Dalam kaitan kepemimpinan nasional, Jawa menjadi salah satu isu penting dalam sejarah Indonesia dari masa Mapajahit hingga Indonesia modern. Beberapa model kepemimpinan Indonesia seperti kepemimpinan pesantren, masyarakat Islam, atau teritorial tertentu seperti Jawa merupakan sekian sub dari payung besar kepemimpinan politik Jawa.

Sebagai  sebuah  komunitas masyarakat yang  mempunyai sejarah panjang dalam peradabannya, banyak nilai-nilai yang tercermin dalam kehidupan masyarakat Jawa. Franz Magnis- Suseno menuliskan bahwa ada 4 lingkaran dalam pandangan dunia masyarakat Jawa. Lingkaran pertama adalah sikap terhadap dunia  luar  yang  dialami sebagai  sebuah  kesatuan kesadaran antara manusia, alam dan dunia adikodrati. Lingkaran kedua   adalah penghayatan kekuasaan politik sebagai perpanjangan tangan kekuatan adikodrati. Lingkaran ketiga adalah pengalaman   mistis-batiniah manusia Jawa dalam memahami eksistensi dirinya sebagai bagian dari alam. Lingkaran keempat adalah penentuan semua lingkaran di atas sebagai bagian dari takdir kehidupannya (Kresna, 2015).

Dalam kehidupan masyarakat Jawa pandangan itu menjadi satu   kesatuan dan merupakan bagian dari kehidupan. Demikian pula dalam politik. Di dalam kepemimpinan politik masyarakat  Jawa  tercermin  empat  lingkaran  di atas. Paling tidak hal itu dapat diterjemahkan  dalam  tiga  ciri  model  kepemimpinan masyarakat Jawa yakni mistik, kharismatik-filosofis, dan eufemistis.

Karakteristik kekuasaan di Jawa hampir dapat dipastikan selalu berkaitan dengan hal-hal mistis. Orang Jawa masih memegang teguh keyakinan adanya kekuatan lain di luar dirinya yang dapat membantu atau memberikan pengaruh pada kekuasaan. Paling tidak ada dua karakteristik yang melekat pada paham kekuasaan Jawa. Karakter tersebut yakni sentralistik. Kekuasaan yang ada terkonsentrasi serta adanya kecenderungan untuk mengambil hak kekuasaan lain. Dikarenakan sifat yang memusat tersebut maka tidak akan ada kekuatan lain yang dibiarkan bebas dan terlepas dari kendali pusat kekuasaan, sebab selain ada potensi mengganggu keseimbangan atau keharmonisan lingkaran kekuasaan, juga secara ancaman yang terus mengintai sehingga membahayakan keberadaan pemegang kekuasaan tersebut.

Para  pemegang  kekuasaan  menurut  paham  kekuasaan Jawa menerima kekuasaan tersebut dari sumber adikodrati, dan   kekuasaan yang diterima tersebut dianggap sebagai amanat atau tugas suci yang hanya mempunyai konsekuensi-konsekuensi tertentu dengan sumber atau asal kekuasaan dan bukannya dari pihak lain.

Karakteristik kekuasaan tersebut akan memengaruhi perilaku elite politik. Karakteristik yang cenderung sentralistis, akan kita dapati dalam cara-cara pengambilan keputusan elite politik dan pemangku jabatan di setiap sektornya. Kecenderungan yang demikian menempatkan pemegang posisi puncak sebuah kekuatan politik berperan sangat dominan atau menentukan dalam setiap proses pengambilan keputusan-keputusan. Oleh karenanya kontrol yang sangat ketat adalah konsekuensi dari persepsi atas kekuasaan.

Karakteristik kekuasaan berasal dari alam adikodrati, hal  yang  ilahiah maka tidak mempunyai ikatan moral secara horisontal, mengakibatkan pola pertanggung-jawaban sebuah keputusan atau kebijaksanaan elite kepada masyarakat umum juga tidak ada. Hal ini seperti yang tergambar dalam babad yang ditulis  Diponegoro sendiri yang memohon pertobatan kepada yang adikodrati atas apa yang telah dilakukan. Mungkin bisa saja masyarakat didengar suaranya atau seolah-olah dibuat mereka ikut berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, namun pada prinsipnya, persepsi tentang kekuasaan seperti ini nyatanya  tetap  menonaktifkan partisipasi arus  bawah  yang ada.

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki akar sejarah yang sangat panjang, terutama dalam kehidupan beragama  dan  berbudaya.  Sebelum  kedatangan  Islam  dan Barat (terutama Belanda), Jawa beberapa ratus tahun lamanya di bawah kerajaan Hindu Buddha, dan mereka menancapkan agama dan budaya dalam kehidupan masyarakat.

Pada umumnya, orang Jawa percaya bahwa semua penderitaan akan berakhir bila telah muncul Ratu Adil. Kepercayaan akan benda-benda bertuah serta melakukan slametan merupakan upaya orang Jawa untuk melakukan harmonisasi terhadap alam sekelilingnya. Selain itu, inti dari ajaran kejawen adalah amemayu hayuning bawana, yang dimuat dalam Kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa, 1032). Menjelaskan ajaran  ini,  Mpu  Kanwa menggambarkan tugas seorang pimpinan yang harus memperbaiki dan memakmurkan dunia,  seperti  dinyatakan  dalam  Pupuh  V  bait  4-5,  Sunan Pakubuwana IX  (1861-1893)  mengubah  bait  tersebut  dalam serat Wiwaha Jarwa menjadi “Amayu jagad puniki kang parahita,  tegese  parahita  nenggih  angecani  manahing  Iyan wong sanagari puniki” (melindungi dunia ini dan menjaga kelestarian parahita, arti parahita ialah menyenangkan hati orang lain di seluruh negeri ini).

Sebelum menjalankan peperangan, agar perjuangannya terkoneksi dengan kehendak para leluhur dan perintah yang Adikodrati, Diponegoro setelah menziarahi pesantren, ia pergi menjauhi daerah ramai melakukan asketisme, melakukan pengembaraan. Ia melakukan ziarah di beberapa tempat keramat terutama tempat keramat paling penting dari wangsa Mataram Islam. Masa lelaku ini memuat tirakat dalam kualitas tinggi. Tirakat adalah masa dari seorang laki-laki Jawa yang ingin mempersiapkan dirinya untuk melakukan usaha serius. Tirakat memberi kesunyian diri untuk membersihkan diri dari rasa pamrih. Pamrih adalah motif dan ambisi pribadi egois. Tirakat juga melegitimasi perilaku melalui kontak dengan leluhur yang telah meninggal dan juga wali-wali spiritual Jawa.

Wangsit pertama Diponegoro terjadi di Goa Song Camal di distrik Jejeran di sebelah selatan Yogya. Sunan Kalijaga, salah satu dari sembilan wali, muncul di hadapannya dalam bentuk seorang pria yang bersinar seperti bulan purnama. Ia memberi tahu bahwa sudah ditentukan oleh Dewa jika di masa depan ia akan menjadi raja (ratu). Setelah menyampaikan ramalan peringatan ini, sosok itu segera menghilang. Lira sira ing benjing / dadi ratu ngiring-ngiring nuli musna. Bahwa di masa depan Anda / akan menjadi raja.

Menurut Carey, pertemuan dengan Sunan Kalijaga dan ramalannya sebagai raja sangat penting bagi Diponegoro. Sunan Kalijaga adalah wali yang dihormati di Jawa Tengah bagian selatan. Ia adalah seorang penasihat raja. Ia adalah pelindung spiritual Wangsa Mataram. Legenda juga menganggapnya sebagai peran kunci dalam penyebaran Islam di daerah ini (Solichin Salam, 1963). Kuburan Sunan Kalijaga di Kadilangu, dan masjid besar di Demak, dianggap oleh penguasa Jawa sebagai dua pusaka Jawa. Ziarah dari kraton rutin dikirim ke sana. Dalam masa Perang Jawa, keturunan Sunan Kalijaga, Pangeran Serang (1794-1854) dan ibunya, Raden Ayu Serang (1769-1855), sangat dihormati oleh para pengikut Diponegoro karena dianggap memiliki kasekten (Carey, 2008).

Bahkan ada desas-desus bahwa Diponegoro akan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada cucu Raden Ayu Serang Raden Mas Papak (Pangeran Adipati Natapraja), jika berhasil mengalahkan Belanda. Keturunan Kalijaga dianggap paling cocok menjalankan kekuatan spiritual di Jawa. Dengan demikian, pesan atau wangsit waliyullah Jawa dan dukungan dari keturunannya membantu melegitimasi perjuangan Diponegoro (Carey, 2008). Wangsit ini menjadi panduan dan spirit bagi sang pangeran. Sang Pangeran melihat dirinya tidak hanya sebagai penguasa duniawi tetapi juga sebagai penguasa spiritual Jawa. Corak politik ini seperti corak politik pada abad kelima belas dan keenam belas yang memegang fungsi duniawi dan fungsi spiritual. Memang, kisah wali terutama Kudus, Demak, dan Giri, sering menjadi bahan perdebatan antara Diponegoro dan para penasihatnya ketika mereka mencari konsensus selama perang mengenai tujuan pokok dan tujuan keagamaan mereka dalam membentuk negeri Islam nantinya.

Diceritakan juga bahwa sebelum terjadi perang Jawa, Diponegoro mengaku bermimpi bertemu delapan wali wudhar, yaitu wali yang menjalankan jabatan spiritual. Mimpi ini menegaskan dan menyakinkannya bahwa ia dipilih pandito raja yang terakhir di Jawa. Setelah dari kampung Jejeran, Diponegoro melewati pedesaan menuju Imogiri, makam kerajaan atau pasarean para penguasa Mataram. Di sana, di Bakung, dekat kolam di puncak tangga besar menuju ke makam kerajaan, ia bersemedi selama seminggu. Ia kemudian mengikuti sembahyang Jumat di masjid Jimatan, masjid yang dikenal secara resmi sebagai jimat.

Dalam babadnya, Diponegoro menceritakan bahwa semua Juru kunci mengenalinya. Mereka memberikan hormat dan takzim kepadanya. Itu indikasi betapa Diponegoro dikagumi oleh penghulu kerajaan, pejabat agama negara. Dan banyak dari mereka yang mendukungnya selama terjadi Perang Jawa. Pangeran Diponegoro juga berziarah ke makam buyutnya, Sultan Mangkubumi (Hamengkubuwono I) dan Ratu Ageng. Tempat terpenting ia melakukan meditasi adalah di Bengkung. Di tempat ini meditasinya ditujukan kepada Sultan Agung (memerintah 1613-1646). Sultan Agung adalah penguasa Mataram abad ketujuh belas dan sangat terkenal.

Di Babad Diponegoro, Bengkung diceritakan menjadi tempat istimewa dari Sultan Agung. Dalam sumber Jawa ditulis tak lama setelah Perang Jawa, di bawah perintah salah satu pangeran pro Belanda, bahwa pangeran mengirimkan punggawa kepercayaannya berziarah ke makam Sultan Agung di Imogiri untuk meminta tanda. Pada tengah malam, nampak sebuah cahaya seperti piring berputar di sekitar tirai makam (Carey, 2008). Juru kunci, Kyai Balad, menjelaskan bahwa ini berarti bahwa Tuhan menetapkan bahwa peperangan harus pecah di Jawa dan banyak darah akan tumpah.

Dalam otobiografinya, Diponegoro tidak menyebutkan tentang petanda atau wangsit. Tetapi, sang pangeran selalu merujuk nubuwat, atau ramalan, Sultan Agung tentang batas waktu 300 tahun kekuasan Belanda di Jawa. Ia memang sangat kagum pada Sultan Agung. Diponegoro menyebutnya sebagai ahli spiritual, dan penguasa Islam, dan raja yang sepenuhnya. Satu kisah dari orang Eropa menceritakan bahwa ketika pasukan-pasukan Diponegoro mengepung Yogyakarta pada bulan Agustus 1825, Diponegoro bermimpi bertemu Sultan Agung dan memberikan petuah kepadanya.

ZIARAH batin dan lelaku Diponegoro mengunjungi makam leluhurnya merupakan langkah mistifikasi yang dilakukan untuk menghubungkan posisi dan perjuangannya meneruskan leluhur dan telah diramalkan oleh leluhur. Ini juga yang kemudian menjadi jawaban bahwa selain melakukan jihad perang sabil, ia juga mentasbihkan sebagai erucakra atau ratu adil yang selama ini ditunggu masyarakat Jawa. Narasi ini juga dibangun oleh Diponegoro dalam otobiografinya dengan menceritakan sejarah Walisongo, kerajaan Mataram hingga cerita ia menjalankan peperangan melawan Belanda. Intinya, dengan mistifikasi kepada para leluhurnya, perlawanannya dalam perang Jawa mendapat legitimasi historis sekaligus takdir dari yang Maha Kuasa. Alasan legitimasi historis ini pulalah dan diperkuat dengan paham tarekatnya, yang membuat kemarahan Diponegoro atas dicabutnya patok atau nissan di tanahnya oleh Belanda. Narasi ini cukup berhasil membuat kalangan santri terlibat penuh bahkan setelah perang usai, mereka masih merasa mendapatkan legitimasi historis dan memegang takdir untuk meneruskan perjuangannya.

(Sumber: Buku Jejaring Ulama Diponegoro hal 361-367)


No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *