Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama yg pembaru dan berpengaruh pada kesultanan Banjar saat itu. Dia adalah seorang ulama yg ahli dalam bidang fiqh, falak sekaligus seorang ahli tasawuf meskipun ajaran2nya secara langsung kurang begitu jelas, karena minimnya sumber yg bisa didapat. Namun demikian, dari jaringan hubungannya dgn ulama2 lain dapat dipahami bahwa Syekh Muhammad al-Banjari termasuk salah seorang ahli tasawuf yg moderat (heterodoks), yg ditunjukkan oleh concernnya terhadap persoalan2 syari’at dan penentangannya terhadap faham wahdatul wujud.
Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Syaikh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullāh bin Abu Bakar al-Banjari rahimahullah, yg lahir di Lok Gabang, 17 Maret 1710 M dan meninggal di Dalam Pagar, 3 Oktober 1812 M, pada umur 102 tahun, adalah ulama besar fiqih bermazhab Syafi’i yg berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar, Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan. Beliau hidup pada masa tahun 1122-1227 H. Beliau dikenal juga dgn nama HAJI BESAR dan mendapat julukan anumerta DATU KALAMPAIAN.
Soal asal-usul Syekh Arsyad juga tercatat dalam kitab Matahari Islam yg ditulis Shaghir Abdullah yg terbit pada 1983. Menurut Shaghir, Abdullah adalah keturunan Sultan Sulu, Abu Bakar Balewa, yg melarikan diri dari serangan Portugis. Kesultanan Sulu adalah pemerintahan muslim yg berdiri pada 1457 di Filipina Selatan.
Beliau adalah pengarang Kitab Sabilal Muhtadin yg banyak menjadi rujukan bagi banyak pemeluk agama Islam di Asia Tenggara.
Silsilah Keturunan
Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari rahimahullah, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq rahimahullah, berpendapat bahwa beliau adalah keturunan Alawiyyin, melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao rahimahullah (Kesultanan Maguindanao yg didirikan Syarif Muhammad Kabungsuwan). Jalur nasabnya ialah sbg berikut:
Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Tuan Penghulu Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin ‘Ubaidillah Imam Ahmad al-Muhajir bin Imam Isa ar-Rumi bin Al Imam Muhammad an-Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam.
Masa Kecil
Zaid Ahmad dalam The Biographical Encyclopedia of Islamic Philosophy (2015) menuturkan riwayat ulama besar ini. Masa kecil Muhammad Arsyad diisi dengan pendidikan agama Islam dari keluarganya.
Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa kecil di desa kelahirannya Lok Gabang, Martapura. Sebagaimana anak2 pada umumnya, Muhammad Arsyad bergaul dan bermain dgn teman2nya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat kecerdasannya melebihi dari teman2nya. Begitu pula akhlak budi pekertinya yg halus dan sangat menyukai keindahan. Di antara kepandaiannya adalah seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja yg melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau.
Pada saat Sultan Tahlilullah sedang bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad yg masih berumur 7 tahun. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tsb, sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dgn anak2 dan cucu Sultan.
Mulanya, Abdullah dan Siti Aminah, kedua orangtua Arsyad, enggan melepas anak sulungnya itu. Tapi atas pertimbangan masa depan si buah hati, keduanya pun menganggukkan kepala. Di istana, Arsyad kecil bisa membawa diri, selalu menunjukkan keluhuran budi pekertinya. Sifat2 terpuji itu membuat ia disayangi warga istana. Bahkan, Sultan memperlakukannya seperti anak kandung.
Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yg berakhlak mulia, ramah, penurut, dan hormat kepada yg lebih tua. Seluruh penghuni istana menyayanginya dgn kasih sayang. Sultan sangat memperhatikan pendidikan Muhammad Arsyad, karena sultan mengharapkan Muhammad Arsyad kelak menjadi pemimpin yg alim.
Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah
Beliau mendapat pendidikan penuh di Istana, sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dgn seorang perempuan bernama Tuan Bajut.
Ketika istrinya mengandung anak yg pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yg kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.
Meskipun dgn berat hati mengingat usia pernikahan mereka yg masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita2. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita2nya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.
Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada para masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru dia adalah Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani rahimahumullah.
Syekh yg disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah, Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dgn kedudukan sebagai khalifah.
Namanya terkenal di Mekkah karena keluasan ilmu yg dimiliki, terutama ilmu Qiraat. Ia bahkan mengarang kitab Qiraat 14 yg bersumber dari Imam Syatibi. Uniknya, setiap juz kitab tsb dilengkapi dengan kaligarafi khas Banjar.
Selain itu guru2 Muhammad Arsyad yg lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul Mun’im ad Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani, Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah bin Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh Abdurrahamn bin Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al Fathani, Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh rahimahumullah.
Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dgn sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri al-Jawi, dan Syekh Abdul Wahab Bugis rahimahumullah, sehingga mereka dikenal sbg Empat Serangkai dari Tanah Jawi (Melayu).
Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu di Maekkah dan Madinah, timbulah niat untuk menuntut ilmu ke Mesir. Ketika niat ini disampaikan dgn guru mereka, Syekh menyarankan agar keempat muridnya ini untuk pulang ke Jawi (Indonesia) untuk berdakwah di negerinya masing2.
Budaya Melayu tetap
Meski bertahun2 hidup di Arab Saudi, Arsyad tidak larut dalam budaya Timur Tengah. Ia bersama sejumlah ulama lain asal Nusantara—seperti Syekh Abdussamad al-Palembani, Syekh Abdurrahman al-Masri al-Batawi, dan Syekh Abdul Wahab Bugis—gencar mengenalkan budaya dan bahasa Melayu di sana. “Saat itu, bahasa Melayu sempat menjadi bahasa kedua setelah bahasa Arab di Mekah dan Madinah,” ujar Humaidy, pengajar di Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Antasari, Banjarmasin.
Menikahkan Anak
Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat untuk berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada saat itu tanpa disangka2 Syekh Muhammad Arsyad bertemu dgn adik kandung dia yaitu Zainal Abidin bin Abdullah rahimahullah, yg sedang menunaikan ibadah haji. Sang adik membawa kabar berita bahwa anak dia yaitu Fatimah sudah beranjak dewasa dan sang anak menitipkan cincin kepada dia. Melihat hal demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing2 mengajukan lamaran untuk memperisteri anak dia. Setelah berpikir lama, Syekh Muhammad Arsyad memeutuskan untuk mengundi, lamaran yg akan diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran Syekh Abdul Wahab Bugis yg diterima.
Untuk itu diadakanlah ijab kabul pernikahan antara Syekh Abdul Wahab Bugis dgn Fatimah binti Syekh Muhammad Arsyad, yg dinikahkan langsung oleh Syekh Muhammad Arsyad sambil disaksikan dua sahabat lainnya.
Membetulkan Arah Kiblat Masjid
Maka bertolaklah keempat putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki wilayah Nusantara, mula2 mereka singgah di Sumatra yaitu di Palembang, kampung halaman Syekh Abdussamad Al Falimbani rahimahullah. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, yaitu kampung halaman Syekh Abdurrahman Misri rahimahullah. Selama di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad rahimahullah, diminta menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dgn masyarakat Betawi.
Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syekh Muhammad Arsyad rahimahullah membetulkan arah kiblat Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa tsb, masyarakat sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas batu dalam aksara arab melayu (tulisan jawi), yg bertuliskan bahwa kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari pada tanggal 4 Safar 1186 H.
Seelah dirasa cukup, maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab Bugis berlayar menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar.
Tiba Di Kampung Halaman
Pada Bulan Ramadhan 1186 H, bertepatan tahun 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.
Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yg telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yg pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan dia dgn upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu2kannya sbg seorang ulama “Matahari Agama” yg cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci, dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yg diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yg ‘alim lagi wara’. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya.
Kekerabatan dengan Sultan Banjar
Kekerabatan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dgn Sultan Banjar. Sultan yang memerintah saat itu, Sultan Tamjidillah I (1745 – 1778 M), sangat menghormatinya, dan mengawinkannya dgn salah seorang kerabat dekatnya, Ratu Aminah, anak dari Pangeran Thaha, saudara sepupu Sultan Tamjidillah I, yang menjadikannya sebagai kerabat Kesultanan Banjar.
Mufti dan Mahkamah Syareat
Kedatangan Arsyad membawa sejumlah perubahan di Kerajaan Banjar. Sultan Tahmidullah memintanya membentuk Mahkamah Syariah atau lembaga peradilan agama dan menunjuk Arsyad sbg mufti atau Ketua Hakim Tinggi. Arsyad bersedia. Ia mengubah nama Mahkamah Syariah yg bernuansa Arab menjadi Kerapatan Kadi yg bernuansa Banjar.
Hubungan dengan Kesultanan Banjar
Pada waktu ia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya untuk belajar ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu setelah gurunya menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang yg telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah.
Sultan Tahmidullah II yg pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yg meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad, agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yg kelak kemudian dikenal dgn nama Kitab Sabilal Muhtadin.
Pengajaran dan bermasyarakat
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yg dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yg kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yg ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama2 yg di kemudian hari menduduki tempat2 penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yg merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.
Kisah tempat pengajian ini diuraikan dalam buku seri pertama Intelektual Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, terbitan Diva Pustaka, Jakarta. Mulanya, tulis buku itu, lokasi ini berupa sebidang tanak kosong yg masih berupa hutan belukar pemberian Sultan Tahmid Allah, penguasa Kesultanan Banjar saat itu. Syekh Arsyad menyulap tanah tersebut menjadi sebuah perkampungan yg di dalamnya terdapat rumah, tempat pengajian, perpustakaan, dan asrama para santri.
Sejak itu, kampung yg baru dibuka tsb didatangi oleh para santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung baru ini kemudian dikenal dgn nama kampung Dalam Pagar. Di situlah diselenggarakan sebuah model pendidikan yg mengintegrasikan sarana dan prasarana belajar dalam satu tempat yg mirip dengan model pesantren. Gagasan Syekh Muhammad Arsyad ini merupakan model baru yg belum ada sebelumnya dalam sejarah Islam di Kalimatan masa itu.
Pesantren yg dibangun di luar kota Martapura ini, bertujuan untuk menciptakan lingkungan yg kondusif bagi proses belajar mengajar para santri. Selain berfungsi sbg pusat keagamaan, di tempat ini juga dijadikan pusat pertanian. Syekh Muhammad Arsyad bersama beberapa guru dan muridnya mengolah tanah di lingkungan itu menjadi sawah yg produktif dan kebun sayur, serta membangun sistem irigasi untuk mengairi lahan pertanian.
Tidak sebatas membangun sistem pendidikan model pesantren, Syekh Muhammad Arsyad juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum, dari perkotaan hingga daerah terpencil. Kegiatan itu pada akhirnya membentuk perilaku religi masyarakat. Kondisi ini menumbuhkan kesadaran untuk menambah pengetahuan agama dalam masyarakat.
Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid2nya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yg terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yg merupakan kitab Hukum Fiqh dan menjadi kitab pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tetapi sampai ke seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan2 di luar Nusantara. Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.
Tiga metode Pengajaran
Dalam menyampaikan ilmunya, Syekh Muhammad Arsyad sedikitnya punya tiga metode. Ketiga metode itu satu sama lain saling menunjang. Selain dgn cara bil hal, yakni keteladanan yg direfleksikan dalam tingkah laku, gerak gerik, dan tutur kata sehari2 yg disaksikan langsung oleh murid2nya, Syekh Muhammad Arsyad juga memberikan pengajaran dgn cara bil lisan dan bil kitabah. Metode bil lisan dgn mengadakan pengajaran dan pengajian yg bisa disaksikan diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat, maupun handai taulan, sedangkan metode bil kithabah menggunakan bakatnya di bidang tulis menulis.
Pesantren dan konsep Ihyaul Mawat
Inilah konsep “khas” Islam pesantren yg menyatukan kawasan masyarakat dgn kawasan pendidikan Islam. Bukti bahwa ideologi Islam pesantren yg karib dan intim dgn masyarakatnya. Bukti bahwa ulama dan santri adalah anak kandung rakyat.
Sebagai ulama dan santri yg merupakan anak kandung rakyat Kalimantan, Syekh Mohammad Arsyad Albanjari paham benar tentang problem yg dihadapi sehari2 oleh rakyatnya. Tak hanya membangun irigasi pertanian, dalam kitab karyanya yg terkenal, “Sabilal Muhtadin” juga memberikan perhatian pada permasalahan ternak dan hasil bumi atau pertanian, bahkan terdapat bab khusus terkait zakat pertanian.
Revolusi agama dan pertanian ini dinamai Syekh Mohammad Arsyad Albanjari dengan gerakan “IHYA’UL MAWAT”, gerakan menghidupkan lahan2 yg non-produktif/ lahan terlantar. Kesuksesan gerakan ini melekat, hingga sekarang, kawasan2 ini adalah pemasok utama buah limau di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Ikatan terhadap Tanah Air
“Rumah kita adalah sekolah pesantren ini dan santri adalah anak-anak kita ” (Tuan guru Abdurrasyid, Pendiri Madrasah Wathaniyah, Kandangan, 1931 M)
“Agama tak bisa ditegakkan di ruang hampa tanpa tanah dan air, karena itulah mencintai agama berarti mencintai tanah dan air, kehilangan tanah berarti kehilangan agama dan sejarah” (Prof DR KH Said Aqil Siroj, MA Ketua PBNU, pada lawatan Bulan Februari 2013 di Samarinda)
Karena mencintai agama (Dalam Pagar) lah, para ulama dan santri Syaikh Arsyad Albanjari juga mencintai pertanian mereka (Sungai Tuan). Kehilangan lahan pertanian dan pangan berarti juga kehilangan agama. Begitulah kira2 jika ingin melukiskan hubungan antara perkampungan pesantren Dalam Pagar dan perkampungan pertanian Sungai Tuan, ibarat dua sisi mata uang yg tak terpisahkan.
Karena mencintai agama sekaligus mencintai Tanah-Air pula, para ulama dan santri yg dipimpin oleh Hadratus syaikh KH Hasyim Asyari, mengeluarkan Resolusi Jihad, agar umat Islam dan kekuatan pesantren melawan dan mengusir Belanda lewat peristiwa heroik 10 november 1945 lampau. Sebagai anak kandung rakyat Kalimantan, Syekh Arsyad paham betul bagaimana medan perjuangan yg ia sedang hadapi. Ia bahkan diberikan julukan “Tuan Haji Besar” oleh Belanda karena pengetahuan dan pengasaannya yg komplit atas hampir semua disiplin ilmu, salah satunya adalah ilmu falak (Astronomi) dan ilmu hidrologi.
Penguasaannya atas astronomi atau ilmu falak terlihat dari salah satu buku karangannya yg berjudul Kitab Ilmu Falak dan prestasinya dalam membetulkan arah kiblat sebuah masjid di Betawi. Kemudian penguasaannya atas ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam karyanya yg terkenal, Sabilal Muhtadin, sebuah kitab fikih yg 40 persen dari isinya membahas secara rinci tentang air dan hidrologi yg tersebar diberbagai bab.
Pengetahuannya atas air dan hidrologi konon pernah diuji oleh belanda, saat ia bersama Syekh Abdusshomad Al-Palembangi ditangkap selama 3 hari, 3 malam oleh Belanda di Batavia, karena gerak gerik yg mencurigakan. Syekh Arsyad terbukti mampu menghitung kedalaman air sungai bahkan air laut. Pengetahuan ini pula yg ia terapkan dalam pembangunan irigasi pertanian sungai tuan.
Sebagai anak Kalimantan, negeri yg dijuluki sebagai negeri seribu sungai, menjadi latar belakang pemikiran “ekologi” Syekh Arsyad Albanjari yg menyebabkan pembahasan dan pengetahuannya mengenai air dan hidrologi sebegitu dalamnya dan menjadi perhatiannya dalam kitab Sabilal Muhtadin.
Karena kecintaannya pada tanah dan air, aktivitas ber”huma” atau bertani memiliki nilai ibadah, ikatan dan perlakuan atas tanah bukan semata fungsi ekonomis guna memenuhi kebutuhan makan dan minum melalui ladang dan sawah, akan tetapi juga fungsi spiritual dan bernilai ibadah.
Pakai Tongkat, Ulama Arsyad Al-Banjari Membuat Aliran Sungai Tuan
Aliran air di Sungai Tuan kemudian mengairi persawahan. Sungai Tuan adalah sungai buatan berupa sudetan dari Sungai Martapura Ulu ke Sungai Martapura Ilir. Pertemuan arus air dari Riam Kiwa dan Riam Kanan. Uniknya, Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari menggoreskan tongkatnya sepanjang 8 kilometer untuk membuat anak sungai yg dapat mengalirkan airnya ke daratan di sepanjang Sungai Tuan.
Goresan tongkat yg menjadi anak sungai inilah yg menjadi sumber nama kampung itu, yakni dua ungkapan yg terdiri dari Sungai dan Tuan, sehingga tergabunglah keduanya menjadi nama suatu kampung yaitu kampung Sungai Tuan. Mayoritas penduduknya adalah zuriat Syekh Muhammad Arsyad dari isteri beliau bernama Tuan Palung.
Sungai Tuan kini dibagi menjadi dua administrasi desa: Sungai Tuan Ulu dan Sungai Tuan Ilir, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar. “Tampaknya Sungai Tuan yh dibikin oleh ulama Arsyad Al Banjari saat ini masih berfungsi teknis, untuk itu wajib dijaga dan dilestarikan demi keberlanjutan warisan atau pusaka untuk masa depan, sbg karya teknis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yg sudah berumur 2 abad,” kata Adhi usai Diskusi Publik “Heritage Sungai Tuan Yang Berfungsi Teknis Sebagai Karya Tuan Haji Besar Muhammad Arsyad Al Banjari Dalam Perspektif Teknik Sipil,” di Kampus Uniska Banjarmasin, Rabu (7/3/2018).
Arsyah Al Banjari membuat aliran Sungai Tuan untuk kebutuhan sistem irigasi pertanian, persawahan, dan perkebunan. Selain itu, aliran sungai berfungsi menopang transportasi air. Adhi mengusulkan Sungai Tuan harus segera dinormalisasikan karena kondisinya kritis dgn adanya pendangkalan dan penyempitan sungai.
Menurut dia, kajian teknis dan perhitungan Sungai Tuan bisa lewat penelitian mendalam. “Normalisasi Sungai Tuan bertujuan dijadikan sebagai heritage atau warisan dunia melalui PBB (UNESCO),” ujarnya.
Adhi menceritakan, niatan Arsyah Al Banjari membuat Sungai Tuan karena kawasan Martapura Lama sering kebanjiran. Alhasil, si ulama menyudet Sungai Martapura, dan bencana banjir di Martapura lama dapat ditangani. Saat itu, fungsi Sungai Tuan sebagai sistem pengendali banjir memang mumpuni, karena menekan aliran air Riam Kiwa yg masuk ke Sungai Tuan.
Sehingga pertemuan debit aliran Riam Kiwa dgn Riam Kanan menjadi berkurang, setelah disudet lewat Sungai Tuan yg titik awalnya berada di Jembatan Astambul. Sehingga debit banjir di Martapura Lama dapat dikendalikan.
Terusan atau anak sungai itu disempurnakan, sehingga berfungsi sebagai irigasi yang mengatur pasokan air. Aliran irigasi ini mampu memproduktifkan ladang pertanian. Konsep ihya ul mawat dalam Islam sudah diterapkan oleh Syekh Muhammad Arsyad sejak dua abad yang silam (200 tahun masehi yang lalu).
“Dan beliau sangat paham dengan ilmu falak, mengetahui kapan debit air maksimal (pasang) dan kapan air minimal (surut). Beliau menarik garis dengan ilatung dari matahari terbit menuju matahari terbenam (timur ke barat),” kata Adhi.
Setelah dua abad, Sungai Tuan mengalami penyempitan dan pendangkalan karena sedimentasi transportasi dan tumbuhnya rumah-rumah di bantaran Sungai Tuan. Itu sebabnya, ia meminta perlu adanya normalisasi Sungai Tuan.
Dalam survei Januari 2018, Sungai Tuan masih berfungsi meskipun kondisinya sangat kritis, rata-rata lebar sungai 3-6 meter dengan panjang sungai kurang lebih 8 km. Mengutip wawancara dengan Dwi Putro Sulaksono, petugas Museum Lambung Mangkurat dan penulis buku Perkapalan Rakyat Kalimantan Menuju Sistem Inovasi Nasional Transportasi Air Dan Sungai, Adhi menuturkan Sungai Tuan sebagai warisan atau pusaka yang mesti dijaga dan dilestarikan. Bahkan, bisa diusulkan ke PBB sebagai heritage. (Anang Fadhilah)
Karya-karyanya
Karya2nya bak sumur yg tak pernah kering untuk digali hingga generasi kini. Tak mengherankan bila seorang pengkaji naskah ulama Melayu berkebangsaan Malaysia menjulukinya sbg ‘Matahari Islam Nusantara’. ‘Matahari’ itu terus memberikan pencahayaan bagi kehidupan umat Islam.
Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yg paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yg artinya dalam terjemahan bebas adalah “Jalan bagi orang2 yg mendapat petunjuk untuk mendalami urusan2 agama”. Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperlu
an pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, di antaranya ialah:
1. Kitab Ushuluddin yg biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,
2. Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yg membahas soal2 itikad serta perbuatan yg sesat,
3. Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
4. Kitabul Fara-idl, hukum pembagian warisan.
Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yg langsung diajarkannya, oleh murid2nya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yg berhubungan dgn itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran2nya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.
Karya2nya antara lain, Al Qaulul Mukhtashar, kitab Tasauf, kitab Nikah, kitab Faraidh, dan kitab Hasyiyah Fathul Jawad. Karyanya paling monumental adalah kitab Sabilal Muhtadin yg kemasyhurannya tidak sebatas di daerah Kalimantan dan Nusantara, tapi juga sampai ke Malaysia, Brunei, dan Pattani (Thailand Selatan).
Kitab Sabilul Muhtadin
Sabil Al-Muhtadin Alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, karena adanya kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab2 fikih yg ditulis dalam bahasa Arab.
Buku2 yg membahas masalah fikih (ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji) di Indonesia cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ribuan, baik yg ditulis ulama asal Timur Tengah, ulama Nusantara, maupun para ilmuwan kontemporer yg memiliki spesifikasi tentang keilmuan dalam bidang fikih atau hukum Islam.
Dari berbagai buku2 fikih yg ada, salah satunya adalah kitab Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi Amr Al-Din (Jalan bagi orang2 yg mendapat petunjuk agar menjadi faqih (alim) dalam urusan agama.
Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dan merupakan salah satu karya utama dalam bidang fikih bagi masyarakat Melayu. Kitab ini ditulis setelah Syekh Muhammad Arsyad mempelajari berbagai kitab2 fikih yg ditulis para ulama terdahulu, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj yg ditulis oleh Syekh al-Jamal al-Ramly, kitab Syarh Minhaj oleh Syekh al-Islam Zakaria al-Anshary, kitab Mughni oleh Syekh Khatib Syarbini, kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab Mir’atu al-Thullab oleh Syekh Abdurrauf al-Sinkili, dan kitab Shirat al-Mustaqim karya Nurruddin al-Raniri.
Selain itu, ada alasan utama yg dilakukan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari saat menulis kitab ini. Sebuah sumber menyebutkan, pada awalnya, keterbatasan (kesulitan) umat Islam di Banjar (Melayu) dalam mempelajari kitab2 fikih yg berbahasa Arab. Maka itu, masyarakat Islam di Banjar berusaha mempelajari fikih melalui kitab2 berbahasa Melayu. Salah satunya adalah kitab Shirat al-Mustaqim yg ditulis Syekh Nurruddin al-Raniri.
Kitab Shirat al-Mustaqim-nya al-Raniri ini juga ditulis dalam bahasa Arab-Melayu yg lebih bernuansa bahasa Aceh. Namun, hal itu juga menimbulkan kesulitan bagi masyarakat Islam Banjar untuk mempelajarinya. Oleh karena itu, atas permintaan Sultan Banjar (Tahmidullah), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kemudian menuliskan sebuah kitab fikih dalam bahasa Arab-Melayu yg lebih mudah dipahami masyarakat Islam Banjar.
Dalam mukadimah kitab Sabil al-Muhtadin, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari menyatakan bahwa karya ini ditulis pada 1193/1779 M atas permintaan Sultan Tahmidullah dan diselesaikan pada 1195/1781 M.
Secara umum, kitab ini menguraikan masalah2 fikih berdasarkan mazhab Syafi’i dan telah diterbitkan oleh Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah. Kitab Sabil al-Muhtadin ini terdiri atas dua jilid.
Seperti kitab fikih pada umumnya, kitab Sabil al-Muhtadin ini juga membahas masalah2 fikih, antara lain, ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.
Kitab ini lebih banyak menguraikan masalah ibadah, sedangkan muamalah belum sempat dibahas. Walaupun begitu, kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha Syekh Arsyad menerapkan hukum Islam di wilayah Kerajaan Banjar sesuai anjuran Sultan Tahmidullah yg memerintah saat itu.
Kitab Konstektual
Menurut Najib Kailani, koordinator Bidang Media dan Budaya, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, dalam artikelnya yg berjudul “Ijtihad Zakat dalam kitab Sabil al-Muhtadin,” menyatakan, ”Meskipun ditulis pada abad ke-18, terdapat banyak sekali pemikiran cemerlang Syekh Arsyad dalam kitab ini yg sangat kontekstual di era sekarang. Satu di antara gagasan brilian di dalam kitab Sabil al-Muhtadin adalah pandangan beliau tentang zakat.”
Dicontohkan Kailani, pada pasal tentang orang2 yg berhak menerima zakat (mustahik), terdapat pandangan dan pemikiran Syekh Muhammad Arsyad yg sangat progresif dan melampaui pemikiran ilmuwan pada zaman itu.
Syekh Arsyad al-Banjari menyatakan, ”Fakir dan miskin yg belum mampu bekerja baik sbg pengrajin maupun pedagang, dapat diberikan zakat sekira cukup untuk perbelanjaannya dalam masa kebiasaan orang hidup. Misalnya, umur yg biasa ialah 60 tahun. Kalau umur fakir atau miskin itu sudah mencapai 40 tahun dan tinggal umur biasa (harapan hidup) 20 tahun. Maka, diberikan zakat kepadanya, sekira cukup untuk biaya hidup dia selama 20 tahun.”
Dan, yg dimaksud dgn diberi itu bukan dgn emas maupun perak yg cukup untuk masa itu, tetapi yang bisa dipergunakan untuk membeli makan dalam masa yg disebutkan di atas. Maka, hendaklah dibelikan dgn zakat tadi dengan izin Imam, seperti kebun yg sewanya memadai atau harga buahnya untuk belanjanya di masa sisa umur manusia secara umum agar ia menjadi mampu dengan perantaraan zakat. Lalu, kebun itu dimiliki dan diwariskannya kepada keluarganya karena kemaslahatannya kembali kepadanya dan kepada mustahik yg lain. Inilah tentang fakir dan miskin yg tidak mempunyai kepandaian dan tidak bisa berdagang.
Menurut Kailani, pandangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ini, tampak telah melampaui zamannya. ”Sangat jelas bahwa pijakan gagasan ini adalah konsep kemaslahatan umum (maslahah al-ammah), di mana zakat tidak sekadar dimaknai sebagai pemberian karitatif, lebih jauh ia merupakan satu mekanisme keadilan sosial, yaitu supaya harta tidak hanya terputar di kalangan orang kaya semata,” ujar Kailani.
”Beliau memberi contoh dgn pengelolaan kebun yg manfaatnya bisa menghidupi keluarga sang penerima zakat dan seterusnya, sampai anak cucunya dan penerima zakat lainnya. Pandangan ini tampak sejalan dgn konsep negara kesejahteraan (welfare-state) di Eropa, di mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya yg belum memperoleh pekerjaan layak,” tambahnya.
Beberapa ijtihad zakat sudah digulirkan para pemikir Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradhawi tentang zakat profesi atau Masdar Farid Mas’udi mengenai zakat yg ditransformasikan menjadi pajak dan lain sebagainya. Mengangkat kembali gagasan Syekh Arsyad dalam konteks kini, paling tidak mendorong kembali upaya2 re-interpretasi kontekstual makna zakat dalam kehidupan Muslim kontemporer.
Berdasarkan contoh di atas, kata Kailani, tentunya sangat penting bagi umat Islam di Indonesia untuk menelisik ulang khazanah tradisi Islam Nusantara yg ditulis oleh ulama2 besar sejak abad ke-13 hingga ke-20, saat banyak gagasan cemerlang yg terlontar melampaui zamannya.
Seperti diketahui, kitab Sabil al-Muhtadin ini tak hanya menjadi referensi ilmu fikih bagi umat Islam di Banjar (Kalimantan Selatan), tetapi juga bagi masyarakat Melayu lainnya, seperti Brunei Darussalam, Malaysia, hingga Thailand.
”Sudah saatnya kita membuang sikap apriori terhadap tradisi klasik, terutama karya2 ulama Nusantara sbg ketinggalan zaman dan tidak sesuai dgn problem kekinian. Dari contoh gagasan Syekh Arsyad di atas, menyadarkan kita betapa banyak kekayaan gagasan Islam Nusantara yg bisa dikembangkan kembali untuk konteks keindonesiaan sekarang,” kata Kailani.
Hal ini sejalan dgn gagasan dan pemikiran yg dilakukan oleh Departemen Agama yg kini tengah mentahkik karya2 ulama Nusantara. Tujuannya, agar umat Islam Indonesia mengenal dgn baik ulama2 Nusantara dan karya2nya.
Tarekat Sammaniyah
Selama 25 tahun Arsyad belajar di Mekah dan 5 tahun di Madinah. Dia berguru kepada sejumlah ulama besar. Salah satunya Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi, ulama asal Kurdistan. Ia juga mengaji kepada Syekh Muhammad Abdul Karim Samman al-Qodiri al-Khalwati al-Madani, pendiri tarekat Sammaniyah.
Tarekat Sammaniyah lalu dibawa Arsyad ke Banjar dan diteruskan keturunannya. Salah satunya Kiai Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Guru Sekumpul (1942-2005), yg merupakan keturunan ketujuh Arsyad.
Anti Kolonialisme
Tasawuf-lah yg membuat pandangan ulama Kalimantan ini menjadi anti-kolonial, dalam sebuah catatan, bahkan sahabat Arsyad Albanjari, Abdusshomad Al-Palembangi disebut sebagai yg paling anti-kolonial dgn menulis sebuah tulisan berjudul ; Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mukminin fi Fadha’il Jihad wa Karamatul Mujahidin Fisabilillah, sebuah naskah tentang pentingnya jihad melawan kolonialisme asing . Mereka berdua ini adalah murid langsung dari Syekh Samman al Madani, sumber utama gerakan Tharekat Sammaniyah yg “masyhur” dikenal sbg tarekat yg menginspirasi berbagai gerakan perlawanan atas kolonialisme Belanda di Nusantara .
Berkembangnya Tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan berkaitan dhn ‘pengisian mental’ pejuang dalam melawan penjajah. Seperti juga yg ditemukan di Banten melalui Nawawi al Bantani yg hidup satu abad sesudah Abdusshomad Al-Palembangi, Nawawi sempat berguru kepada murid2 Abdusshomad al Palembangi di Sulawesi Selatan tarekat ini dikenal dgn nama Tharekat Khalwatiyah Salman.
Di Banjar, Kalimantan Selatan, ada dua tokoh yang disebut2 bagian dari “jaringan” tarekat ini yaitu Muhammad Nafis AlBanjari dan Syaikh Muhammad Arsyad Albanjari. Nafis AlBanjari—walaupun tidak langsung berguru dgn Syekh Samman, namun ia mengarang kitab yg sangat berkaitan dgn konsep Sammaniyah, berjudul Ad Durrun Nafis.
Konsep Alim Dulu Hanyar Sugih
Ada sebuah konsep penting yg diajarkan oleh guru2 pesantren yg ajarannya bersumber dari Syekh Arsyad Albanjari dan dari konsep tasawuf, yaitu ; “Alim dulu hanyar sugih”, “menjadi alim dulu baru menjadi kaya”,–ini adalah konsep meletakkan materi atau capital dibawah pengetahuan agama. Konsep ini relevan saat ini ketika laju “pragmatisme” melalui godaan menjual tanah dan lahan pada kepentingan asing atau Kapitalisme.
Karena kini banyak kawasan pertanian dan pangan yg direbut oleh pertambangan batubara, begitu juga di Kalimantan, menghancurkan lahan pertanian berarti juga menghancurkan “ideologi pesantren” yg sudah lama memilih pertanian sbg “ideologi ekonominya”.
Lebih 40 tahun Syekh Arsyad melakukan penyebaran Islam di daerah kelahirannya, sebelum maut menjemputnya. Dia meninggal pada 1812 M di usia 105 tahun. Sebelum wafat, dia sempat berwasiat agar jasadnya dikebumikan di Kalampayan bila sungai dapat dilayari atau di Karang Tengah, tempat istrinya, Bujat, dimakamkan bila sungai tidak bisa dilayari.
Namun karena saat meninggal air sedang surut, maka Ia dimakamkan di Desa Kalampayan Tengah, Kecamatan Astanbul, Kabupaten Banjar. Di atas makam itu lalu dibangun Masjid Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Kalimantan Selatan. Di daerah yg terletak sekitar 56 km dari kota Banjarmasin itulah jasad Datuk Kalampayan – panggilan lain anak cerdas kelahiran Lok Gabang – ini dikebumikan. Arsyad meninggal pada usia 102 tahun, 13 Oktober 1812 M.
Masjid Sabilul Muhtadin
Lima menara, empat kecil dan satu besar, mengelilingi masjid dua lantai berwarna cokelat dan emas seluas 5.250 meter persegi di sisi Jalan Jenderal Sudirman, Kota Banjarmasin. Di depan bangunan utama membentang taman dgn kolam serta pancuran air. Di dalam kompleks masjid juga terdapat sejumlah bangunan, seperti kantor pengurus masjid, kantor Majelis Ulama Indonesia Banjarmasin, dan area parkir.
Masjid yg berdiri di atas lahan 100 ribu meter persegi itu dibangun pada 1974 dan diberi nama Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Nama itu diambil dari nama salah satu kitab karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, ulama besar yg bermukim di ibu kota Kalimantan Selatan tsb.
Sabilal Muhtadin bukan satu2nya kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yg dijadikan nama masjid. Di Kelurahan Alalak Tengah ada masjid bernama Tuhfaturraghibin, yg juga diambil dari salah satu kitab karya Arsyad. Setidaknya ada 20 kitab yg dia tulis semasa hidupnya.
Wallahu a’lam
نفعنا الله بعلومهم وامدنا بأسرارهم واعاد علينا من بركاتهم وعلومهم وانوارهم في الدين والدنيا والآخرة آمين يا رب العالمين بجاه سيد المرسلين محمد صلى الله عليه وآله وسلم , الفاتحة ….
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ . الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ، إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ، اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ. أمين
summarized from https://id.m.wikipedia.org www.republika.co.id www.majalah.tempo.co http://p2kp.stiki.ac.id https://iai-darussalam.ac.id www.nu.or.id and other sources by Ahmad Zaini Alawi Khodim JAMA’AH SARINYALA Kabupaten Gresik
CHANNEL YOUTUBE SARINYALA
No responses yet