Bagi komunitas Adat Karuhun Urang (AKUR)  Sunda Wiwitan, penolakan tugu dan rencana makam bagi pimpinan mereka, Pangeran Djatikusumah di Blok Curug Goong Desa Cisantana Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan, sebetulnya “hal biasa” saja. Sebagai kelompok minoritas “yang diminoritaskan”, pengalaman diskriminasi, pengucilan, dan penyesatan, telah mereka rasakan ratusan kali, boleh jadi ribuan kali. Hal tak biasa justru bagaimana komunitas ini punya daya dan kekuatan bertahan yang makin mengembang sejak kelahirannya pada era 20-an.

Dalam sebuah forum yang digelar lima tahun lalu, saya merinding mendengar seorang remaja perempuan dari komunitas ini berjuang mendapat pengakuan status ayah kandungnya. Bolak-balik ke kantor pemerintah di Kuningan atau pemerintah pusat di Jakarta, hanya untuk mendapatkan penjelasan atas pertanyaan: mengapa ia disebut anak dari perkawinan yang tidak sah. Sebagian orang menyebutnya anak hasil zina. Padahal ia punya Ibu-Bapak.

Istilah kelompok yang diminoritaskan (minoritized group) di atas merujuk pada proses sekaligus hasil dari pengucilan dan marginalisasi kelompok minoritas oleh kelompok yang lebih dominan dalam kurun sejarah tertentu di masa lalu atau di masa kontemporer. “Proses minoritisasi” ini tidak hanya berlangsung pada arena sosial melainkan juga pada arena kebijakan pemerintah. 

Istilah kelompok yang diminoritaskan itu saya ambil dari tulisan Megan M Chase dan kawan-kawan dari Universit  Southern California dan Universitas New York bertajuk “Transfer Equity for “Minoritized” Students: A Critical Policy of Seven States”.

 Dari tulisan ini saya tahu, istilah ini banyak dipakai untuk melihat bagaimana kebijakan, dengan niat atau tidak, di dunia pendidikan telah melahirkan kelompok pelajar atau mahasiswa yang diminoritaskan, terutama dari kalangan “kulit berwarna”. Kebijakan dengan diniat bisa disebut sebagai “diskriminasi yang dilembagakan secara langsung” (direct institutionalized discrimination), sementara “tanpa niat” bisa disebut tidak langsung (indirect institutionalized discrimination). 

Apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kuningan jelas bentuk diskriminasi dengan niat. Soal mengapa bangunan itu perlu dilarang, alasannya gampang dicari. Bisa karena belum ber-IMB, mendatangkan kemusyrikan, atau adanya penolakan warga. 

Jika karena alasan mendatangkan kemusyrikan, mengapa hanya calon makam ini yang dilarang. Bukankah makam-makam lain yang dikeramatkan punya potensi yang sama. Mengapa kebijakan ini tidak berlaku bagi makam Raden Saleh Alibasah atau Syekh Maulana Akbar yang menjadi tokoh Kabupaten Kuningan yang sering diziarahi. Apakah dua makam ini juga akan ditutup jika ada sekelompok orang yang menentang makam-makam itu diziarahi dan dikhawatirkan mendatangkan kemusyrikan?

 Jika jawaban ini tak dapat dijawab oleh pejabat Kabupaten Kunungan, maka begitulah proses direct institutionalized discrimination yang saya sebut di atas. Mudah dipahami, gampang dicerna akal.

Tapi, ini bukan hanya masalah pemerintah Kabupaten Kuningan, tapi juga masalah pemerintah pusat. Bukan hanya pemerintah pusat, ini masalah negara kita. Negara ini telah membiarkan apa yang disebut aliran kepercayaan, agama lokal, agama tidak resmi, atau agama tidak diakui, menjadi negara “kelas dua” di antara enam agama besar lain. Ini pekerjaan rumah kita. Negara telah memilih pandangan ini dengan tetap mempertahankan UU No 1 PNPS 1965. Selama regulasi ini ada, begitulah nasib komunitas dan agama-agama lokal: negara kelas dua dan sasaran diskriminasi.

Kalimuya, 24 Juli 2020

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *