Tangsel, jaringansantri.com – Filolog santri Ah. Ginanjar Sya’ban mengatakan “Menurut saya, ada satu ulama sunda berpengaruh yang menjadi maha guru di Mekah. Satu angkatan dengan Syaikh Mahfudz yang pengaruhnya juga sangat terhadap ulama-ulama yang ada di Jawa. Di Sunda itu ada partnernya Syaikh Mahfudz, namanya Syaikh Mukhtar ‘Atharid Bogor. Sama-sama muhaddis, beliau juga mengarang kitab dalam bahasa sunda judulnya Aqoid Ahlissunnah wal jamaah.”

Yang menarik, kitab ini ditulis di Mekah lalu dicetak di Mekah dan Kairo. “Dugaan saya, Syaikh Mukhtar inilah yang kemudian memotivikasi murid-murid beliau untuk menuliskan karya intelektual dalam bahasa sunda aksara pegon.”

Seperti, pertama, KH Ahmad Sanusi, kedua, Ajengan Dimyati dari Bandung, itu mengarang tafsir dan banyak kitab dalam bahasa Sunda aksara Pegon. Ketiga, Tubagus Bakri dari Sempur Purwakarta, Mama Syatibi Gentur yang terhitung generasi yuniornya Syaikh Mukhtar Bogor. Ulama-ulama ini banyak melahirkan karya berbahasa Sunda aksara Arab.

Jadi sejak kapan ulama sunda itu menulis karya intelektual secara masif dan terstruktur. Masif karena banyak ulama yang menulis, terstruktur karena semua bidang mulai ditulis dalam bahasa sunda aksara arab.Itu sejak masa Syaikh Mukhtar Bogor.


Dalam sejarah literatur sebelumya, ulama-ulama Sunda menuliskan karyanya dalam bahasa jawa. “Jangan heran, sebelum awal abad 20 atau abad 19 akhir, karya-karya keislaman sunda, kebanyakan ditulis dalam bahasa jawa,” terangnya.

Hal ini, lanjut Ginanjar, terekam dalam disertasi Prof. Dr. Mikihiro Moriyama berjudul A New Spirit: Sundanese Publishing and the Changing Configuration of Writing in Nineteenth- Century West Java.

Mikihiro Moriyama adalah seorang sarjana bahasa dan sastra Sunda, yang mendapat gelar profésor dalam bidang bahasa Indonesia di Universitas Nanzan, Jepang. Kemudian menyelesaikan S3-nya di Universitas Leiden. Menulis tentang sejarah literatur cetak di tatar sunda.

Jadi, menurut Mikihiro, sebelum pertengahan abad 19, memang ada beberapa ulama Sunda yang sudah menulis karyanya dalam bahasa Sunda aksara Arab, tapi sedikit. Kebanyakan mereka menggunakan bahasa jawa. Baik dalam aksara Arab (pegon) atau aksara jawa.

Contohnya adalah Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan yang notabene orang Priangan Tasik tetapi karyanya ditulis dalam bahasa jawa. Seperti Kitab bayani Qohar, kitab Martabat ingkang pitu. Demikian juga silsilah Thariqah syatiriyah di sunda yang berkembang pada abad ke 18 dan awal abad 19 itu menggunakan bahasa jawa.

Kenapa bisa demikian, karena sunda Priangan selama kurang lebih 2 abad itu menjadi wilayah bagian dari pada kesultanan Mataram Islam. Kata Mikihiro, para bangsawan Sunda, ketika melakukan surat menyurat, mereka lebih memilih menggunakan bahasa jawa aksara jawa. Untuk menunjukkan kelas intelektual pendidikan mereka.

Orang sunda untuk menunjukkan kelas keterdidikan mereka, ketika mereka mampu berbicara Sunda halus, bahasa jawa halus dan menulis dalam bahasa jawa. (Imam Mashudi).

*Ah. Ginanjar Sya’ban dalam Kajian Turats Ulama Nusantara. INC, Sabtu 15 Juli 2019.
VIDEO Syaikh Mukhtar Bogor Pionir Penulisan Kitab Bahasa Sunda | Ah. Ginanjar Sya’ban #2

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *