Oleh : Mohammad Anwar S.Fil.I
Sultan Abdulhamid Herucokro atau Pangeran Diponegoro telah meletakkan dasar-dasar berbangsa, bernegara dalam bingkai kehidupan beragama. Sebagai seorang Jawa, dia sangat mencintai dan menghormati sejarah, budaya adat dan tradisi Jawa. Sebagai seorang muslim dia sangat menteladani perjalanan hidup Nabi Muhammad. Sebagai seorang bangsawan putera seorang raja, dia sangat memahami bagaimana selayaknya melindungi harkat dan martabat bangsanya.
Selama ini buku sejarah Diponegoro hanya menceritakan tentang perjalanan perang dan biografi Diponegoro, jarang mengungkap kekuatan dahsyat yang melingkupinya. Perang Jawa adalah titik balik sejarah bangsa. Jejaring ulama Diponegoro selama ini belum dikupas secara menyeluruh oleh para sejarawan, karena memang dokumendokumen terkait Perang Jawa tidak banyak mencatatnya. Sejatinya, Carey telah menyebut banyaknya kalangan ulama dan santri yang terlibat, tetapi belum berhasil menguraikannya dalam bentuk utuh.
Zainul Milal Bizawie mencoba mengungkapkan itu semua dalam sebuah buku berjudul “Jejaring Diponegoro : Kolaborasi Santri Dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Pada Awal Abad ke-19” yang diterbitkan oleh Pustaka Compass.
Buku ini bisa dipahami sebagai upaya menggali kembali warisan Pangeran Diponegoro dan para laskar ulama dan santri. Warisan itu adalah sebuah jaringan pesantren dan ulama yang meneruskan cita-cita Pangeran Diponegoro. Tidak berlebihan bila apa yang dilakukan oleh para bangsawan, para ulama dan santri dalam berjuang melawan penjajah Belanda menjadi cikal bakal kesadaran nasional dalam berbangsa, bernegara dan beragama.
Jaringan Ulama Yang Melingkupi Perang Diponegoro
Membaca buku karya Zainul Milal ini, tidak bisa dilepaskan dengan dua karya besar sebelumnya. Ia telah menelusuri jejaring ulama awal abad ke-20 dalam buku “Resolusi Jihad & Laskar Ulama Santri” dan abad ke-19 dalam buku “Masterpiece Islam Nusantara”. Buku ini mengupas prakondisi sebelum jejaring ulama tersebut terbangun.
Perang Jawa telah menandai adanya kolaborasi besar santri-ksatria untuk mengembalikan sebuah tatanan yang telah lama dihancurkan kolonial. Perang tersebut telah melahirkan suatu jejaring ulama yang cukup solid dan taktis dalam menggerakkan kekuatan umat Islam untuk tetap berdaulat meski kekuasaan di pusat keraton telah dianulir oleh kolonial. (hlm. XV)
Pangeran Diponegoro cukup rajin berkunjung dari pesantren satu ke pesantren lainnya. Kebiasaan membuatnya memiliki banyak guru (kyai, ulama) dan hubungan yang luas dengan komunitas santri. Pesantren-pesantren tersebut telah memberikan spirit keislaman yang melingkupi beberapa ulama tokoh kunci dukungan santri kepada Diponegoro, yaitu Kyai Mojo, Kyai Taptojani, Kyai Hasan Munadi Sampawardi, Kyai Nur Iman Mlangi, Syekh Ahmad Alim Bulus hingga terhubung dengan jejaring pesantren-pesantren di atas utamanya Pesantren Tegalsari.(hlm. 173). Jaringan lainnya yang diungkap buku antara lain Jejaring Gunung Pring Magelang, Jejaring Kiai Abdullah Faqih Purwokerto, dan Jejaring Pesantren Banjarsari.
Salah satu tokoh penting dalam membantu terbentuknya jaringan ini adalah Kyiai Mojo. Pada saat Perang Jawa, Kyai Mojo ditunjuk Pangeran Diponegoro sebagai penasihat sekaligus panglima pasukan yang mengkonsolidasi jaringan ulama-santri seperti saudara-saudaranya sendiri (Kyai Hasan Mochammad, Kyai Hasan Besari, dan Kyai Baderan II), Kyai Umar Semarang, Kyai Abdusshomad Tambakberas Jombang, dan kyai-kyai lainnya. Ia berhasil mengubah modus perlawanan terhadap penjajah dari “pemberontakan” menjadi “perang sabil”. Di bawah pengaruh Kyai Mojo, ikut sejumlah tokoh lokal; 88 Kyai desa, 36 haji, 11 syech, 18 pengatur agama (penghulu, modin, khatib, juru kunci), 15 guru mengaji, dan beberapa ulama dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun dan Ponorogo, serta 3 orang santri wanita. (hlm. 181)
Warna perjuangan Diponegoro memang sangat kental dengan nuansa Islam, hal ini nampak dari begitu banyaknya dukungan dari kalangan pondok pesantren dan kyai yang berada di dalam barisan laskar Diponegoro. Kehadiran para kyai seperti Kyai Kwaron dan Kyai Mojo di Selarong menandakan agar pejuangannya tidak menyimpang dari al Qur’an. Nuansa Islam juga nampak dalam barisan laskarnya yang diberikan nama-nama seperti militer Turk, menggelorakan jihad dan perang sabil.
Jejaring ulama yang diungkap di buku ini menjadi penggambaran bagaimana jejaring itu tidak statis dan linear, namun dinamis dan berjenjang serta berkelindan sehingga perlawanan Diponegoro cukup masif tidak sebatas lima tahun antara 1825-1830. Namun, perlawanan itu digerakkan jauh sebelum pecahnya Perang Jawa dan menjulur hingga pasca penangkapan Diponegoro.
Perlawanan tersebut terus terjaga dalam bentuk dan strategi perjuangan yang berbeda. Perjuangan tersebut membutuhkan nafas panjang dan turun temurun hingga momentum yang tepat untuk menggerakkanya kembali, yaitu perang kemerdekaan, melanjutkan perang jihad mengusir penjajah/penindasan dan menjaga tegaknya kemerdekaan RI.
No responses yet