Mengambil pandangan egosentris, akan menutup pikiran kita pada solusi atau perspektif baru dan tindakan yg diambil dalam menyikapi problematika realitas yg dihadapi dan juga akan menghambat kita, untuk mengambil pelajaran dan hikmah peristiwa yg ada. Perkembangan potensialitas kemanusiaan juga akan terhambat, bahkan berhenti dgn jalan pintas.

Namun hati2, berpegang teguh dgn cara yg dianggap benar padahal salah, malah bisa membuat kita menjadi pribadi yg keras kepala. Jangan sampai itu terjadi pada kita, karena menjadi keras kepala, hanya akan membawa banyak masalah  diri sendiri dan orang lain. Apalagi, keras kepala yg egoistis mengatasnamakan agama dan Tuhan, menganggap tindakannya yg paling benar, paling berilmu dan paling beriman. Sehingga, aturan apapun yg dianggap menyalahi keyakinannya yg dangkal, salah semua.

Karena, manusia cenderung selalu berharap dan berpikir, bahwa orang lain di sekitarnya, akan selalu bisa memahami semua kemauan dan pemikirannya. Sifat egois yg berlebihan, membuat individu menjadi sibuk dgn dirinya sendiri dan menganggap bahwa dirinya adalah yg paling penting dan paling benar, sehingga menjadi kurang peduli dgn kondisi orang lain di sekitar.

Ketika ada masalah, memang lebih ramai yg cari “salah siapa”, tapi sebenarnya itu tidak produktif. Sebaliknya, fokuslah belajar dari pengalaman historis yg pernah terjadi. Fokus, pada upaya apa yg masih bisa dilakukan untuk perbaikan dan solusi. Dengan pandangan itu, pengalaman akan berfungsi sbg momen yg bisa diambil pelajarannya dan memungkinkan kita untuk merumuskan pendekatan yg lebih tepat dan mendapatkan hasil yg lebih baik di masa depan.

Sifat egosentris berlebihan adalah sifat buruk yg utama karena mendasari penyakit mental di atas. Tidak ada manusia yg tidak memiliki sifat egosentris, oleh karena sampai derajat tertentu sifat ini dibutuhkan untuk membentuk jati diri (self concept) seseorang, namun kebanyakan manusia sulit untuk mengendalikannya, terutama bila nilai2 moral yg membentenginya sangat tipis.

Setiap manusia, pasti memiliki sifat khawatir akan ketidakpastian sampai tahap tertentu, ini yg perlu dimiliki setiap orang, oleh karena sifat dunia yg fana ini antara lain adalah uncertainty. Tidak satupun yg sedemikian jelas dan pasti, sehingga manusia dapat dgn mudah menetapkan pilihan2nya dalam hidup. Diperlukan keyakinan yg benar dan keberanian yg besar, untuk bisa mengatasi situasi ini.

Beberapa ahli hikmah dan spiritual mengatakan bahwa penyakit mental tsb dapat diatasi, jika kita mampu mengubah cara berpikir dan cara pandang kita (mindset/paradigma). Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, oleh karena derajat penyakit mental berbeda2 dari satu orang ke orang lainnya. Bagi orang2 yg mengalaminya tidak terlalu parah, mungkin perubahan paradigma dapat diterapkan, namun jika telah parah tidak cukup hanya itu. Dalam kondisi ini, manusia akan membutuhkan ‘uluran tangan’ dari Sang Pencipta semesta alam, Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengubah dirinya dan mengubah keadaan sekitarnya.

Akan tetapi, hal ini bukan berarti manusia hanya menunggu uluran tangan tsb, karena jika demikian dijamin tidak akan menghasilkan perubahan apa2, bahkan sebaliknya dapat memperparah penyakit mental yg dialami. Sebab, harapan dari keyakinannya yg egois tidak dicapai, akan menambah pencarian kambing hitam, karena anggapannya bahwa semua orang telah melupakan Tuhan. Padahal, masa depan adalah “misteri” sebagaimana ketentuan Tuhan, kita tidak akan tahu apakah besok kita mengalami sakit atau tidak, jika merasa sangat yakin tidak mengalami apa2 karena merasa dirinya paling dekat dgn Tuhan, itu berarti telah mendahului takdir yg berlaku untuknya. Bagaimana bisa merubah kepastian nasib lebih baik, jika tidak ada upaya ikhtiar merubahnya sambil ikhtiar vertikal kepada-Nya.

Jadi bagaimana seharusnya ?

