Covid-19 menyibak beberapa hal. Pertama, umat Islam jadi tahu bahwa hukum agama bisa berubah drastis. Ini terkait dengan fatwa libur Jumatan dan himbauan untuk tidak berjamaah di masjid untuk menghindari persebaran virus. Padahal dulu dua hal ini yang senantiasa didakwahkan berulang-ulang.
Baca Juga : Laknat Untuk Pemberi Fatwa Sembarangan
Kedua, polarisasi politik umat Islam di Indonesia juga masih sangat cair, tidak fanatik dan pada titik tertentu pertimbangannya sangat rasional. Beberapa tokoh agama yang “menolak” fatwa di atas adalah mereka yang pada musim pilpres sangat aktif mendukung capres yang menang. Sebaliknya, kubu “oposisi” dari kalangan Islam justru mendorong fatwa yang pro pemerintah itu. Kira-kira ini adalah soal input informasi dan pemahaman/ketakutan yang berbeda mengenai virus.
Ketiga, ketika tiba-tiba kebijakan pemerintah berubah dengan memunculkan istilah “new normal” lalu para ahli fatwa mengimbau umat untuk kembali ke masjid, umat juga jadi tahu bahwa fatwa ini sangat tergantung keputusan politik. Ketika kemarin pergi ke masjid disebut “mudharat” dan harus dihindari lalu sekarang dikatakan sebaliknya dengan kondisi yang sebenarnya masih mirip, umat jadi tahu pertimbangan itu bukanlah murni medis atau murni soal menjaga nyawa (hifzun nafs) tapi juga pertimbangan politik.
Baca Juga : Hubungan Agama dan politik
Pada titik ini, perbincangan lama soal agama vs negara dan hukum (Islam) vs politik sebenarnya sudah tidak relevan, karena covid-19 menunjukkan bahwa keduanya sangat erat berangkulan. Saya kira ini bukan hanya karena wakil presidennya adalah ketua umum MUI dan Rais Aam NU 🙂
No responses yet