Ketika sejumlah ormas dan banyak pihak mempersoalkan RUU Haluan Ideologi Pancasila, saya dapat memahami karena beberapa pasal memang ada yang bermasalah. Kecurigaan beberapa kalangan terhadap RUU yang diusulkan DPR RI ini, saya lihat juga dapat dimaklumi; kebangkitan komunisme, pengabaian pada sila ketuhanan Pancasila, Soekarnoisme, tafsir tunggal Pancasila dan sebagainya. Padahal, jika kita cermati RUU HIP, ada juga pasal-pasal yang sesuai dengan semangat Islam memerangi konglomerasi. “Agar harta itu tidak hanya berputar di antara orang kaya kalian”. (QS. al-Hasyr: 7).  

Saya memahami alasan yang menolak, namun saya tidak setuju dengan pendapat untuk mencabut RUU HIP ini. Sebaliknya, saya setuju  RUU diteruskan, namun  tentu dengan beberapa catatan serius, sebagai berikut: 

Pertama, pasal-pasal yang mengundang kontroversi dalam RUU HIP itu dihapus. Misalnya, pasal-pasal kontroversi yang membuka kembali wacana terma Pancasila, Trisila dan Eka sila sebagaimana dalam pasal 7 ayat 3 RUU HIP harus dibuang. Artinya, pilihan konsesus para pendiri bangsa terhadap Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 harus dipandang final, sementara terma Trisila dan Ekasila tidak lagi relevan dibahas dalam UU. 

Demikian juga pasal yang menempatkan agama setara dengan kebuayaan, misalnya Pasal 22 “a. agama, rohani, dan kebudayaan;  “. Dalam pandangan Islam, agama dan kebudayaan harus dibedakan. Karena agama bukan budaya, dan budaya juga bukan agama. Agama juga bukan subordinasi budaya.  Meskipun sebagai agama yang rahmatan lil alamin, Islam menerima kearifan lokal budaya, namun agama harus ditempatkan di tempat yang pertama dan utama.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi spirit pada semua pasal RUU ini. Spirit Ketuhanan ini yang menjadi jembatan menuju tujuan akhir baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yang identik dengan sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal  6 ayat (1) yang berbunyi. “Sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial”, oleh karena itu, harus dihapus karena merupakan pengabaian terhadap nilai-nilai ketuhanan. Dalam pandangan Islam, politik dibangun atas dua kepentingan utama; lihirasatid din wa siyasatid dunya. Hirasatud din diejawentahkan dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasal kontroversi lainnya adalah tafsir RUU ini atas Pancasila dalam upayanya ‘mengendalikan’ masyarakat sipil. Pasal-pasal yang menjurus pada tafsir tunggal Pancasila dan pengendalian masyarakat –misalnya Pasal 13, 14, 15, 16, dan 17–yang disinyalir akan terjadi seperti saat Orde Baru berkuasa, harus dibuang juga. Dengan kata lain, pasal yang mengkerdilkan Pancasila, harus dihapus. (Pasal 34, 35, 37, 38, 41 dan 43). Tidak mengapa RUU ini akhirnya hanya terdiri dari pasal yang sedikit. 

Kedua, memasukkan TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan UU. No 27 tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan KejahatanTerhadap Keamanan Negara. Demikian juga Tap MPRS Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 tentang Pembubaran PKI, harus masuk menjadi konsideran dalam RUU HIP ini. Dengan memasukkan ketiganya dalam konsideran ini, dugaan RUU ini sarat untuk kepentingan komunisme-marxisme akan hilang dengan sendirinya.

Ketiga, RUU ini harus memiliki fokus pada upaya pembinaan Ideologi Pancasila yang berujung pada pengamalan Pancasila dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembinaan terhadap ideologi Pancasila sangat urgen, terutama karena sudah lama Pancasila hilang dari memori generasi Milenial. Anak-anak muda yang baru tumbuh dan hidup di masa sekarang tidak kenal dengan Pancasila karena Mata Pelajaran Pancasila dihapus dalam kurikulum Nasional sejak disahkan UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Oleh karenanya, Mata Pelajaran Pancasila sebagai bentuk pembinaan, harus kembali dihadirkan dalam kehidupan kita. Di sini, RUU HIP dalam pandangan saya, harus lebih fokus pada Pembinaan Ideologi Pancasila, sehingga pasal-pasalnya harus berorientasi pada pembinaan semata, tidak seperti sekarang yang ‘menjalar’ kemana-mana.

Keempat, selain fokus pada pembinaan, RUU ini juga memberikan penguatan kelembagaan pada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Selama ini, BPIP hanya diberikan kewenangan oleh Perpres No.7 tahun 2018 saja. Padahal, hampir semua lembaga negara Non Struktural seperti Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Pengawas Persaingan Usaha,Komisi Aparatus Sipil Negara, Ombusman Republik Indonesia, Badan Pengawas Pemilihan Umum, Dewan Pers, Dewan Sumber Daya Air Nasional, Badan Amil Zakat Nasional dan sebagainya  memiliki Undang-Undang yang memberikan kewenangan dan tugasnya.

Dengan hanya Perpres, maka BPIP menjadi rawan ‘di-bredel’ dimasa presiden berganti. Padahal, kepentingan pembinaan Pancasila terus dan perlu dilakukan sepanjang masa. Adalah tepat memberi payung hukum Undang-undang untuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang tidak bisa diubah oleh siapapun yang menjadi Presiden nanti.

Kelima, mengganti nama RUU ini dari RUU Haluan Ideologi Pancasila menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila. Karena itu, RUU ini tidak sedikitpun memberi tafsir pada Pancasila, namun lebih pada bagaimana menguatkan Pancasila dengan upaya pembinaan yang masif dan terencana oleh negara. Dalam konteks inilah, maka komunisme, khilafah, dan ideologi yang anti-Pancasila yang lain sejak awal dapat diminimalisir dan tidak hidup di negeri tercinta, Indonesia ini. Tentu, ini bisa dilakukan hanya dengan upaya pembinaan dari pemerintah.

Keenam, RUU ini tidak diundangkan pada saat Pandemi Covid-19.  Menurut hemat saya, saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengundangkan RUU Pembinaan Ideologi Pancasila tersebut, karena negara semestinya fokus hanya pada penanganan Covid-19 di segala bidang. Negara juga sedang fokus pemilihan segala sektor, ketika kondisi New Normal seperti sekarang ini. Keputusan Presiden Jokowi untuk tidak membahas RUU pada saat ini adalah keputusan yang tepat.  

Dengan beberapa catatan ini, saya yakin, RUU Pembinaan Ideologi Pancasila, bukan Haluan Ideologi Pancasila, akan lebih diterima oleh masyarakat kita yang beraneka ragam, tapi satu dalam bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia.   

Wallahu’alam.**     

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *