Seringkali diskusi dan seminar yang menarik hanya menghasilkan notula berpuluh-puluh lembar, dan ketika dibaca berlama-lama hanya akan menerbitkan rasa bosan seperti sedang mendengarkan hakim membaca beratus-ratus lembar putusan pengadilan dan keranjingan menyebut kata “bahwa” dan “dan atau”. Kalau bukan notula, boleh jadi diskusi atau seminar tadi menghasilkan laporan diskusi berisi keterangan singkat siapa yang datang, siapa penyelenggara, dan apa yang dibicarakan.
Agar hasil diskusi dan seminar terhidang baik dan menerbitkan selera untuk menyantap, dibutuhkan usaha lebih keras. Misalnya mengolah rekaman audio visual menjadi video yang punya cerita kokoh dan bukan sekedar tempelen peristiwa, menyusunkan menjadi buku, atau membuatnya menjadi laporan diskusi yang lincah.
Tentang laporan diskusi, saya ingat Sara Zeiger. Di tangan perempuan ini, hasil diskusi ahli yang menghadirkan lebih dari lima belas orang dari berbagai negara di Asia Tenggara dan beberapa orang dari Australia, disulap menjadi kompendium, kumpulan informasi yang padat sekaligus praktis, setebal 42 halaman. Diberinya judul “Mengurangi Narasi Ekstremis Kekerasan di Asia Tenggara, Sebuah Panduan”.
Saya hadir pada pertemuan pada 2016 itu. Ketika di forum, saya ingat gerak-geriknya macam petugas bank yang tengah menghitung uang. Tak ada yang dipikirkan selain mengikuti jalannya diskusi. Bola matanya berpindah-pindah mengikuti asal suara sembari tetap menekan tombol laptop dengan cepat. Jika terbit keingintahuannya, diangkat tangannya lalu bertanya, sembari tetap bekerja mengetik.
Ketika itu kami mendiskusikan isu tentang ekstremisme kekerasan, dari faktor penyumbang hingga strategi konternarasi untuk konteks Asia Tenggara. Diskusi yang merupakan agenda lanjutan setahun sebelumnya di kota Sydney Australia ini memeras otak-otak yang hadir bagaimana menyusun strategi perlawanan narasi yang efektif berbasis Asia Tenggara.
Sarah, analis riset senior Hedayah, lembaga think-thank internasional terkemuka untuk isu pencegahan ekstremisme kekerasan yang berkantor di Abu Dhabi Uni Emerit Arab. Sebelumnya, ia bekerja sebagai asisten riset pada Pusat Kajian Timur Tengah Universitas Harvard Amerika. Ia lulusan Universitas Boston bidang Agama dan Hubungan Internasional dengan fokus isu pada Kajian Keamanan dan Islam. Dari tangannya, lahir banyak laporan sejenis.
Dua bulan setelah itu hasil diskusi terbit dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Strukturnya penulisan gampang diikuti dan sistematis. Karena ditujukan sebagai panduan praktis, banyak informasi praktis, tetapi tak kehilangan bobot akademik. Saya terinspirasi dengan cara kerja semacam ini dan mencoba menerapkannya di Wahid Foundation. Setiap diskusi atau workshop yang penting untuk dibaca lebih banyak orang dapat disantap dalam bentuk kertas kerja, atau kertas kebijakan. Pola itu sudah “mentradisi” sekarang.
Apa ukuran publikasi laporan yang menarik dan bagus memang dapat beragam. Tergantung dari sisi mana akan dilihat. Dari kepentingan pembaca, penerbit dokumen, atau berdasarkan ukuran-ukuran akademik. Tergantung. Untuk menghasilkannya ada banyak prasyarat, termasuk dana untuk penulis, desainer, dan penyelia aksara
Kalimulya, 18 Oktober 2020
No responses yet