleh Suhud dan Latif Hendradiningrat. Dan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supartman mengiringi pengibaran sang saka.

Peristiwa besar tersebut berjalan tak kurang satu jam, karena serdadu Jepang datang dengan maksud mencegah dan membubarkan Proklamasi. Namun Proklamasi kemerdekaan telah berlangsung dan rakyat sudah bertekad untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Rengasdenglok Masa Kini, 73 tahun setelah proklamasi kemerdekaan nuansa perjuangan para tokoh pemuda masih terasa saat kami yang mengunjungi desa ini pada Rabu, 1 Agustus 2018. Saat  memasuki Kampung Bojong Tugu, Desa Rengasdengklok kita mendapati lapangan yang cukup luas. Di sebelah timur berdiri kukuh monumen tangan-tangan terbuka dikelilingi tembok-tembok putih berjajar.

Di seberang jalan terpampang plakat situs Monumen Kebulatan Tekad Rengadengklok. Menurut pemandu setempat dulunya tempat ini adalah markas tentara PETA berdiri di atas lahan tugu tersebut. Di sebelah arah utara tugu, mengalir Sungai Citarum.

Memasukinya kita akan mendapati taman yang tertata apik. Di tengahnya terdapat monumen berbentuk tangan terkepal dengan warna emas. Di bawah tangan itu, ada tulisan 17.AUG.1945. Disekelilingnya kita dapat melihat diorama berwarna merah putih yang terpahat di dinding yang menggambarkan kisah penculikan Rengasdengklok 73 tahun silam.

Dua ratus meter dari situs Rengasdenglok, kita beranjak mengunjungi Rumah Sejarah Djiaw Kie Siong. Rumah inilah yang tempat persinggahan Soekarno dan Hatta ketika dibawa oleh generasi muda ke Rengasdengklok. Di rumah ini pula dilaksanakan perundingan antara golongan tua dan muda untuk merumuskan waktu dan tempat pelaksanaan proklamasi kemerdekaan.

“Soekarno dan Hatta datang pagi hari ke rumah Djiauw Kie Siong. Kenapa datang ke sini? Karena rumah ini tak mencolok. Rencana awalnya itu tempat kumpulnya di markas PETA. Dipilih rumah Djiauw ini karena jauh dan tertutup rimbun pohon,” begitulah cerita Rushdy di Rumah Djiauw Kie Siong, dikutip dari laman kompas.com.

Meski terkesan cukup sederhana rumah tua cukup terawat. Dengan dominasi bangunan dari kayu berwarna hijau bangunan tampak kukuh meski sudah lama berdiri. Suasana di sekitar rumah terasa teduh. Pohon-pohon tumbuh di sekitar rumah. Beberapa jendela juga mempermudah pertukaran udara. 

Menurut salah satu cucu Djiauw Kie Siong, Rumah ini sejatinya telah berpindah dari tempat semula yang berlokasi berdekatan dengan Sungai Citarum. Namun karena sering terjadi banjir, maka rumahpun dipindahkan ke lokasi sekarang. Meski begitu bentuk rumah masih sama sebagaimana aslinya.

Memasuki ke rumah yang  berlantaikan ubin merah ini, kita akan mendapati foto-foto yang terpampang di dinding rumah. Mulai foto Bung Karno, Bung Hatta, Djiauw Kie Siong, dan pahlawan lainnya. Terpasang juga piagam dan vandel pemberian wisatawan yang mengunjungi rumah bersejarah ini.

Di sebelah kiri kita akan mendapati kamar Bung Karno. Tampak di dalamnya kasur berseprai putih. Disekelilingnya terpampang foto-foto beliau dan kata-kata mutiara yang disampaikan semasa hidupnya. Di sudut lain juga terdapat meja dan kursi sederhana. Hal yang sama juga dapat kita dapati di kamar sebelah yang menjadi tempat peristirahatan Bung Hatta.

Di waktu bersamaan saat kami berkunjung, Metro TV sedang melakukan syuting off air. Sebagaimana disampaikan reporter Arema asli Dampit, Kabupaten Malang progam ini dimaksud untuk mengingatkan bangsa Indonesia akan sejarah Rengasdengklok yang tak boleh terlupakan. Insya Allah hari ini (16/8) liputan Kilas Sejarah Rengasdengklok akan ditayangkan di Metro TV.

Sungguh temaram hati, dapat menapaktilas perjuangan para pejuang kemerdekaan yang begitu besar jasanya. Menelusuri rekam jejak perjuangan mereka, membuat kita tak henti bersyukur karena telah diberikan anugerah illahi berupa kemerdekaan. Belajar pada sejarah sangat bermanfaat untuk menyadarkan kita pada perjuangan masa lampau untuk menjadi acuan untuk melangkah menuju masa depan. Hal ini sebagaimana yang diwasiatkan oleh Sang Proklamator, Putra Sang Fajar, almaghfurlahu Dr. (HC) Ir. H. Soekarno “Janganlah Melihat Masa Depan Dengan Mata Buta, Masa Lampau Sangat Berguna Sebagai Kaca Benggala Daripada Masa Yang Akan Datang”

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *