Foto ini diambil beberapa minggu yang lalu di Surau Rambai, surau tertua di Taeh Bukik, Payakumbuh. Dalam foto terlihat empat orang. Saya, paling kiri. Dua orang di tengah-tengah ialah sesepuh di surau. Dan yang paling kanan ialah sahabat saya, Angku Mudo Mardianto.

Kali ini saya ingin bercerita tentang sahabat saya tersebut. Kami sama-sama sekolah tingkat menengah di Kota Payakumbuh. Beliau juga tak lain ialah guru saya, sebab beliaulah yang pertama kali membawa saya untuk talqin Thariqat Sammaniyah di kampungnya. Waktu itu usia saya sekitar 15 tahun. Di kampung saya sendiri Thariqat Sammaniyah tidak mendapat tempat, karena pengaruh “Batuhampar” yang begitu kuat. Tentu saya tidak ingin mengisahkan tentang pandangan beberapa ulama Batuhampar terhadap Thariqat Sammaniyah, yang saya anggap sebatas dinamika intelektual.

Angku Mudo Mardianto, sahabat dan guru saya tersebut telah mengambil talqin dan amalan Thariqat Sammaniyah sejak masih sangat beliau; waktu sekolah dasar. Menurut qaul ulama-ulama kami, terutama dari jalur keilmuan Belubus, Thariqat Sammaniyah penting diajarkan sejak dini. Amalan thariqat, berupa zikir jahar kalimat tahlil tersebut, jika didawamkan akan membentengi diri seseorang anak muda dari godaan-godaan masa muda, dengan izin Allah. Ulama-ulama surau, dengan kearifannya, mengistilahkan Thariqat Sammaniyah dengan “Katam Kasar”, yaitu ibarat dari alat pembersih yang mampu mengkilapkan permukaan benda yang kasar. Masa remaja, belia, adalah waktu dimana seseorang biasa menunjukkan “keakuan” diri, merasa paling super, dan lain-lain, sebab masa pancaroba atau diistilahkan dengan pubertas. Salah satu benteng seseorang pada masa ini, ialah mendawamkan kalimat LAA ILAHA ILLALLLAH, agar tidak terpeleset ke arah kekhilafan yang dalam. Jikapun terpeleset, biasanya mampu berdiri tegak kembali di jalan yang sah.

Beliau, sahabat dan guru saya tersebut, suluk mengamalkan Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah lebih dahulu dari saya, jarak setahun. Tahun berikutnya, kami sama-sama suluk. Kelambu suluk juga berdekatan. Di tahun yang sama, kami sama-sama dilewakan, syukuran dengan menyembelih  kambing, dimasak, dan dimakan bersama-sama dengan jama’ah dan guru-guru dalam satu nagari.

Ada satu keistimewaan yang saya lihat dari pribadi beliau, yaitu soal “rasa”. Terutama sekali ketika beliau menyampaikan dakwah, menguraikan faham-faham tasawuf yang halus-halus. Kalimat pendek, bahkan hanya berupa ibarat-ibarat bahasa Minang, mampu membuat jama’ah terdiam faham. Ini pula yang membuat saya tidak mampu meneruskan pembicaraan saya di atas mimbar, dalam wirid pengajian di Surau Rambai beberapa minggu yang lalu tersebut. Corong mikropon langsung saya berikan kepadanya. Dengan sedikit helah saya katakan pada jama’ah, “Iko sekedar, mambontang lapiak sajo. Nan isi, ka disampaikan dek guru kito iko.” Beliaupun, setelah duduk di mimbar, pandai pula membawakan. Beliau katakan: “… harok kito ka guru kito tadi manarimo ilemu, baru ka taraso, alah dihantiannyo pulo…”. Beginilah adat kesopanan di surau. Lazimnya memang begitu.

Ini soal “rasa”, yang ibaratkan titik turun dari langit. Tidak bisa dipelajari. Meskipun banyak kitab dibaca. Atau tinggi sekolah yang dituruti. Sebab semata pemberian Allah, bekas majazi dari taqarrub kepada-Nya. Rasa yang membuat ucapan berbekas pada pendengar. Rasa yang membuat kalimat-kalimat yang diucapkan masuk ke hati sanubari, ke dalam tulang sum-sum, mengalir mengikuti peredaran darah, ke dalam darah yang setitik, rambut yang sehelai.

Saya sering bertanya tentang ulama-ulama dulu, mengapa pengajian mereka berbekas di hati murid-muridnya. Susah payah mencari jawaban, akhirnya difahami lewat “rasa” ini. Ulama-ulama tersebut membuat dzuq yang dalam. Mungkin pengajian tak banyak. Kitab yang dibaca tidak pula beragam. Hanya berputar dari Taqrib hingga Mahalli. Ajurumiyah hingga Qatrun Nada. Mengulang-ulang Jalalain saja. Mencukupi dengan Syarah Abi Jamrah. Dan lain-lain. Namun itu semua diiringi dengan dzuq, ruhani yang dalam, tanda ilmu sudah menjadi batang tubuh. Di sini letaknya pentingnya thariqat sufiyyah, sebagai jalan itu semua. Ulama-ulama dulu memati ilmunya dengan talqin thariqat.

Sebagai satu contoh, yang patut dikemukakan, ialah al-‘Allamah al-Faqih al-Sufi Syaikh Mukhtar Angku Lakuang (al-Khalidi al-Naqsyabandi) Koto Panjang Payakumbuh. Beliau generasi kedua ulama-ulama PERTI, seangkatan dengan Syaikh Zakaria Labai Sati Malalo, Syaikh Kanis Angku Tuah, Syaikh Mansur Dt. Nagari Basa Kamang, Abuya Sirajuddin Abbas, dan Abuya H. Rusli Abdul Wahid. Beliau mendirikan madrasah (pesantren) yang masa belajarnya 7 tahun. Di madrasah tersebut beliau mendidik murid-muridnya dalam berbagai disiplin ilmu agama. Hasil didikan beliau, yang saya lihat dengan mata kepala, mempunyai prinsip yang kokoh dalam akidah, syari’at, dan thariqat, tidak mau merubah-rubah pemahaman, meskipun merantau kemana pergi. Dengan apa beliau mengajar di kelas? Tentu bukan sekedar membaca dan menerjemah kitab, lebih dari itu, mengajar dengan memasukkan rasa karena muncul dari diri yang mempunyai “rasa” tersebut. Rahimahullah.

Setidaknya, ini, menjauh buah perenungan, yang akan diinap-inapkan.

*********

O ya, jika teman-teman singgah di Pasar Danguang Danguang, teman akan menemui sahabat dan guru saya tersebut, biasa berjualan, di sana. Beliau berpakaian sederhana, bahkan sekilas tidak seperti ulama. Meskipun berprofesi sebagai pengacara, namun beliau tidak meninggalkan aktifitas yang beliau lakoni sejak kecil bersama almarhum ayahnya tersebut, berjualan di pasar, berjualan sayur mayur. Zuhud yang betul-betul zhahir.   Sungai Antuan, 19 April 2021

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *