Mudik seperti tahun-tahun yang lalu adalah rutinitas wajib bagi setiap orang menjelang perayaan Idul Fitri. 

Seperti tahun yang lalu, menjelang akhir Ramadhan hati Engkong Solihin selalu diliputi rasa gembira. Sebab sebentar lagi kedua anaknya yang hidup di perantauan Jakarta-Bekasi akan datang berkumpul bersama. Engkong Solihin memiliki tiga orang anak, dua anaknya merantau ke Bekasi dan Jakarta, sedangkan satunya lagi tetap tinggal di kampung bersamanya.

Suasana lebaran nanti, Engkong Solihin bukan hanya dikelilingi anak dan menantunya, melainkan juga dengan para cucu-cucunya. Bahkan, biasanya Engkong Solihin lebih banyak menghabiskan waktu dengan para cucu daripada anak dan menantunya. Kehadiran para cucu seperti memberi semangat hidup dan kebahagian bagi Engkong Solihin. Namun, diantara sepuluh cucunya, Engkong Solihin merasakan ada perbedaan yang mendasar. Cucu-cucunya yang lahir dan besar di kota berbeda dengan cucu-cucunya yang lahir di kampung. Walaupun perbedaan itu tidak terlalu nampak, namun tetap terlihat.

Engkong Solihin merasakan bahwa para cucunya yang lahir di kota terlihat lebih aktif, pintar bicara, dan terkadang terkesan lebih agresif. Sementara para cucunya yang lahir di kampung terlihat lebih bersikap mengalah, pendiam, bahkan terkesan rendah diri terhadap sepupunya yang lahir di kota. Semakin diperhatikan oleh Engkong Solihin ternyata perbedaan itu semakin ada dan jelas ada.

Kehidupan kota seperti menciptakan anak-anak yang siap bersaing dalam kehidupan individualistik. Dan itu semua merasuk dalam alam pikiran para cucunya yg lahir di kota. Anak-anak yang lahir di kota adalah manusia yang dipersiapkan dalam persaingan masyarakat industrial dengan segala karakternya. Sedangkan anak-anak kampung dilahirkan dalam kultur masyarakat desa dengan segala karakternya.

Engkong Solihin menyadari bahwa yang sedang direnungkannya bukan hanya tentang para cucunya. Namun, tentang dua kutub kota dan desa, atau tentang kultur industri dan kultur agrari. Pertentangan ini muncul bersama-sama melalui penampilan para cucunya, di lebaran nanti. Bagi Engkong Solihin, pertemuan dua gaya hidup ini adalah sebuah hal yang wajar, mungkin itulah kodrat zaman.  Namun, semakin diperhatikan, Engkong Solihin merasakan bahwa interaksi cucu-cucunya berjalan tidak serasi, seperti kota memakan desa. 

“Apakah dikotomi kota-desa seperti ini merupakan kodrat Tuhan?” Pikir Engkong Solihin. “Apakah tidak ada cara lain agar kota, desa, dan perubahan yang diharapkan itu adalah sebuah bentuk sintesa yang berproses tanpa ada satu pun yang menjadi korban?”.

Engkong Solihin berjalan perlahan ke luar rumah untuk mencoba mencari jawaban pertanyaan2nya itu. Langit terlihat semakin gelap menandakan Maghrib akan menjelang. Jalan raya di depan rumahnya dipenuhi oleh mobil orang-orang kota yang hendak mudik berlebaran. 

Sambil menghela nafas panjang, dalam hati Engkong Solihin berdoa, “Semoga orang-orang kota yang mudik itu senantiasa membawa semangat silaturahmi dari kultur kota untuk kultur kehidupan desa. Bukan untuk menunjukkan superioritas kota atas desa, semoga”.

Selamat mudik kawan…

Pantang mundur dengan segala larangan…

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *