Jaringansantri.com- Selama satu dasawarsa ini, kita melihat gerakan Islam yang ekstrem di negeri ini. Dengan mata telanjang, kita dapat melihat fenomena Islam ekstrem ini di media sosial, youtube, whatsapp, radio, TV, media cetak dan sebagainya. Pandangan keagamaan mereka eklusif dan monologis. Tak heran, jika kelompok ekstrem ini sulit hidup berdampingan dengan yang lain, baik yang seagama apalagi yang beda agama.

Pun mereka hanya berpegang pada satu pendapat
hukum Islam. Padahal dalam fikih, minimal terdapat dua pendapat (fihi qaulani), kecuali dalam masalah yang telah disepakati bersama (mujma’ alaihi). Pendapat yang monologis ala mereka ini pula yang diduga memicu resain.

Sejumlah karyawan Bank Konvensional di tanah air akhir-akhir ini. Dalam hal bunga bank ini, mereka berpandangan bahwa bunga bank haram. Titik. Padahal, ada banyak ragam pendapat berkaitan dengan bunga bank ini, baik yang haram yang ditafshil, mubah, ataupun syubhat.

Lebih dari itu, pandangan ekstrem ini juga menekankan keyakinan tentang negara Indonesia yang thaghut jika tidak mengikuti syariat. Syariat, yang saya maksud disini, adalah syariat dalam pengertian mereka. Sebaliknya, dalam bayangan mereka, khilafah adalah figur ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat muslim.

Model NKRI, oleh karena itu, bagi mereka “kurang bersyariah” atau bahkan negeri kafir yang harus diubah. Pancasila dan UUD 1945 adalah produk manusia yang tidak boleh diimani, meskipun keduanya jika diteliti dengan perspektif ilmu Ushul Fikih, dipandang sesuai dengan maqashidus syari’ah (tujuan syariat).

Oleh karena NKRI, Pancasila dan UUD 1945 adalah buatan manusia yang sekuler, maka dalam pandangan mereka, hal serupa juga terjadi pada sistem hukum nasional kita. Sistem hukum nasional kita, bagi mereka, adalah hukum sekuler dan jauh dari agama. Padahal, seperti kajian banyak peneliti, ada banyak undang-undang yang bersifat lex spesialis yang menguatkan syariah.

Buku Prof. Haris ini menjadi antitesa dan menggeser Fikih Ekstrem-Radikal… ..Menegaskan bahwa berislam di Indonesia bisa dengan tiga identitas sekaligus: “Islam, Indonesia dan Jawa (atau suku yang lain)”

Dalam konteks inilah, maka buku Prof. Haris yang berjudul “ Fikih Nusantara, Pancasila dan Sistem Hukum Nasional di Indonesia” menjadi antitesa dan menggeser Fikih Ekstrem-Radikal sebagaimana saya sebut diatas.

Buku ini menolak semua pandangan Fikih Ekstrem-Radikal tersebut sembari menegaskan bahwa berislam di Indonesia bisa dengan tiga identitas sekaligus: “Islam, Indonesia dan Jawa (atau suku yang lain)”. Dengan kata lain, Fikih Nusantara menguatkan posisi seorang muslim dengan berbagai identitasnya. Ia dapat menjalankan syariat tanpa harus membuang identitas lainnya.

Saya melihat bahwa Fikih Nusantara terus akan berjalan on the right track. Sebagai fikih yang bergulat dengan keindonesiaan, Fikih Nusantara ini akan mengisi kekosongan dan memberikan banyak kontribusi pada sistem hukum nasional.

Karena itu, kajian mengenai Fikih Nusantara menjadi sangat penting terutama dalam kaitannya memberikan konstribusi pada penguatan NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Pun Fikih Nusantara juga akan mengisi ruang religius sistem hukum nasional kita di Indonesia di masa kini dan masa depan.

Fikih Nusantara juga akan mengisi ruang religius sistem hukum nasional kita di Indonesia di masa kini dan masa depan.

Akhirnya, selamat pada Prof. Haris, yang juga adik kelas saya di Pondok Pesantren Salafiyah Kajen Margoyoso Pati Jawa Tengah. Terus berkarya untuk memberikan kemanfaatan yang luas pada umat.

Selamat membaca !

Pengantar Buku “Fiqh Nusantara” oleh Drs. HM. Syaiful Bahri Ansori, M.P (Anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI)

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *