Konstruksi keilmuan di Persyarikatan memang sangat unik— ditandai berdirinya majelis tarjih yang lahir lima tahun setelah ke-wafat-an Kyai Dahlan cukup signifikan memberangus berbagai konflik dan ikhtilafiyah karena berbagai selisih personal menuju kolektifitas-dan mufakat.
Sebagai gerakan Islam kosmopolit — Persyarikatan ini lebih mengedepankan kolektifitas untuk meminimalisir konflik. Tak urung Kyai Hasyim Muzadi sangat apresiatif dengan peran dan posisi tarjih yang kuat meredam berbagai silang pendapat.
Hal mana tidak dimiliki oleh ormas besar lainnya. Yang kerap melahirkan konflik, selisih dan tak jarang saling mentahdzir sebagaimana dalam tradisi salafi karena setiap ustadznya punya otoritas penuh berfatwa yang membuat manhaj Salafi tak pernah menjadi besar karena tak pernah bersatu. Semacam ‘banyak’ tapi sendiri-sendiri
Akan halnya Tarjih, ia berfungsi meredam kemudian menyatukan dan bersepakat dalam semua urusan yang diperkarakan — yang kemudian tercermin juga dalam sistem kepemimpinan kolektif kolegial menambah kekuatan Muhammadiyah tiada berbanding.
*^^^^*
Robert Hefner pun memberi pujian bahwa Muhammadiyah adalah satu-satunya di dunia terutama dalam pemajuan pendidikan dan keilmuan — karakter kolegial menjadi sumbu yang menopang kekuatan untuk bergerak dinamis. Saya menyebutnya orkestra atau simphoni semacam federasi pemikiran dan gagasan tutur Prof Din.
Namun kolektif kolegial bukan berati tidak mengandung kelemahan — salah satunya adalah : ulama-ulama MUHAMMADIYAH sulit populair. Sebab kerja kolektif lebih dihargai ketimbang kerja individu dengan segala kebaikan dan kekurangannya.
Yang dikenal jamaah Persyarikatan adalah ‘tarjih’ sebagai lembaga atau institusi keagamaan, bukan ulama tarjih. Sebab itu ustadz Adi Hidayat, ustadz Khalid Basalamah, Gus Baha yang bekerja secara personal lebih populair karena bebas berfatwa, ketimbang Prof Yun, Prof Syamsul, Prof Wawan Gunawan, ustadz Taufiqurahman dan ulama-ulama tarjih lainnya yang tak saya sebut satu-satu yang bekerja dan berfatwa secara kolektif. Meski memiliki derajat keilmuan yang tak kalah kokoh. Bahkan ada sebagain jamaah Persarikatan yang tidak mengenal secara personal para ulama tarjih meski putusan tarjih menjadi rujukan dalam beribadah mahdhah.
*^^^^*
Dalam urusan amal usaha berlaku sistem bottomup, sedang urusan ibadah makhdhah berlaku topdown— tidak ada kewenangan tarjih ditingkat daerah atau wilayah mengambil putusan.
Tapi jujur saya belum paham, apa ada kaitan antara kolektif kolegial dengan paham sosialisme Islam — jadi apakah benar MUHAMMADIYAH itu menganut paham sosialisme Islam ? Yang dicirikan dengan kolektif kolegial dalam semua urusan, bukankah gagasan pembaharuan Kyai Dahlan juga berawal dari teologi Alma’un dengan fokus pada pengentasan kemiskinan, kesengsaraan oemoem dan pendidikan rakyat jelata. Jadi sejak awal berdiri memang berpihak pada kaum proletar, buruh dan orang-orang tertindas lainnya sebagai medan atau washilah berdakwah bukan penguasa atau politik kekuasan dalam arti leterljik
No responses yet