Dalam Al Qur’an dikatakan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib manusia atau suatu bangsa, apabila manusianya sendiri tidak berupaya untuk mengubahnya (QS. Ar Ra’ad 13:11). Artinya, tidak akan ada uluran tangan dari “Atas”, apabila manusia sendiri tidak mengulurkan tangannya ke Atas. Mengulurkan tangan ke Atas disini tidak dimaksudkan hanya dgn berdoa secara lahiriah, berupa ikhtiar nyata, namun juga berdoa secara batiniah. Tidak akan ada gunanya mulut kita sibuk “komat kamit”, namun hati bungkam. Menangis sesenggukan dalam berdoa, namun hati sibuk menghitung2 pahala dan dosa serta menyalahkan orang lain, atas nama ibadah yg dilakukannya.

Kunci yg utama adalah menguatkan dan memperbarui niat dan ilmu kita dalam memperdalam tancapan keyakinan. Mari kita bertanya pada diri sendiri, seberapa kuat niat kita untuk berubah dan terbebas dari penyakit mental tsb  Identifikasikanlah faktor2 yg menghambat niat tsb, lalu niatkan untuk menghilangkan satu per satu hambatan tsb, sampai akhirnya kita merasa niat kuat kita untuk berubah tidak tergoyahkan. 

Apabila kondisi tsb telah terpenuhi, maka dgn sendirinya akan tercipta “tali cahaya” antara diri kita, doa2 kita, dgn ikhtiar kita, atau lebih khusus lagi antara niat kuat dan ikhtiar kita dgn kehendak Ilahi terhadap diri kita, sebagaimana terhubungnya frekuensi antara 2 pemancar radio yg tersambung jernih dan nyata.

Dalam pelbagai pendekatan ketika berbicara agama, rasanya agama sebenarnya tidak mengajarkan, menganut, dan memberlakukan perilaku egoisme. Agama di mana pun bukan hanya Islam, sebenarnya para nabi dan kitabnya memperlihatkan anti egoisme. Agama, senantiasa mengarahkan umatnya pada suatu kepedulian yg bukan hanya tertuju pada dirinya sendiri, tetapi juga pada dunia sosialnya, bahkan jauhnya pada kepedulian atas pertanggungjawaban dan keselamatan setelah hidup di dunia.

Dalam sebagian kajian pendekatan, telah menegaskan bahwa egoisme dalam beragama oleh seseorang, pada hakikatnya adalah sikap fanatisme buta. Dalam konteks beragama, fanatisme selalu menjadi masalah. Fanatisme buta merupakan “pengkhianatan” terhadap ajaran agama sebagaimana yg difahami sendiri.

Fanatisme egois merupakan pembuktian kurang luasnya seseorang memahami perbuatan Tuhan atau ajaran agama yg dianutnya. Pada konteks ini, fanatisme secara hakiki adalah egoisme yg berbulu agama. Ujungnya kebenaran agama kadang terkubur oleh ambisi2 pemaksaan pemahaman dan keyakinan menyikapi sesuatu, dgn latar fanatisme akut, atas satu tafsir tertentu atas agamanya.

Dampak negatif dari tradisi dan perilaku egoisme beragama, dapat menjadi penghalang utama bagi terealisasinya kehidupan moral dalam kehidupan manusia. Egoisme, telah menjadi kontributor utama bagi beragam perilaku anti-sosial, tindakan berlebihan menjurus dosa dan perselisihan sosial. Kebanyakan agama, sebagian besar setuju bahwa egoisme dalam beragama akan menciptakan dua masalah besar.

Pertama, egoisme dgn pikiran dan perilaku dalam beragama, akan melahirkan tindakan yg menafikan ikhtiar dohiriyah-insaniyyah dan kemaslahatan umum. Sebagian pemikir keagamaan mengatakan bahwa, egoisme bersinonim dgn kesombongan dan ujub makhluk. Dan hampir semua, umumnya memposisikan sbg atribut merasa paling benar dan paling beriman atas kondisi yg ada, seolah Tuhan hanya berpihak kepada dirinya.

Kedua, merasa benar sendiri akan menganggu wawasan spiritual saat berhubungan dgn Sang Ilahi. Dampak dari sikap beragama yg egois tsb, dapat mengarahkan perilaku “merasa lebih unggul” dari orang lain. Dan tanpa sadar atau sadar, selalu mengutuk mereka yg tidak memiliki pandangan yg sama, memaksa orang lain supaya sama, dan bahkan memerangi dan memusuhinya dgn cara yg egois juga. Secara historis, egoisme dalam beragama merupakan salah satu paradoks terbesar, dalam sejarah manusia yg mengaku beragama.

Wallahu a’lam. semoga bermanfaat

Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi  Khodim Jama’ah Sarinyala Kabupaten Gresik

CHANNEL YOUTUBE SARINYALA

https://youtube.com/channel/UC5jCIZMsF9utJpRVjXRiFlg

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *