Catatan Singkat Ngaji Kitab “Qimah al-Zaman inda Ulama” Karya Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah (1917-1997). Pertemuan ke XIII.

Sepuluh tahun yang lalu, awal kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, salah satu mata kuliah yang menantang adalah Tarikh Ulum. Mata kuliah yang menyajikan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Diampu langsung oleh dosen paling senior dan sepuh lulusan al-Azhar Mesir, Dr. Fauzan el-Muhamadiy (Allahu yarham). Dari pemaparan beliau, seakan saya diajak untuk merasakan gegap gempita denyut keilmuan abad II-III H di dunia Islam. Keterbukaan dan rasa percaya diri umat Islam sangat mengesankan. Keilmuan bangsa Yunani dan Persia diasup sedemikian hingga. Diterjemah, dikritisi, dan dikonstruksi menjadi bangunan keilmuan yang menjulang.

Beberapa hari yang lalu, saat ngaji dan berdikusi dengan belasan mahasiswa Fakultas Kedokteran UIN Jakarta, saya tertegun lama ketika mendapati kisah para ulama abad II-III H. Mata kuliah Tarikh Ulum yang dulu membuat saya antusias berangkat jalan kaki menuju kampus itu menyembul kembali. Bahkan lebih hidup lagi, lebih bernas membincangnya dengan tilikan perspektif sosiologi pengetahuan.

Adalah Imam al-Jahidh (163-255 H), ulama pakar kajian bahasa, biologi, zoologi, dan teologi. Kebiasaanya adalah pantang menutup buku sebelum mengkhatamkannya. Bahkan rela membayar uang sewa toko buku. Harapannya, supaya diperkenankan bergadang dan menginap sementara waktu. Membaca dan menelaah koleksi buku di dalamnya.

Adalah Imam al-Fath bin Khaqan (247 H), ulama putra bangsawan dinasti Abbasiyah. Tokoh kepercayaan Khalifah al-Mutawakil. Setiap hari, saat berkantor ke istana, beliau selalu menyelipkan buku di bajunya. Ketika jeda pertemuan dengan sang khalifah, bersegera buku dikeluarkan dan dibaca. Bahkan saat jeda untuk ke toilet, sambil jalan, buku itu terus dibaca.

Adalah Imam Ismail bin Ishaq (200-282 H), ulama pakar fiqih madzhab Maliki. Pemegang tampuk qadhi kota Baghdad. Dalam kesehariannya, tidak pernah lepas dari buku. Dimana pun dan kapanpun. Imam al-Mubarrid (al-Mubarrad), tokoh yang sering muncul di pelajaran nahwu-sharaf, bersaksi bahwa tidak pernah melihat Imam Ismail bin Ishaq, kecuali dalam keadaan membaca buku, membolak-balikan halaman buku, atau sedang mencari-cari judul buku di depan tumpukan buku.

Adalah Imam Ibnu Suhnun (202-256 H), ulama pakar hadis madzhab Maliki. Malam-malamnya dihabiskan untuk bergadang. Meriwayatkan hadis dan menuliskannya. Hingga tidak sempat dan lupa menikmati hidangan makan malam yang disajikan oleh istri tercinta.

Adalah Imam Tsa’lab (200-291 H), ulama pakar ilmu qiraat dan nahwu sharaf. Dulu pertama kali saya dengar nama ulama ini saat belajar i’lal di Madrasah al-Asna Ringinagung Kediri. Dalam kesehariannya, Imam Tsa’lab tidak pernah libur dari belajar dan mengajar. Bahkan, ketika ada undangan, ulama kota Baghdad ini mengajukan satu syarat. Berkenan hadir jika diizinkan datang dengan buku seraya menelaahnya.

Sudah barang tentu, nama-nama ini baru sekian persen mewakili ulama abad II-III H. Namun demikian, dengan menngunakan “sociological imagination” kita dapat merasakan denyut spirit keilmuan di masa itu. Spirit yang sekarang hidup di dunia akademik Barat dan dalam beberapa abad terakhir, dicoba untuk dihidupkan lagi di dunia Timur.

Mungkinkah?

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *