Oleh: Rahmatul Safitri Al Akbar (Mahasiswi UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung)

Sejak munculnya doktrin pemurnian agama Islam dikalangan Masyarakat beragama telah memicu timbulnya diskriminasi terhadap kaum minoritas. Al-Qur’an sama sekali tidak membenarkan adanya praktik kekerasan dengan mengatasnamakan agama.[1] Pada konsep moderasi beragama sampai kapanpun akan tetap dianggap relevan, karena sikap ini akan dinilai sebagai pendorong bagi sikap beragama seimbang pada praktik agama sendiri maupun keagamaan orang lain. Keseimbangan dalam praktik keagamaan tidak akan membuat seseorang berlebihan, fanatik, dan revolusionar dalam beragama. Bagaimanapun orang yang fanatiknya berlebihan terhadap agama, ia akan dipahami sesuatu yang suci, mulia, sakral, dan keramat. Bahkan dalam kenyataannya agama datang kebumi akan membawa manfaat bagi manusia.

Pada dasarnya keberagamaan dalam hidup sebuah keniscayaan sebagaimana Allah kehendaki, tidak dapat disangkal terjadinya secara kenyataaan bangsa terdiri dari suku, adat, kebudayaan dan agama. Semua agama tidak menolerasi, tindakan kekerasan, terorisme yang menodai nilai-nilai kemanusiaan, dan kerukunan umat beragama.[2] Dengan kata lain moderasi beragama menunjukan adanya penerimaan dari kelompok agama yang berbeda-beda. Sehingga manusia muslim sangat dipengaruhi oleh pemahaman agamanya yang tidak lain bersumber dari kitab Al-Qur’an, yang mana Al-Qur’an akan mengendepankan moderasi dalam hal apapun dikenal dengan istilah moderat dalam agama.

Dalam Al-Qur’an sikap selalu menjadi hubungan baik dalam agama yang tertuang sebagaimana firman Allah Q.S. Al-An’am ayat 108.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًا ۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

” jangalah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”

Dalam ayat tersebut umat islam diperintahkan agar tidak menghina, mengejek, dan merendahkan Tuhan-Tuhan yang disembah oleh minoritas, supaya para minoritas tidak membalasnya dengan ejekan dan hinaan yang ditunjukkan kepada Allah SWT. Apalagi saling menghina dan mengejek antar pemeluk agama yang berbeda, maka akan jadi permusuhan yang berlarut-larut. Bisa dimaknani sebagai sikap atau gagasan yang menggambarkan berbagai kemungkinan jika dikaitkan dengan sosiologi, untuk menghormati dan membiarkan para pemeluk agama lain untuk melakukan ibadah dengan ajaran dan ketentuan agama yang mereka yakini. Terdapat tiga prinsip tolesansi dalam kandungan ayat tersebut;

Pertama, Celaan yang ditunjukkan kepada sesembahan kaum musyrik tidak akan membuat mendapatkan petunjuk, akan tetapi akan membuat makin mengingkari-Nya dan memusuhi umat Islam. Karena akan memicu celaan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Allah SWT. Ayat tersebut juga secara tegas mengajarkan kaum muslim untuk memelihara kesuciaannya dan menciptakan rasa aman antar umat beragama.

Kedua, diantara kewajiban umat islam menghormati dan menjaga eksistensi minoritas tidak hanya mengajarkan untuk mempertahankan eksistensi kebenaran dan kelurusan sebagai agama. Mereka mengakui eksistensi agama lain untuk memberikan hak hidup berdampingan pemeluk-pemeluk agama lain. Sehingga pengakuan eksistensi agama lain yang terdapat pada masyarakat menjadi prinsip yang harus dimiliki oleh setiap pemeluk agama.

Ketiga, berdakwah dengan cara tidak menghina dan mencaci keyakinan agama lain sangat penting pada umumnya, dakwah yang popular menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik. Pada prinsip kebaikan, seperti keadilan, kejujuran, toleransi, menjadi salah satu hal penting dalam ajaran agama. Maka dari itulah tujuan Allah menurunkan ayat ini agar setiap muslim dan minoritas tidak saling melakukan penghinaan dan sesembahan orang minoritas.[3]

Ketiga prinsip toleransi tersebut sangat dibutuhkan sebagai upaya menciptakan kerukunan hidup beragama. Islam justru tubuh menjadi semakin toleran terhadap ekspresi keagamaan dengan arus utama keyakinan Islam, khususnya setelah perkembangan sosial media. Beberapa kelompok yang mampu mempertahankan prinsip-prinsip toleransi tersebut. Sehingga mampu melunturkan berbagai sentimen berbasis pandangan keagamaan dalam gencarnya tindakan toleransi yang dilakukan oleh sebagaian kelompok.

[1] Masrul Anam, Mochammad Rizal Fanani, and Afrizal El Adzim Syahputra, “Prinsip Toleransi Beragama Perspektif QS. Al-An’ām [6]:108 Dan Relevansinya Dalam Konteks Keindonesiaan,” Qof 7, no. 1 (2023): 67–80.

[2] Ibid.

[3] Islamic Communication, “Moderasi Beragama Dalam Perspektif Al- Qur’an Dan Hadis Muhammad Wahfiyudin Romadoni,” Jadid 02, no. September (2022): 200–215.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *