Dan benarkah jika warga Muhammadiyah adalah yang paling terdampak secara emosional akibat kekalahan pilpres 2019 ? Jadi mari dibuktikan —

*^^^***

Larangan berpolitik praktis bagi kader Persyarikatan belum juga kering. Khittah Denpasar 2002 belum diubah pula. Maklumat nomor X bagi karyawan, pengurus, pimpinan yang ditetapkan sebagai dct dicoret dari kepengurusan juga masih benderang—-(meski kemudian dilanggar berjamaah)

Haram berpolitik praktis bagi kader. Begitu yang saya pahami dalam berbagai perkaderan yang saya ikuti. Politik praktis adalah wilayah tabu. Tak boleh diikuti apalagi berada di dalamnya. Politik praktis dianggap sebagai sumber konflik dan petaka bermula. Politik harus dijauhi. Politisinya diwakafkan.

Khittah Denpasar 2002 menyebutkan bahwa “Muhammadiyah senantiasa memainkan peran politiknya sebagai wujud dari da’wah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban”.

Inilah definisi high politik yang saya pahami—- ke-politik-an Muhammadiyah tidak bermain di wilayah praktis, apalagi ikut berebut kekuasaan, tapi berada pada ranah politik tinggi : penjaga moral, perekat kebangsaan dan rasional tidak berpihak pada kelompok atau partai tertentu. Keberpihakan Muhammadiyah adalah pada keadilan, kebenaran dan kepentingan kebangsaan dan keumatan holistik dan universal berdasar nilai nilai ketauhidan.

***^^^**

Bagaimana jika ‘high politik’ hanya mithos. Karena sejatinya tidak demikian. Dr Alfian Ketua LIPI menyebutkan dalam Islamic Modernism in Indonesian Politics, the Muhammadiyah Movement during the Dutch Colonial Period 1912-1942 (1989), menemukan bahwa karena Muhammadiyah merupakan gerakan nonpolitik, keterlibatannya berbeda dengan organisasi lain yang menjadikan politik sebagai titik tuju. Tapi disitulah menjadi kelebihan nya.

Sayangnya tidak semua warga persyarikatan tau khittah itu, dibaca pun enggan apalagi mau paham. Alih-alih menjadikannya sebagai diskursus —- kebayakan malah berpikir subyektif sendiri-sendiri — dan larut dalam pola isu-isu politik berserak. Sikap kepolitikannya tidak terpola dan cenderung nafsi-nafsi.

Konsep ‘high politik’ juga hanya gema sebab tidak memiliki definisi yang rigid sebagai acuan— tidak ada standard dan indikasi yang bisa dijadikan ukuran. Karena konsepnya yang normatif maka tak banyak yang paham dan cenderung subyektif berdasar masing-masing.

*^^^^*

Sikap politik politik warga Persyarikatan menjelang dan sesudah Pilpres adalah indikasi kuat sekali bahwa kepolitikan sebagian masih tidak sejalan dengan elitenya di tingkat pusat bahkan ada kecenderungan bertolak belakang’.

Analisis wawancara dan ‘analog teks’ hermenetik fenomenologis Paul Ricoeur, yang kami dapatkan dari para pimpinan, pengurus dan jamaah di daerah, cabang dan ranting cenderung pragmatis meski dalam wilayah internal — karena sebagian belum ‘terbiasa’ berkompetisi dalam demokrasi liberal dan sistem one man one vote —

Bahkan ada indikasi ‘banyak’ warga Muhammadiyah adalah yang paling gemar dengan berita-berita hoax yang tersebar di media sosial sebagai mainstream berpikir —paradoks ‘islam berkemajuan’ yang harusnya berpikir rasional, kritis dan mengedepankan budaya tabayyun.

Pertanyaan besarnya adalah: Bagaimana jika ‘high politik’ hanyalah mithos ? Karena sejatinya adalah ‘mualaf’ politik ? —-

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *