Siapapun sepakat, bahwa kita khususnya bangsa Indonesia tengah menghadapi situasi “tidak normal” sejak penyebaran Covid-19 ini. Dalam kamus Fiqh, keadaan tidak normal ini menyebabkan hukum fiqhnya juga berbeda, sejalan dengan kaidah fiqh “al-hukmu yaduuru ma’a illatihi wujuudan wa adaman”. Hukum berkaitan dengan ratio legis (‘illat) diundangkannya hukum tersebut. Hanya sayangnya, secara de facto, sebagian masyarakat kita masih belum menerima kenyataan ini. Mereka nampak meyakini bahwa selamanya fiqh tidak akan pernah berubah. Protes sebagian kecil masyarakat (2/5/2020) agar masjid dibuka untuk sholat tarawih dan sholat Jum’at dalam beberapa kasus adalah bukti, bahwa tidak semua umat Islam memahami logika perubahan hukum tersebut.
Padahal, situasi wabah pandemi adalah situasi darurat yang mustinya berlaku hukum darurat. Wahab Khalaf menyebut darurat sebagai keadaan yang menyebabkan seseorang akan kehilangan jiwa ketika tidak melakukan perbuatan tersebut. (Wahab Khalaf: 1977). Dalam keadaan darurat ini, maka berlaku hukum rukhsah keringanan sesuai bunyi al-Qur’an: Yuriidullahu bikuml yusra wala yuriidu bikumul ‘usr. (QS. Al-Baqarah: 185). Allah menghendaki kemudahan, dan tidak menghendaki bukan kesulitan pada kalian. Karena Islam adalah agama yang mudah, meskipun kemudahan ini diberikan dalam batas-batas kewajaran.
Dalam konteks itulah, maka menjadi penting untuk menggagas Fiqh Pandemi. Fiqh Pandemi sebagaimana saya maksud adalah fiqh ketika dalam kondisi wabah Covid-19 yang berbeda keadaan dengan kondisi pada saat normal. Berbeda dengan terma fiqh yang merujuk pada lokalitas –sebut misalnya Fiqh Nusantara, Fiqh Mesir dan sebagainya, Fiqih Pandemi memfokuskan pada keadaan dan situasi pandemi seperti yang dialami oleh masyarakat pada saat ini. Istilah Fiqh Pandemi setali tiga uang dengan Fiqh Wabah atau lebih tepatnya Fiqh Corona.
Covid-19 memang tidak ada hukumnya. Jika covid-19 ada di angkasa dan tidak berhubungan dengan, pasti tidak ada hukum fiqhnya. Ketika Covid-19 ini berkaitan dengan aktivitas manusia, maka baru muncul ‘bunyi’ hukumnya. Misalnya untuk menjaga agar tidak terjadi penularan Covid-19, maka baru muncul hukum fiqh: bagaimana hukum sholat jama’ah dengan memakai masker dalam rangka menghindari penyebaran virus corona ini ? Bagaimana hukum sholat dengan model social distancing, untuk mencegah penyebaran Covid-19? Juga, bagaimana hukum tidak melakukan sholat Jum’at di zona merah karena takut penyebaran Covid-19?. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa.
Peta Alur Fiqh Pandemi
Jika dipetakan setidaknya ada tiga alur berkaitan dengan Fiqh Pandemi yaitu, perintah, larangan dan pilihan.
Dalam terma Fiqh, perintah (amar) memuat dua hukum, yakni wajib dan sunah. Perintah wajib misalnya sholat Jum’at dan penangan jenazah (mulai memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkan). Sementara, contoh perintah yang sunah adalah sholat tarawih, sholat jama’ah, sholat Idul Fitri, merapatkan barusan shaf dalam sholat, tadarus malam hari di masjid, dan sebagainya.
Dalam konteks hukum ibadah sunah, masyarakat seyogyanya memahami bahwa tidak melakukan ibadah sunah di masjid sebagaimana arahan pemerintah –seperti tarawih, tadarus al-Qur’an, dan sebagainya– tidaklah berdosa. Bahkan, dalam situasi yang demikian, lebih maslahah dan berpahala ketika melakukan ibadah di rumah, demi untuk memutus penyebaran Covid-19. Pun, oleh karenanya, pahala melakukan ibadah tersebut lebih banyak di rumah.
Sesungguhnya, yang sulit adalah meninggalkan perintah wajib seperti sholat Jum’at. Sesuai dengan Fatwa Majlis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah, sholat Jum’at di kawasan zona merah bahkan dilarang dan umat menggantinya dengan sholat Dluhur. Sementara, sholat Jum’at di kawasan zona kuning, jika seseorang khawatir tertular covid-19, maka ia juga boleh meninggalkan Jum’at dan tentunya diganti dengan melakukan sholat dluhur. Larangan keras meninggalkan sholat Jum’at tiga kali dalam hadits harus dipahami ketika tidak ada udzur Syar’i. Tentu, ketika ada udzur syar’i termasuk kondisi wabah pandemi ini, larangan ini tidak berlaku.
Sementara itu, larangan (nahi) memuat perbuatan haram dan makruh. Larangan yang haram, dalam hemat saya, lebih mudah. Misalnya meninggalkan maksiat minuman keras. Kita pasti lebih senang karena justru sesuai dengan ketentuan Tuhan. Sementara, larangan berupa makruh misalnya menggunakan masker ketika sholat. Dalam keadaan normal, menggunakan masker ketika sholat adalah makruh sebagaimana bunyi hadits: “Rasulullah Saw. melarang seseorang menutup mulutnya ketika shalat (HR Ibnu Majah). Namun, ketika pandemi, kemakruhan ini hilang karena ada hajat untuk menggunakan masker tersebut, demi menghindari penyebaran pandemi. (al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah: 1427 H/2006 M)
Hukum yang lain adalah mubah yang merupakan pilihan mukalaf (takhyir). Mubah adalah hukum pilihan melakukan atau meninggalkan dengan kondisi sama. Artinya, ketika melakukan mubah, tidak dapat pahala dan juga tidak dapat mendapat dosa. Belanja dan mudik adalah mubah. Namun, jika sudah dilarang oleh pemerintah untuk memutus mata rantai virus covid-19, maka jika menggunakan logika Syeikh Nawawi al-Bantani (Nihayatut Zaein: tt), hukum belanja di mall dan mudik berubah menjadi haram dan wajib bagi masyarakat untuk mematuhinya.
Epistemologi Fiqh Pandemi
Bertolak dari apa yang penulis sampaikan, maka epistemologi Fiqh Pandemi menggunakan epistemologi yang ‘sedikit berbeda’, sebagaimana berikut:
Pertama, Fiqh Pandemi menekankan pada kaidah perubahan hukum, yaitu taghuyyurul ahkam bitaghayyuril azminati wal amkinati wal ahwali. Bahwa perubahan hukum bergantung pada perubahan waktu, tempat dan keadaan. Meski tidak bisa digebyah-uyah semua hukum fiqh berubah berubah pada Fiqh Pandemi, namun perubahan keadaan (wal ahwali) menjadikan landasan utamanya.
Kedua, Fiqh pandemi secara umum, lebih berpijak pada rukhsah, bukan pada azimah. Azimah adalah hukum asal dalam keadaan normal, sementara rukhsah adalah hukum dispensasi karena keadaan yang tidak normal (extra ordinary). Rukhsah diberikan pada hamba Allah Swt. agar menghilangkan pelbagai kesulitan yang dialami hamba. Fiqh Pandemi, dibangun atas dasar tersebut, sebagai bentuk sifat rahman dan rahim Allah Swt.
Ketiga,Fiqh Pandemi didasarkan pada situasi hajat bahkan juga darurat. Jika hajat adalah keadaan yang jika tidak dilakukan akan mengakibatkan kesulitan, maka darurat merupakan kondisi yang melampaui hajat; jika ia tidak melakukan hal tersebut, maka yang demikian akan membahayakan keselamatan jiwa. Setidaknya, dalam banyak hal, Fiqh Pandemi didasarkan pada keadaan hajat dan darurat sehingga berlaku kaidah fiqh “al- haajatu tanzilu manzilatad dlaruuraati” (kebutuhan itu menempati kedudukan darurat) dan “al- dlaruuratu tubiihul mahdluuraati” (dlarurat itu membolehkan hal-hal yang dilarang).
Walhasil, Fiqh Pandemi inilah yang mestinya dijadikan pedoman bersyariah kala meraja lela Covid-19. Namun demikian, Fiqh Pandemi tetap mengharuskan seorang muslim tetap puasa di kala wabah Pandemi, tidak seperti usulan sedikit orang yang membolehkan tidak berpuasa karena Fiqh Pandemi saat awal-awal puasa di bulan Ramadlan ini.
Wallahu’alam.
No responses yet