Catatan Singkat Sorogan Kitab Irsyad al-Sari

6 bulan terakhir, saya mendapati pijar pengetahuan baru, yakni saat rutin menelaah kitab Irsyad al-Sari. Kitab yang mengumpulkan karya Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari (1871-1947). Satu di antara pengetahuan yang tersingkap itu adalah kedekatan Gus Ishom (1965-2003) dengan Hadlaratussyaikh. Gus Ishom yang memiliki nama panjang Muhammad Ishomuddin Hadziq adalah cucu Hadlratussyaikh, bertindak sebagai pentahqiq kitab Irsyad al-Sari. Tahun 1991, setelah 11 tahun nyantri di Lirboyo Kediri di bawah asuhan Kiai Mahrus Aly (1906-1985), Gus Ishom kembali ke Tebuireng. Fokus berkhidmah, di antaranya adalah dengan mengidentifikasi, mengedit, menerbitkan, dan membacakan kitab karya sang kakek.

Dari titik ini, setidaknya ada dua hal menarik yang menunjukan kedekatan intelektualitas antara cucu dan kakek. Pertama, selaku pentahqiq, Gus Ishom dengan ketelitian, kesabaran, dan keluasan ilmu, mampu menyajikan dan menghidupkan kembali pandangan sang kakek. Buah pikir Hadlaratussyaikh mampu dijembatani untuk diwariskan kepada generasi penerus. Terlebih bagaiamana pandangan Hadlaratussyaikh mendasari garis perjuangan Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini dapat dirasakan betul saat kita mendaras tiap halaman risalah Muqaddimah al-Qanun al-Asasi Li Jam’iyyah Nahdlah al-Ulama. Demikian halnya wasiat Hadlaratussyaikh terkait persatuan dan kesatuan bangsa. Penjabarannya termaktub dalam kitab al-Tibyan Fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan.

Selain itu, sebagai muhaqiq, Gus Ishom juga memberikan ulasan biografi Hadlaratussyaikh serta kata pengantar. Di bagian ini, Gus Ishom memberikan paparan singkat isi dan relevansi karya sang kakek. Sebagai misal, dalam pengantar kitab al-Tibyan, Gus Ishom yang dulu saat mondok di Lirboyo hanya butuh waktu seminggu untuk menghafal 1000 bait Alfiyah itu menjelaskan bahwa kitab al-Tibyan dianggit oleh Hadlaratussyaikh sebagai wasiat pentingnya persatuan untuk mewujudkan masyarakat yang maju. Sebaliknya, mewanti-wanti bahwa perpecahan, saling caci, saling hasud, saling perpaling adalah racun yang nyata bagi keberlangsungan sebuah bangsa.

Sisi kedekatan kedua adalah kecerdikan Gus Ishom menulis karya baru sebagai pelengkap dari beberapa judul karya sang kakek. Sebagai misal adalah kitab Miftah al-Falah fi Ahadits al-Nikah. Kitab ini merupakan kumpulan hadis-hadis terkait nikah. Disarikan dari berbagai kitab induk hadis, baik dari al-Kutub al-Sittah ataupun lainnya. Termasuk di dalamnya adalah kitab Musnad Imam Ahmad karya Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H), Mu’jam al-Ausath karya Imam al-Thabarani (260-360 H), al-Mustadrak karya Imam al-Hakim (321-405 H), dan masih banyak lagi. Dari karya ini, kita dapat menyinggahi keluasan penguasaan kajian hadis Gus Ishom. Bidang yang dulu menjadi kepakaran sang kakek.

Contoh berikutnya adalah karya Gus Ishom yang berjudul Irsyad al-Mukminin Ila Sirah Sayyid al-Mursalin. Kitab ini seakan menjadi kelanjutan dari karya Hadlaratussyaikh yang berjudul al-Nur al-Mubin fi Mahabah Sayyid al-Mursalin. Jika sang kakek fokus menyajikan deskriptif sejarah hidup Nabi Muhammad (shalawat dan salam semoga tercurah), maka Gus Ishom melengkapi dengan tilikan filosofis (hikmah) dari sejarah kenabian, sahabat, dan tabi’in. Menyajikan pelajaran laku hidup Kanjeng Nabi yang penting dipahami dan diikuti oleh para pengikutnya. Di antaranya adalah sifat qana’ah, ‘iffah, tawadhu’, amanah, kejujuran, kebajikan, kepedulian, kemanusiaan, dan lain sebagainya.

Lantas tertarikah anda?

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *