Pengantar

Saya masih ingin melanjutkan pembacaan Kîmìyâ al-Sa’âdah (Proses Meraih Kebahagiaan) al-Ghazâlî dengan menerjemahkan bagian pengantar terjemahan kitab ini dalam bahasa Inggris. Satu pengantar yang baik diberikan dalam terjemahan Claud Field yang kali ini bukan dari Elton L. Daniel seperti yang lalu sudah saya terjemahkan, namun dari yang lain, yang tidak disebut nama penulis pengantarnya, mungkin dari Claud Field sendiri, dalam versi terjemahan yang diterbitkan Global Grey (2018) dengan beberapa tambahan saya dari sumber lain.

Kimiya-yi-Sa’ādat (Persia) disusun menjelang akhir hidup al-Ghazâlî sebelum 499/1105. Selama waktu sebelum terbentuk, dunia Muslim diakui berada dalam keadaan kekacauan politik dan keresahan kesarjanaan. Kimiya-yi sa’ādat menggarisbawahi vitalitas tradisi Islam, gerakan yang mungkin mempercepat keselamatan, dan penghindaran dosa. Unsur yang membedakan Kimiya-yi- Sa’ādat dari karya filosofis lainnya adalah tekanan supernatural pada disiplin diri dan asketisme.

Dalam versi terjemahan Jay R. Crook terdiri dari dua volume dengan Pengantar oleh Laleh Bakhtiar ( Kazi Publications) dikatakan bahwa Kimiya’e Saadat adalah ringkasan al-Ghazâlî sendiri, dalam bahasa Persia, dari karya besarnya “Kebangkitan Ilmu Agama” (Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn). Dalam karya ini, al-Ghazâlî merinci banyak jebakan, jerat, dan gangguan dari dalam dan luar diri yang menunggu untuk menyelewengkan pejalan ruhani dari mencapai tujuan yang disebut al-Ghazâlî sebagai kebahagiaan spiritual. Tetapi ada juga pembela, pemandu, dan pembantu yang dapat dimintai bantuan oleh pejalan ruhani untuk membantunya jika dia mengenali diri mereka.

Dalam Alkimia, Ghazali telah memberikan kritik terhadap iman dan ini adalah buku panduan terperinci untuk membimbingnya dengan aman ke tujuan kebahagiaan spiritual. Jika dia mengikuti nasihatnya, dia akan berhasil melewati pengadilan ilahi di Hari Kebangkitan sehingga dapat mencapai keselamatan abadi, tingkat tertingginya adalah keadaan di mana tidak ada rasa takut akan siksa neraka atau keinginan akan kenikmatan surga. Keadaan ini adalah ekstasi murni dari Hadirat Ilahi yang penuh kasih, yakni kebahagiaan spiritual mutlak.

Al-Ghazâlî dan Kimiya’ al-Sa’âdah

Dalam sebuah pengantar untuk The Alchemy of Happiness (terj. Claud Field), penerbit Global Grey (2018) yang saya terjemahkan dikatakan bahwa filsuf besar Prancis, Ernest Renan (w. 1892), yang pemikirannya santai adalah antitesis yang tepat untuk pemikiran al-Ghazâlî yang serius, dalam bukunya Averroes et Averroisme, menyebutnya “pemikiran paling orisinal di antara Filsuf Arab.” Terlepas dari itu, ketenarannya sebagai seorang filsuf telah sangat dibayangi oleh Avicenna (Ibn Sînâ), pendahulunya, dan Averroes (Ibn Rushd), penerus dan lawannya.

Hal ini adalah fakta yang signifikan di mana Encyclopædia Britannica menyediakan lima kolom untuk kolom filsuf Arab lainnya dan sebanyak satu setengah kolom untuk al-Ghazâlî. Namun diragukan apakah al-Ghazâlî benar-benar sebagai seorang filsuf yang ingin diingat terutama karena beberapa karya polemiknya di mana ia menyampaikan kritiknya terhadap para filsuf, terutama kitab Tahafut al-falasifah-nya, atau “Penghancuran para filsuf” (The Incoherence of Philiosophers). Dan, seperti yang dikatakan Solomon Munk dalam bukunya Melanges de Philosophie Juive et Arabe, al-Ghazâlî memberikan “pukulan fatal” bagi filsafat Arab di Timur, dari mana filsafat Arab tidak pernah hidup kembali, meskipun untuk sementara waktu dihidupkan kembali di Spanyol dan berpuncak pada Averroes.

Filsuf dan skeptis seperti al-Ghazâlî pada dasarnya, dengan melihat karya-karya utamanya dapat diidentifikasi bahwa ia adalah seorang teolog, moralis, dan mistik (sufis), meskipun pemikiran mistik atau sufistiknya sangat diimbangi oleh akal sehat. Al-Ghazâlî, seperti yang dia katakan dalam kitab al-Munqiż min al-Ďalal yang merupakan karya pengakuan (confessions)-nya, mengalami “pertobatan”; Tuhan telah menempatkannya “di tepi neraka,” dan sejak pertobatannya itu al-Ghazâlî mengisi hidupnya dalam kehidupan sufistiknya dengan mengasingkan diri dari kehidupan duniawi (uzlah).

Dalam karya yang sama dia memberi tahu kita bahwa salah satu kelemahannya yang mengepung dirinya adalah keinginannya akan popularitas, keinginan untuk dibanggakan manusia. Dalam Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn (“Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama “) ia mencurahkan bab panjang tentang bahaya kecintaan akab ketenaran dan ia menawarkan obat untuk mengatasi hal itu. Setelah pertobatannya, dia pensiun dari berbagai jabatan yang telah diraihnya dan memfokuskan dirinya pada kehidupan religiusnya. Ia melakukan pengasingan diri selama sebelas tahun di Damaskus, di sebuah pojok masjid yang sampai kini masih menyandang namanya, “Sudut al-Ghazâlî (“The Ghazâlî Corner “).

Al-Ghazãlî lalu melanjutkan pengasingan dirinya di Yerusalem, di mana dia menyerahkan dirinya secara intens dan melakukan meditasi yang berkepanjangan. Tapi dia memiliki karakter yang terlalu mulia untuk berkonsentrasi sepenuhnya pada jiwanya sendiri dan prospek kekekalannya. Permintaan anak-anaknya – dan urusan keluarga lainnya di mana kami tidak ada informasi pasti yang kita miliki – menyebabkan dia kembali ke rumah. Selain itu, perkemngan lanjutan dari gerakan kebatinan, Ismailisne (yang terkenal dikaitkan dengan gerakan Assassins) dan penyebaran doktrin ateisme (dahrîyah), sebuah sekte kontemporer yang disebut “Lâ-adria” (agnostics) yang terus meningkat ditambah ketidakpedulian masyarakat pada agama tidak hanya memenuhi keprihatinan mendalam al-Ghazâlî dan para sufi lainnya, tetapi memutuskan ia dan para sufi lainnya untuk membendung bahaya aliran kebatinan dan ateisme dengan seluruh kekuatan filsafat mereka, dengan semangat keimanan vital, dan otoritas teladan mulia.

Dalam otobiografinya yang disebutkan di atas (al-Munqiż min al-Ďalal), al-Ghazâlî memberi tahu kita bahwa setela ia mengalami krisis keraguan (skeptis) yang muncul dari keadaan skeptisisme Pyrrhonic, dia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa para mistikus (sufis) berada di jalan yang benar dan mereka adalah kaum Yang Mengetahui Tuhan (“Arifin”) yang sejati.Tetapi yanng ia maksudkan dengan para sufi tersebut adalah sufisme yang tidak membawa mereka ke dalam ucapan-ucapan mzbuk seperti itu Abû Mansur al-Hallâj, yang dihukum mati di Bagdad (922 M.) karena berseru “Ana al-Haqq” (“Akulah Kebenaran, atau Akulah Tuhan”).

Dalam Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, al-Ghazâlî mengatakan: “Masalahnya beberapa sufi tertenru melangkah lebih jauh sehingga di antara merek membanggakan persatuan dengan Tuhan, dan berkomunikasi di hadirat-Nya yang tidak terhijab dan mereka (mengaku) melihat-Nya, dan menikmati kedekatan bercakap-cakap dengan-Nya. Mereka juga mengatakan, “Demikianlah Tuhan berbicara kepada kami dan demikianlah kami berbicara (dengan Tuhan.”

Selanjutnya al-Ghazâlî mengatajan, Bayazid Bistami (w. 875 M.) dilaporkan telah berseru, “Terpujilah aku!” Gaya wacana ini memberikan pengaruh yang sangat merusak pada orang awam. Beberapa sufi memang, membiarkan hidup mereka menjadi sia-sia, membuat pretensi serupa untuk diri mereka sendiri; sifat manusia senang dengan prinsip-prinsip seperti ini, yang memungkinkan seseorang untuk melakukannya dengan mengabaikan pekerjaan yang berguna dengan gagasan untuk memperoleh kemurnian spiritual melalui pencapaian derajat dan kualitas misterius tertentu. Gagasan ini menimbulkam luka besar, sehingga kematian salah satu dari pengoceh yang bodoh ini akan membawa manfaat yang lebih besar untuk tujuan agama yang benar daripada menyelamatkan hidup sepuluh orang dari mereka.”

Al-Ghazâlî sendiri adalah seorang mistikus yang praktis. Tujuannya adalah membuat manusia lebih baik dengan mengarahkan mereka pada keselarasan ajaran (kredo) Islam dengan dengan pengetahuan sejati tentang Tuhan.

Empat yang pertama bab dari The Alchemy of Happiness (Kimia Kebahagiaan) adalah komentar tentang Hadis (sabda Muhammad) yang terkenal, “Dia yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya.” (“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”).

Al-Ghazâlî terutama mencemooh mengekor buta (taqlîd) seperti burung beo, sebuah frase ortodoks. Demikian ia mengacu pada penggunaan hampir setiap saat oleh umat Muhammad dari kalimat, “Aku berlindung kepada Tuhan” (Na`ûdhu billah!). Al-Ghazâlî berkata dalam Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn: “Setan menertawakan orang saleh seperti itu. Mereka yang mengucapkannya seperti pria yang … bertemu seekor singa di padang gurun, sementara ada benteng pada jarak yang tidak jauh, dan, ketika dia melihat binatang buas itu, dia tetap berdiri sambil berseru, ‘Aku berlindung pada benteng itu, ‘tanpa bergerak satu langkah pun ke arah benteng itu. Apa ucapan seperti itu menguntungkan dia?

Dengan cara yang sama hanya seruan, ‘Aku berlindung kepada Tuhan,’ tidak akan melindungi Anda dari azab penghakiman-Nya kecuali Anda benar-benar berlindung kepada-Nya.” Hal itu berkaitan dengan beberapa sufi tak dikenal yang ketika ditanya tentang definisi keikhlasan beragama, dia menggambar sepotong besi yang membara dari tukang pandai besi, dan berkata, “Lihatlah!”

Keikhlasan yang “membara” ini memang karakteristik al-Ghazâlî, dan tidak heran dia melakukannya sehingga ia tidak mengagumi orang sezamannya, Omar Khayyam. Gambaran singa dan benteng di atas adalah gambaran, contoh sifat mencolok lainnya dalam pikiran al-Ghazâlî – seperti digambarkan dalam alegori atau perumpamaan di atas. Emerson berkata, “Siapa pun yang berpikir dengan cermat akan menemukan perumpamaan yang jelas dalam pemikirannya.” Dalam karya al-Ghazâlî banyak perumpamaan seperti itu muncul, beberapa perumpamaan yang aneh dan beberapa lagi indah.

Perumpamaannya jiwa sebagai benteng yang terkepung oleh “bala tentara Setan” sangat mencolok sebagai antisipasi Perang Suci melawan hawa nafsu. Yang terbesar dari semua sufi penyair, Jalâl al-Din Rûmî, lahir satu abad setelah kematian Ghazzali (1207 M.), telah memberinya pujian karena memasukkan beberapa di antaranya alegori yang ada dalam Ihyâ’ dalam karya agungnya Mathnâwî Rûmî.

Al-Ghazâlî membuat perumpamaan dalam sebuah anekdot tentang seniman Cina dan Yunani yang terkenal, sebagai berikut: “Suatu ketika orang Cina menantang orang Yunani untuk bertanding karena keahliannya melukis. Sultan memanggil mereka berdua ke dalam bangunan yang dibangun untuk tujuan itu dan kedua seniman itu langsung saling berhadapan, dan Sultan memerintahkan mereka untuk menunjukkan bukti keahlian seni mereka. Kedua seniman itu segera unjuk kebolehan mereka dengan ketekunan pada pekerjaan mereka dalam melukis.

Orang Cina melukis dengan sejumlah besar warna, tetapi orang Yunani hanya satu warna. Keduanya bekerja dalam keheningan yang mendalam, sampai dengan sebuah dentang lonceng dan bunyi terompet menandai akhir dari pekerjaan mereka. Segera Sultan, bersama para bangsawannya, bergegas melihat pekerjaan mereka, dan di sana ia berdiri kagum pada kemegahan lukisan orang Cina yang indah dan keindahan warna yang sangat indah. Tapi sementara itu orang Yunani, tidak berusaha menghiasi dinding dengan cat, melainkan bekerja keras menghapus setiap warna pada dinding bangunan tempatnya melukis. Namun setelah penghalang yang menyembunyikan pekerjaan mereka disingkirkan, nampak luar biasa untuk diceritakan, bahwa berbagai macam warna lukisan Cina itu terlihat masih lebih halus dan indah terpantul dari dinding lukisan orang Yunani, karena diterangi oleh sinar matahari tengah hari.”

Perumpamaan ini, tentu saja menggambarkan ajaran sufi yang digemari hati haruskah dia tetap murni dan tenang seperti cermin tak ternoda. Demikian pula dengan orang buta yang menebak bentuk gaja (vide bab II.) telah dipinjam oleh Rûmî dari al-Ghazâlî.

Karakteristik lain dari al-Ghazâlî yang menarik bagi pemikiran modern adalah cara dia menguraikan argumen keagamaan dari kemungkinan seperti yang dilakukan Uskup Butler dan Browning (lihat akhir Bab IV. dalam buku The Alchemy of Happiness). Al-Ghazâlî mungkin berkata, seperti diungkapkan Blougram, “Bagiku, iman berarti ketidakpercayaan yang terus-menerus yang tetap diam seperti ular di bawah kaki Michael, yang berdiri tenang hanya karena merasa (ular itu) menggeliat. Kombinasi dari jaminan ekstatis dan skeptisisme adalah salah satu antinomi pikiran manusia yang mengganggu kaum rasionalis dan bersuka cita mistik.”

Mereka yang hidup bersamaan dengan masa al-Ghazâlî di abad ke-11 dan Kardinal Newman di abad ke-19, adalah selamanya mengundang untuk dipahami dan karena itu selalu menarik: Dia beriman, namun, bagaimana dia bisa (beriman sambil skeptis)?

Hal lain di mana al-Ghazâlî mengantisipasi Uskup Butler hahwa hukuman Tuhan sebagai representasi dan konsekuensi dari hasil alami (dari perbuatan manusia sendiri), dan bukan penderitaan sewenang-wenang yang dikenakan dengan pedih (kepada manusia). Dia mencoba untuk merasionalisasi ancaman (siksaan) mengerikan seperti dijelaskan Alquran.

Di zamannya sendiri, al-Ghazâlî dituduh memiliki doktrin yang dikhususkan untuk banyak orang (kaum awam) dan doktrin untuk dirinya sendiri dan teman-teman dekatnya (untuk orang-orang khusus). Profesor D. B. Macdonald, dari Hartford, setelah membahas masalah ini secara menyeluruh, berkata, “Jika tuduhan bahwa al-Ghazâlî memiliki doktrin rahasia (yang diperuntukkan bagi orang-orang khusus), maka itu harus dibuktikan. Itu pasti pada bukti lain dan itu lebih baik daripada yang sekarang ada di hadapan kita.”

Bagaimanapun, al-Ghazãlî telah diterima sebagai otoritas ortodoks oleh umat Muhammad (kaum Muslim). Hal itu dibuktikan di antaranya dengan gelar yang disandangnya sebagai Hujjah al-Islâm (“The Proof of Islam, Argumentasi Islam”). Dan telah dikatakan,” Jika semua kitab Islam dihancurkan, maka akan terjadi kerugian, tapi sedikit kerugian jika hanya Ihyâ al-Ghazâlî yang dipertahankan.”

Pembaharu Islam modern yang hebat di India, almarhum Sir Seyyed Ahmed, telah memiliki beberapa bagian dari karya besar al-Ghazâlî, Ihyâ’ yang dicetak secara terpisah untuk tujuan membiasakan kaum muda Muslim di Aligarh dengan al-Ghazâlî. Ihyâ ditulis dalam bahasa Arab, dan al-Ghazâlí sendiri menulis ringkasannya dalam bahasa Persia untuk penggunaan populer yang dia beri judul Kimiya-e-Saadat (“Alkimia Kebahagiaan”).

Buku kecil ini berisi delapan bagian dari ringkasan Ihyâ’. Para teolog adalah hakim terbaik (untuk menilai al-Ghazâlî), dan kesimpulannya mungkin mengutip pendapat Dr. August Tholuck tentang al-Ghazâlî, “Orang ini (al-Ghazãlî), jika ada yang pantas mendapatkan nama yang benar-benar ‘ilahi’, (maka al-Ghazâlî-lah orangnya). Dan dia mungkin ditempatkan secara adil setingkat dengan Origen, begitu luar biasa dia untuk kealiman dan kecerdasannya, dan (ia) diberkahi dengan kemampuan yang langka untuk keahlian eksposisinya dan sesuai doktrin (ortodoksi Islam). Semua yang baik, mulia, dan agung yang dimiliki jiwanya yang agung bimbingan yang dia persembahkan pada Muhammadanisme (Islam). Dia dihiasi doktrin (ajaran) Alquran dengan begitu banyak kesalehan dan pembelajaran, dalam bentuk yang diberikan oleh dia. Ajarannya, tampaknya, menurut pendapat saya, layak untuk disetujui Umat ​​Kristen. Apapun yang paling bagus dalam filsafat Aristoteles atau dalam mistisisme sufi al-Ghazâlî diam-diam beradaptasi dengan teologi Islam; dari setiap doktrinnya, dia mencari cara untuk memberikan penerangan dan kehormatan atas nama agama; sementara kesalehannya yang tulus dan ketelitiannya yang tinggi menanamkan ke semua karyanya keagungan suci. Dia seorang yang paling utama dari umat Nabi Muhammad.

Penutup

Bagian penutup ini saya terjemahkan dari deskripsi The Alchemy of Happiness terjemahan Claud Field, penerbit Cosimo Classic (2010) yang bukunya saya unduh bukunya dari libgen rush.ac.id. Dalam deskripsi buku itu dikatakan bahwa Abû Hâmid Muhammad al-Ghazãlî (1058-1111) adalah seorang filsuf, teolog, psikolog, dan mistikus Islam Persia, yang sekarang dikenal sebagai salah satu ulama Sunni paling terkenal dalam sejarah, kadang-kadang disebut sebagai tokoh penting berikutnya setelah Nabi Muhammad.

Lahir di Tus, al-Ghazâlî adalah pelopor keraguan metodis; karyanya The Incoherence of Philosophers (Tahafut al-Falasifah) menggeser filsafat Islam awal dari metafisika ke teori occasionalisme, sebuah doktrin Islam yang menyatakan sebab-akibat dikendalikan oleh Tuhan. Ia juga berhasil membawa Islam ortodoks bersentuhan dengan tasawuf. Ia adalah penulis lebih dari 70 buku tentang berbagai disiplin ilmu, yang pengaruhnya terus meluas bahkan hingga hari ini.

salah satu karya besar literatur religius mistis, Kimiya-i-Sa’adaat berusaha mendekatkan manusia untuk memahami Tuhan dengan membantunya memahami dirinya sendiri. Karya ini ditulis oleh seorang pemikir yang sangat orisinal tentang Islam yang hidup dan menulis di abad ke-11, pertama kali diterbitkan pada tahun 1910.

Kitab Kimiya-e-Sa’adaat berfungsi sebagai pengingat yang kuat tentang betapa kuatnya pengaruh al-Ghazali terhadap para filsuf agama di Abad Pertengahan, baik Kristen maupun Islam. Dengan pandangannya yang bijak dan humanistik yang hangat, buku kecil ini mungkin akan menumbuhkan pemahaman baru dalam pertempuran filosofis saat ini antara tradisi agama Timur dan Barat. (20 Ramadan 1442 H./3 Mei 2021).

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *