Saya belum masuk kategori muhibbin, para pecinta Habaib. Level saya masih awam. Tahap dasar. Kategori “pembelajar yang berusaha mencintai”. Saya mengakui kalau beberapa habaib yang kereng-kereng itu Sadat Alawiyyin, tapi kalau misalnya disuruh langsung mencintai belum bisa. Menghormati, iya. Mencintai? Emoh. Saya butuh proses. Santai saja, dimaklumi to. Wong hati saya ini keras, makanya saya memilih proses mencintai habaib bertipikal lembut dan ngemong, seperti Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Habib Quraish Shihab, Habib Umar bin Hafidz, Habib Ali Zainal Abidin al-Jufri, Habib Ali Zainal Abidin al-Hamid, Habib Syekh bin Abdul Qadir Assegaf, Habib Munzir al-Musawa, Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, dan sebagainya. Ini bukan dalam rangka membeda-bedakan. Tapi memang kecenderungan kesukaan saja.

Karena itu, saya memang belum bisa disuruh mencintai sosok seperti, misalnya, Yik Bahar bin Smith atau Yik Ali bin Jindan, yang dari ceramah-ceramahnya saja terasa aneh di kuping saya. Lebih sering provokatif dibanding memberikan pengetahuan dan menawarkan kesejukan. Ya dimaklumi saja,  materi yang diceramahkan berarti menggambarkan isi benaknya, kan? Bukankah keduanya tegas? Kata teman saya. Sebentar, sebentar, kita ini masih blawur dan belum tegas membedakan mana tegas mana keras, mana bersikap oposisi mana ngawur, mana ceramah mana dakwah, mana memberi semangat mana memprovokasi, mana mengkritik mana menghina, mana majnun mana madzjub (hahaha) dan seterusnya.

Jadi, jujur saja gaes, kadar cinta saya masih belepotan begini. Saya memilih mengenalkan anak-anak saya dengan habaib yang saya cintai, sebab ketika misalnya saya mengenalkan yik-yik yang omongannya ngawur di atas panggung kepada anak didik saya, atau kepada anak saya, tentu mereka bakal mikir: “Kepada orang kayak beginikah kita diminta untuk belajar tentang kasih sayang, cinta, dan akhlak rasulullah?”

Saya lebih suka membaca kiprah dakwah para habaib maupun perjuangannya mencapai derajat ulama, dibanding misalnya cerita keramatnya. Maaf lho ya. Bagi saya ketinggian derajat Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad (lahir di Tarim, Hadramaut, Yaman, 30 Juli 1634 – wafat 10 September 1720 pada umur 86 tahun), sebagai seorang difabel tunanetra yang mencapai puncak reputasi keilmuan dan derajat ruhani sebagai seorang wali quthub di zamannya, berikut berbagai karya tulisnya, lebih asyik dipakai sebagai bahan baku keteladanan bagi anak didik dan buah hati saya dibanding dengan cerita kesaktian maupun kisah kuwalat bagi yang “menyakiti Habaib”.

Lagi pula, saya cermati, beberapa orang yang membela habib A, B, C, dengan kelakuannya yang “begini-begitu” dengan alasan membela dzuriyah Rasulullah, adalah mereka yang diam, sekali lagi diam, tatkala Habib Muhammad Quraish Shihab disesat-sesatkan oleh badut bernama Jonru maupun disesat-sesatkan oleh kelompok Wahabi. Juga manakala Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa dicaci maki, atau Habib Lutfi bin Yahya dihina dengan istilah binatang gara-gara pilihan politiknya.
Jadi, subyektifitas dan kecenderungan pilih-pilih selalu ada. Ya, nggak?

 ***

Sumpah, stok cerita keteladanan para habaib itu berlimpah. Sayang, yang populer malah yang tingkah lakunya aneh-aneh dan “menjengkelkan”. Jangan heran kalau ada yang bahkan alergi dengan istilah ini. Reputasi keilmuan dan akhlak para habaib tergambar dari cerita masa muda Habib Luthfi bin Ali bin Yahya. Beliau berguru bukan saja kepada sesama habaib, melainkan kepada  para kiai-kiai di sekujur pulau Jawa. Yang luar biasa, foto-foto Habib Lutfi di masa muda memperlihatkan gestur seorang murid yang tunduk di hadapan mursyid. Silahkan cermati posisinya ketika berpose bersama Kiai Malik bin Ilyas Purwokerto, Kiai Utsman al-Ishaqy Sawahpulo Surabaya, Habib Soleh bin Muhsin al-Hamid Jember, Habib Ali bin Ahmad Alatas, Sayid Muhammad bin Alawy al-Maliki dan sebagainya. Belum lagi perjalanan beliau dalam menjelajahi para guru tarekat sehingga Habib Luthfi menjadi mursyid lebih dari 10 tarekat. 

Saya suka yang beginian. Enak dibaca dan menginspirasi. Ada lagi? Banyak. Coba kita pelajari akhlak dan perjuangan Habib Idrus bin Salim al-Jufri (lahir Hadramaut, 1892, wafat di Palu, 1969), pendiri al-Khairaat di Palu, atau Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (1906-1969), Jakarta, yang dijuluki kitab berjalan. Kakek Habib Jindan bin Novel ini selain masyhur dengan reputasi keilmuan dan keluhuran akhlaknya, juga dihormati banyak kalangan. Bahkan orang non-muslim pun hormat kepadanya. Juga riwayat keilmuan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (1870-1968), Kwitang, habib yang sangat dihormati Bung Karno; dan gurunya, Habib Utsman bin Yahya (1822-1913), Mufti Batavia, yang menjadi jembatan pengetahuan masyarakat Betawi di zamannya melalui berbagai karya-karyanya.

Jadi, kalau saya diminta mencintai semua Sadat Alawiyyin tanpa terkecuali, tidak pandang bulu, dari yang berkarakter lembut hingga yang keras dan berpolah tingkah aneh-aneh, jujur saya belum bisa. Hati saya masih keras. Tahapannya masih berusaha. Itupun terengah-engah. Kalaupun diberi ancaman seperti “Nanti nggak bakal dapat syafaat Rasulullah” atau “Bisa kuwalat lho!”, atau “Rasulullah bakal marah melihat anak cucunya dihina.” dan ancaman-ancaman lain, level saya masih tertawa, belum bisa bergidik ngeri atau menangis. Sebab, sekali lagi, saya masih berusaha mencintai para dzurriyah Kanjeng Nabi dengan kerinduan dan kekaguman para pecinta, bukan ketakutan seorang budak yang diancam dengan doktrin. 
Akhirnya, kita tidak boleh menghina dan merendahkan habaib karena di dalam darahnya mengalir darah Rasulullah, demikian pula habaib juga tidak boleh gampang merendahkan martabat sesama manusia karena di dalam dirinya sendiri mengalir darah Rasulullah. Imbang, kan!?

Demikian kata pengasuh Majelis Kalbun Salim, sohibul fadhilah wal markonah wal hasyafah  Yaser Muhammad Arafat
Santai, tahap belajar mencintai, dan jangan memaksa orang mencintai (si)apa yang kita cintai…

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *