Keburukan dianggap sebagai suatu hal yang tidak enak jika menimpa diri; merugikan korban. Pun kejahatan yang eksistensinya sebagai salah satu sisi keburukan. Jika sampai menimpa diri, umumnya ada beberapa kerugian yang harus diterima dari kerugian waktu, kerugian harta hingga bahkan kerugian nyawa.

Eksistensi kerugian merupakan bentuk tidak terselamatkannya manusia dalam suatu perkara; baik perkara waktu, harta hingga nyawa. Untuk itu, normalnya setiap orang ingin terselamatkan dari musibah yang buruk dan jahat. Bahkan boleh jadi sebagian dari manusia mengambil jalan keselamatan dengan cara licik dan picik. Salah satunya ialah dengan mencuri untuk menyelamatkan perut dan keluarga hingga pada taraf membunuh nyawa untuk menyelamatkan diri.

Keselamatan umunya menjadi tujuan seorang manusia berani mengambil keputusan. Boleh jadi keputusan yang baik mencerahkan dirinya hingga keputusan gelap yang menjerumuskannya dalam kegelapan. Meski demikian, tidak dipungkiri kedua-duanya terkadang dalam ruangan sadar; pertimbangan kritis juga terpaksa karena kondisi. Sehingga, dapat melibatkan pihak yang merugi sebagai korban.

Polemik Pemahaman Atas Agama

Secara teoritik, agama hadir sebagai pedoman bagi manusia. Fungsinya ialah mengatur kehidupan manusia untuk menuju keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan. Alhasil, tidak banyak dari manusia yang memilih beragama. Akan tetapi, agama juga dianggap sebagian orang sebagai alat ketidaktenangan dan ketidakselamatan. Sebab, banyak problematika yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam agama; hingga tumpah darah tanpa sedikitpun rasa humanis untuk sama-sama damai.

Berkaitan dengan hal tersebut berdampak paradigma besar dalam kancah luas; membesarnya paham tidak beragama dan tidak bertuhan. Hal demikian dikarenakan alat pertimbangan yang dijadikan tolak ukur ialah ‘mereka’ yang gagal paham dalam beragama.

Problematika ini cukup luas dan internasional; isis dan perang antar agama Islam hingga kini masih terjadi. Perang antar beda agama juga masih terjadi. Agama hadir sebagai pedoman, akan tetapi difungsikan lepas kendali dari pedoman. Agama seakan kontradiktif dengan nalar juga tekstual. Pedoman yang seharusnya menjadi jalan keselamatan digagalpahami oleh kelompok. Walhasil, meluasnya paradigma ihwal ini.

Lebih ekstrimnya, sebab demikian menjadikan Islam sebagai agama penuh teror. Tidak ada sedikitpun wajah keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan, melainkan sebaliknya. Tidak kalah pentingnya, agama dianggap sebagai simbol kelompok layaknya komunitas, bukan suatu ajaran ilahiyat. Akhirnya, tidak sedikit yang meremehkannya.

Kecenderungan ini ditambah dengan beberapa oknum yang memaknai agama hanya menggunakan tekstual tanpa nalar juga sebaliknya, kontekstual tanpa teks. Sehingga, permasalahan terus terlahir dari proses pemahaman yang keliru. Agama tidak lagi dipahami menjadi juru atau jalan keselamatan manusia menuju kebahagiaan, melainkan dipahami sebagai keburukan yang mengerikan.

Pendalaman Agama

Esensi agama ialah pedoman yang didalamnya berisi petunjuk bagi manusia menuju keselamatan. Islam merupakan agama yang sarat dengan keharmonisan. Jika tidak ada sedikitpun wajah keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi pemeluk Islam dan sekitarnya, maka ada problem dibalik itu; kegagalpahaman dalam memaknai agama. Tidak jarang kegagalpahaman ini disebabkan oleh minimnya literasi, minimnya nalar kritis dan minimnya filterisasi. Akibatnya, berdampak buruk pada karakteristik global agama yang termaksud.

Kegagalpahaman subjek dalam memahami agama bukanlah karena ajarannya, melainkan karena subjeknya. Sehingga, tidak arif jika perkara demikian menjadi basis untuk menyatakan bahwa semua umat dalam agama yang termaksud sama. Artinya, pemukul rata dalam menyimpulkan problema adalah cara tidak bijak sebagai makhluk berakal. Agama dipeluk sebagai bentuk kelemahan manusia yang membutuhkan bimbingan atau petunjuk. Keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan yang sulit digapai diyakini mampu dicapai dengan agama. Sebab, agama adalah jalan keselamatan manusia.

Secara tidak langsung, hal ini bukan subtansinya, melainkan sebatas permukaan semata. Intinya, dalam agama ada segi ajaran juga ada segi ilmu. Manusia beragama ialah manusia yang menaati ajaran dengan melakukan perintahnya dan menjauhi larangannya; kebenaran mutlak. Sedangkan dalam ranah ilmu, manusia memiliki nalar kritis untuk menggali makna terdalam agama melalui pemahaman juga peristiwa-peristiwa yang relevan untuk menguji dogma dalam ajaran yang diyakini.

Maka, agama hadir sebagai jalan keslamatan diri manusia juga keselamatan orang sekitarnya. Dalam Islam, ihwal berikut termanifestasikan dalam rahmat Tuhan yang meliputi makhluknya, tidak hanya manusia yang beriman, melainkan seluruh penghuni alam.

Sudah Beragama Keburukan Tetap Menimpa?

Seperti yang telah dikupas secara sekilas di atas, agama dijadikan alat untuk menyelematkan diri menuju kebahagiaan diri. Namun, kenapa tidak sedikit manusia beragama yang tidak seimbang dengan subtansi agama itu sendiri? Keburukan tetap hadir, meskipun agama benar-benar dipegang,. Bahkan menyeramkannya keburukan itu dianggap sebagai jalan keselamatan diri dan agama.

Memeluk agama tidak lantas menghanguskan keburukan yang bisa saja hadir dalam rutinitas kehidupan. Memeluk agama tidak lantas pasti terhindar dari kejahatan. Artinya, agama bukan sepenuhnya sebab keburukan itu ada ataupun tidak ada. Memeluk agama maupun tidak, keburukan bisa ada pun bisa tidak ada. Tentunya dalam ruang kemungkinan.

Dalam agama, terdapat ruang ajaran juga ilmu yang di dalamnya dikaji lebih dalam perihal baik dan buruk. Pembahasan ini dalam Islam disebut ketetapan dan takdir. Untuk memahami ketetapan dan takdir sesuai ajaran maka perlu bagi manusia untuk memfungsikan nalar dalam menemukan kebenaran.

Secara logis, beragama atau tidak, keburukan bisa ada bisa tiada, pun kejahatan. Faktanya, keburukan adalah kenyataan yang harus disadari adanya, baik dari manusia beragama maupun tidak. Fungsi agama disini ialah sebagai alat untuk menemukan kearifan melalui wahyu Tuhan dan nalar kritis harmonis. Penemuan ihwal ketuhanan pun tidak semena-mena, melainkan melalui pemahaman kritis logis. Gambaran temua yang kritis ialah jika diuji akan tetap kokoh dan meyakinkan melalui bukti atau dalil argumentasi.

Nalar kritis adalah jalan untuk menjawab polemik di atas. Penetapan akan Tuhan perlu dieja kembali untuk menyegarkan pemahaman. Jika keburukan bisa saja ada, bisa juga tidak ada; buktinya demikian. Maka, tentunya hal ini memberikan pernyataan bahwa Tuhan berkuasa dan kekuasaannya tidak terintervensi apapun termasuk status keberagamaan seseorang. Namun, untuk menemukan jalan yang demikian, individu perlu menggali secara ilmiah eksistensi agama dalam hidupnya; guru adalah salah satu jalan terbaik.

 Jika eksistensi agama sebatas warisan, lalu dimana letak pemberdayaan akal sebagai ladang ibadah untuk  berdzikir kepada Tuhan. Berdzikir tidak hanya sebatas membaca tanpa tujuan, melainkan sarat dengan tujuan. Tujuannya pun jelas dalam pikiran juga sinergi qalbu, bukan berhala yang diciptakan dalam bentuk angan atau perandaian. Sehingga, penting untuk menyegarkan kembali keyakinan diri, khususnya eksistensi agama dalam kehidupan.

Agama bukan dipeluk untuk bebas dari keburukan maupun kejahatan, meskipun tujuannya ialah keselamatan dan kebahagiaan. Sebab, dalam agama dijelaskan bahwa kejahatan dan keburukan adalah kuasa Tuhan yang tidak dapat digugat, apalagi sebatas kehadiran agama. Posisinya bisa ada, bisa tiada; dalam jalan yang bergantian. Oleh sebab itu, maka orientasi agama dalam kehidupan perlu dikritisi; manusia sebagai subjek juga objek. Hal tersebut bukan berarti menafikan bahwa agama adalah pedoman menuju keselamatan, melainkan menegaskan bahwa keburukan dan kejahatan bukan karena adanya keberagamaan atau tidak, tetapi kuasa Tuhan yang menciptakan; itulah dalam ajaran agama.

Pun pemahaman akan agama perlu dikaji kembali. Apa bedanya beragama dan tidak beragama? Apa bedanya bertuhan tetapi tidak beragama? Apa bedanya beragama tapi Tuhan tidak ada? Oleh sebab itu, tulisan ini hanya sebatas pengantar untuk mengajak siapapun, termasuk penulis mendalami kembali ihwal akidah; fungsi nalar dan teks. Tentunya, bertujuan mengeksplor kejauhan pemahaman keberagamaan manusia selama ini dalam mengeja problematika.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *