Pada kunjungan Pak Malik Fadjar yang kedua, datang sendirian ditemani sopirnya. Beliau serahkan uang lima juta rupiah, sedekah pada hari ulang tahunnya, untuk bekal pendirian gedung Komunitas Padhang Maksyar, yang pernah saya utarakan. Uang itu saya simpan rapat sebagai ‘pikat’ dari 1,8 milyar yang saya butuhkan. 

Beliau berjanji akan meletakkan batu pertama— sungguh kabar gembira tak terperi. 

*^^^^*

Setahun menjelang kewafatan, Pak Malik Fadjar empat kali berkunjung ke rumah —- tak biasanya beliau yang super sibuk itu meluangkan waktu bersama seluruh keluarga dan kerabat dekat. Dilanjut dengan kunjungan beliau pribadi sebanyak tiga kali adalah hal yang teramat istimewa bagi saya sebagai santri pada galibnya. 

Tradisi nyantri bagi saya masih lekat, meski saya lahir dan besar dari keluarga Muhammadiyah ortodox. Kakek buyutku (Haji Ainul Yaqin) lebih bangga disebut Wahabi ketimbang Muhammadiyah karena hajinya sempat ketemu dengan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di Mekkah. Ayah dan ibuku adalah aktifis Persyarikatan. Begitupun aku dan isteriku. Hampir semua waktu kami gunakan untuk bicara tentang Perkoempoelan yang didirikan Kyai Dahlan ini, dan tak sedikit kami ‘bertengkar’ tentang cara ngurus Muhammadiyah di ranting dan daerah tempat tinggalku termasuk disain gedung komunitas Padhang Makhsyar yang sedang kami rancang. 

Sebagai santri, jangan tanya suka citaku, kehadiran sang mahaguru adalah keberkahan tiada terperi. Pak Malik Fadjar adalah personifikasi ulama Muhammadiyah yang komplet. Sederhana, intelek, berwawasan luas, futuristik dan menginspirasi, khas gaya ulama tajdid. Beliau sangat kharismatis, luas pergaulan dan banyak kawan. 

Pak Malik Fadjar adalah seorang tua yang suka mendengar dan melihat. Tidak menggurui. Kami suka berlama-lama mendengar pidatonya dengan suara bariton yang mantab, lugas dan bernas. Selalu ada hal baru disetiap ceramahnya, ini yang membuat Pak Malik terasa sangat istimewa. Kehadirannya menghentak dan menggugah, itu yang bikin beliau di idola aktifis pergerakan kampus.

*^^^*

Dua tahun silam, banyak yang bertanya kenapa saya mengundang Prof Imam Suprayogo dalam Majelis Selosoan di masjid Gedhe Padhang Makhsyar, tempat di mana saya dan para jamaah ngaji ‘ngangsu kaweruh’ dalam berbagai perspektif dan multidisipliner.

Pak Imam atau Pak Go adalah tokoh yang tulus dan jernih berpikir— ide-ide Pak Malik bisa dtejemahkan dengan tepat. Pendek kata, tak berbilang ide dan gagasan pak Malik tentang pembaharuan pendidikan Islam bisa dielaborasi dengan memikat oleh Pak Imam.

Bersukur pula dua kali saya bertemu Pak Imam janjian berkunjung ke pak Malik yang saat itu sedang gerah habis operasi tulang punggung. Banyak cerita, banyak kisah yang dibicarakan, tak terasa air mata menetes, sedih, haru dan senang urap jadi satu. Menyaksikan dua ulama pendiri Universitas Muhammadiyah Malang itu saling memeluk dan berangkulan. Andai aku bisa memohon kepada Rabbku untuk menghentikan waktu saat itu. Agar keduanya tetap berpelukan melepas penat yang sangat, setelah sekian lama berkhidmad untuk Persyarikatan. 

*^^^*

Dua lainnya yang tak kalah saya ta’dzimi adalah Pak Sukiyanto dan Kyai Abdullah Hasyim BA— dua orang ini begitu bersahaja dan tulus bekerja. Keduanya menjadikan Muhammadiyah sebagai rumah pertama, anak isteri dan keluarga kerap dikalahkan— Pak Kiyanto begitu biasa dipanggil adalah tokoh sentral pembangunan kampus terpadu yang fenomenal, hal yang sangat langka sekarang, dimana banyak yang menjadikan UMM sebagai tempat mencari hidup, menjunjung popularitas dan kemewahan hidup. Meski tak mengapa. Bukankah semua akan mendapatkan apa yang diniatkan. 

Terakhir,  yang paling muda yang sangat energik meski agak nyentrik: Muhajdir Effendy —- diangkat menjadi pembantu rektor tiga pada usia yang masih belia— saya kerap mendatangi asrama IKIP Malang ( sebagai kepala asuh asrama ) untuk mendapat tanda tangan persetujuan proposal yang kami ajukan saat sebagai aktifis mahasiswa. Rambutnya sempat gondrong dan suka bawa motor Yamaha RX special, bisa dibayangkan betapa ‘nakalnya’ orang ini. Tak salah jika kemudian dipercaya menjadi Mendiknas, Menko dan rektor UMM beberapa kali.  

Sungguh sayang jika orang-orang hebat ini, tidak lagi dikenal di kampus yang pernah dengan susah payah dibangun. Ironis jika para civitas akademika nya tak kenal siapa Kyai Bedjo Dermoleksono, Pak Kasiram atau pak Katino dan Kang Daiman atau Pak Sahri sopir legendaris rektorat. 

Masih banyak yang lain yang tidak bisa saya sebut satu satu— saya hanya ingin mengingatkan sebagai sesama santri bahwa kita ada karena para pendahulu pernah menapak jalan — hari ini kita merangkai kata sekedar berkhidmad syukur bisa mengenang jasa meski mereka tidak berharap. 

Pak Malik, Pak Imam, Pak Sukiyanto, Pak Muhajdir adalah orang orang tulus tidak butuh penghargaan apalagi penghormatan, tapi saya, kita wajib menghormati dan menghargai, begitulah yang seharusnya tanpa kata tapi— 

Sebentar lagi kita bakal tua, pergi dan dilupakan. Sementara tradisi kita tak cukup baik untuk sekedar menghormati yang tua dan mendoakan yang telah pergi— tapi apa salahnya dimulai. 

*^^^*

Di ranting, di cabang, di daerah, di wilayah bahkan di pusat tempat di mana kita berkhidmah insya Allah banyak para pendahulu seperti halnya Pak Malik, Pak Sukiyanto. Pak Imam dan Pak Muhadjir meski tak ada ‘tradisi haul’ apa salahnya kita sekedar berkunjung atau mendoakan usai shalat kita — agar yang muda tidak melupakan yang tua, yang tua menyayangi yang muda. Agar keberkahan dan kesentosaan tetap terawat terjaga — aamiin 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *