Tesis Politik Mu’awwiyah adalah:  muwakalah hasanah wa musyarabah jamilah.  Sejak saat itu kekuasaan dibagi dua, seorang khalifah tak harus pandai urusan agama tapi cukup punya kemampuan menejerial mengelola negara. Ulama dan umarapun dipisah keduanya punya kapling masing-masing. 

*^^^*

Jadi jangan pandang sebelah mata pada paman isteri Rasulullah ini—kepadanya Rasulullah saw mendoakan dan Jibril menunjuknya sebagai salah seorang penulis wahyu. 

Perang dahsyat sesama iman antara Muawwiyah dan Ali berebut khilafah berakhir di meja runding (arbitrase-tahkim) yang dimenangkan Mu’awiyah secara kontroversial meski dalam perang fisik head to head Mu’awiyah kalah. Tapi ini politik dan Mu’awiyah adalah jagonya. 

Peristiwa arbitrase adalah kisah tentang kecerdikan, adu strategi dan diplomasi agar unggul di setiap etape. Unggul dalam jumlah suara saja ternyata tak cukup. Apalagi kalah. Politik butuh banyak support, militansi bahkan sedikit ‘kecurangan’ untuk menjaga keunggulan. Bukankah yang kalah juga curang. 

Jadi jangan tanya suka citanya pengikut Mu’awiyah yang bisa membalik kekalahan menjadi kemengan pada masa injure time dan jangan ditanya pula kecewa dan frustrasinya pengikut Ali. Padahal kemenangan sudah ditangan, bahkan sayidina Ali pun konon jadi kurban para pengikutnya yang kecewa berat. Efek lazim dari setiap peristiwa politik, yang tak mudah sembuh. 

*^^^*

Generik Islam diciptakan berbeda, ada puluhan madzab fiqh dan kalam dan ratusan aliran tasawuf dan thariqah dan semuanya tak mungkin bisa disatukan oleh politik.

Kekhawatiran bahwa umat Islam bakal terpecah-pecah sudah dirasakan baginda Nabi saw diujung usia, karenanya beliau bernasihat dan berpesan : aku tinggalkan dua pusaka yaitu al Quran dan as Sunah.

Dan ironisnya sebagain besar kita juga bertengkar karena dua pusaka itu—sebab masing-masing telah merasa berpegang dan kembali pada dua pusaka itu. Jadi di mana letak pangkal soalnya. 

*^^^**

Dalam sejarahnya Mu’awiyah telah berhasil membangun sebuah imperium Islam yang disegani, karena luas wilayah dan banyaknya negeri taklukan— Islam dikenal di belahan bumi Eropa dan Parsi.

Mu’awiyah juga sukses menyatukan puluhan manhaj dan aliran Islam dalam satu kesatuan politik— ini bagian terpentingnya, sebab ia juga tak segan memberangus kekuatan politik para ahlu bait pengikut Ali dan membatasi ruang geraknya agar tak banyak bertingkah. Sesuatu yang secara teologis patut disesali tapi dibenarkan secara politik.

Baru nyadar bahwa berebut kekuasaan dan intrik berpolitik itu tak cocok buat Abu Dzar al Ghifari ra sahabat nabi saw yang dikenal berhati lemah atau Abu Musa Al Asy’ari ra seorang wara’ lagi zuhud, 

*^^^*

Apalagi saya atau siapapun orang-orang yang tak cukup lapang ketika tiba-tiba mas Sandy menjadi timses nya menantu Pak Jokowi di Kota Medan atau pak Busyra Muqaddas yang dikenal konsisten dijalan pemberantasan korupsi menjadi pengacara keluarga cendana Bambang Trihadmodjo. Bukan kita yang menimang, tapi Politik akan menemukan pilihan rasionalnya sendiri tanpa kehadiran kita sekalipun. 

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *