Muhammadiyah ‘atas-bawah’ adalah Islam yang toleran dan inklusif— para elite Muhammadiyah adalah representasi jamaah akar rumput yang saling terpasang dan terhubung dalam satu pergerakan.

^^^^
Stigma yang disebut dalam tesis Hendropriyono mantan kepala BIN bahwa Muhammadiyah dekat dengan paham radikal ekstrim adalah dusta— tendensius dan tidak berdasar. Setidaknja itulah hasil riset awal yang saya lakukan beberapa bulan menjelang dan sesudah Pilpres.

Ada tiga indikator yang saya coba analisis tentang perilaku warga Persyarikatan. pertama perbedaan pilihan politik, kedua keragaman dan ketiga perbedaan atau ikhitilaf dalam keberagamaan. Tiga indikator ini sudahlah cukup untuk mencandra prilaku warga Persyarikatan apakah radikal atau moderat.

^^^
Pertama: pasca Pilpres perilaku politik warga Muhammadiyah adalah yang paling elegan, dewasa dan toleran. Dalam Pilpres 2019 misalnya, warga Muhammadiyah adalah komunitas yang paling cepat melakukan recovery, adaptif dan tetap obyektif ditengah dan tidak larut dalam kepentingan politik partisan. Keberpihakan dan sikap politik warga Muhammadiyah adalah yang paling realistis dengan tetap mengedepankan kepentingan kebangsaan dan keumatan tanpa memandang perbedaan.

Hasil wawancara dan beberapa analisis tentang sikap dan perilaku para pimpinan daerah, cabang, ranting, dan jamaah akar rumput dengan pendekatan hermenetik fenomenologis menunjukkan indikasi yang sangat kuat bahwa sebagian besar warga Persyarikatan menunjukkan dedikasi dan nasionalisme yang tinggi lewat analisis ‘analog teks’ yang saya lakukan.

Muhammadiyah adalah komunitas yang cinta tanah air dan berderma untuk negara tanpa panjang pikir. Ghirah dalam menghadapi pandemi kofid 19 adalah contoh yang paling valid dan sahih untuk melihat bagaimana nasionalisme warga Muhammadiyah di beberapa titik terhadap masalah keumatan dan kebangsaan. Warga Muhammadiyah terbukti ‘paling’ loyal terhadap kepentingan kebangsaan dan keumatan dan mudah memaafkan.

^^^^
Kedua: multikultur adalah ciri lain warga Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah kerap menjadi suar yang menawan dan terdepan dalam berbagai amal kebaikan, tak heran jika Gus Dur mengatakan : ‘kemenangan dialektik adalah milik Muhammadiyah’.

Berbagai amal usaha berupa sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi bahkan masjid selalu di disain untuk kepentingan publik. Muhammadiyah tidak pernah mensyaratkan bahwa pengguna amal usaha harus Muhammadiyah atau mengikuti syarat syarat tertentu. Sebagaimana biasa atau lazim dilakukan oleh perkumpulan lain. Anda mungkin akan tercengang bila ada satu ranting dengan satu masjid ratusan jamaah, satu PAUD, TK dan diniyah hanya di gerakan oleh satu keluarga. Guru dan karyawannya diambil dari tetangga sebelah.

Indikasi lainnya adalah pengguna amal usaha itu juga warga sekitar yang bukan warga Muhammadiyah. Guru, dosen, dokter atau karyawan di semua amal usaha Muhammadiyah tempat saya melakukan riset juga dari berbagai kalangan dan latar belakang ideologi, manhaj dan aliran. Semua bisa berkolaborasi tanpa melihat skat, hal ini sangat berbeda dengan ormas sejenis yang menempatkan kesatuan manhaj sebagai syarat mutlak.

^^^
Ketiga: ikhtilaf dalam ke-beragama-an, meski mengusung jargon kembali pada al Quran dan as Sunah, memberantas takhayul, bid’ah dan khurafat dalam praktiknya tetap mengedepankan toleransi tinggi. Dengan kata lain : Muhammadiyah keras di dalam lunak saat di luar. Kukuh memegang prinsip amr maruf nahy munkar tapi toleran dalam praktik.

Warga Muhammadiyah sangat inklusif dan menerima perbedaan sebagai keniscayaan. Dengan tegas saya katakan: anda tak akan pernah menjumpai warga Muhammadiyah membubarkan pengajian atau halaqah meski itu sangat bertentangan dengan keyakinan yang mereka pegang. Sebaliknja malah sering sekali mengundang ulama atau cendekiawan yang ‘berseberangan’ ke dalam biliknya. Hal mana adalah sesuatu yang biasa bagi warga Peryarikatan.

Di beberapa tempat di mana warga Muhammadiyah menjadi minoritas mereka juga tetap aktif dan beribadah di masjid atau mushala meski berbeda manhaj. Hal mana menunjukkan bahwa warga Muhammadiyah sejatinya adalah inklusif dan dewasa dalam berbeda.

^^^^
Riset ini baru awal dan belum bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, sebab masih dalam proses perjalanan yang membutuhkan pendalaman dan pemutaakhiran data. Tapi secara global saya sudah berani memberi catatan khusus, bahwa warga Persyarikatan adalah komunitas dengan sikap tassamuh, tawazzun dan taawwun sebagai manifestasi sikap ‘puritan’ sebagaimana pernah digagas Max Webber, yang dianut hampir sebagian besar warga Persyarikatan: yaitu sikap lapang hati, militan, bekerja keras, hemat, produktif, sederhana, terpercaya, zuhud, suka membantu untuk mematahkan stigma bahwa Muhammadiyah itu fundamentalis atau radikal.

Sinyalemen AM Hendro Priyono mantan kepala BIN yang ’menduga’ bahwa Muhammadiyah memberi ruang bagi tumbuhnya radikalisme karena ada habitat yang melindungi dan memberi ruang, adalah tak masuk diakal

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *