Saking kesengsemnya ingin bisa ketemu Nabi Khidhir, Kamid, santri ndalem yang sehari-hari ikut membantu menggarap sawah milik kiai, pagi buta memberanikan diri sowan mbah kiai Ahmad.
Dia tidak seperti santri kebanyakan, yang jedal-jedul sowan minta ijazah doa ini itu, minta doa segala rupa dan berbagai penjaluk hanya bermodal sebungkus rokok. Kamid adalah tipikal santri lugu dan mriyayi, meski dengan segala keterbatasannya. Ia pantang meminta bila tak bisa memberi lebih. Bahkan meski berstatus santri ndalem, ia tidak mau blusak-blusuk seenaknya. Ia tahu diri dan tetap menjaga marwah kyai sebagai orang yang sangat dia hormati.
Tapi pagi itu hatinya gundah. Ia tak cukup punya nyali untuk matur, menyampaikan keinginannya. Bahkan belum sempat matur, sang kiai mendahuluinya,
“Mid, ayo melu aku”, ajak sang kiai
“Nggih, yai”, jawab Kamid, sendiko dhawuh, tanpa berani menanyakan mau diajak kemana.
Keduanya pun pergi dengan berjalan kaki lewat jalan belakang pondok, menyusuri jalan yang tak biasa.
Setelah satu jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di bibir sungai. Kamid rupanya mulai kelelahan. Sementara bekal yang dibawa hanya sebungkus nasi thiwul yang tak seberapa, itupun miliki Mbah kiai yang ia bawakan. ia sendiri tak sempat membawa bekal.
Tetiba Mbah kiai Ahmad berpesan,
“Mid, kamu nunggu disini. Jangan pernah pergi sebelum aku datang. Bekal itu bisa dimakan bila kamu lapar.”
Kamid mengangguk takzhim.
Sejurus kemudian sang kiai menyeberangi sungai. Di arus sungai yang deras, Kamid hanya bisa melongo tanpa berkedip melihat kyainya berjalan di atas air dan dalam sekejap telah berada di seberang sungai.
____________
Setelah menunggu cukup lama dan blm juga ada tanda2 kiai pulang, tak terasa kantuk menghinggapi Kamid. Ia tidur cukup pulas dan baru terbangun setelah tiba2 seseorang membangunkannya,
“Bangun bangun, ki sanak..”
Agak gragapan Kamid terjaga. Sambil kucek2 mripat, samar2 dilihat sosok asing tepat ada di depannya. Tanpa menunggu sadar penuh, org itu lalu bertanya dan dijawabnya sendiri,
” Kamu sedang nunggu siapa? Mbah mad, kiaimu itu baru saja bersamaku. ia kini sdh pulang dan sengaja membiarkan kamu yg nampak nikmat tertidur pulas.”
“Lalu, bapak ini siapa?”, tanya Kamid penuh selidik.
Yang ditanya hanya tersenyum dan memberi isyarat salam, hendak pamit pulang. Kamid pun hanya bisa mengangguk dan membalas isyarat yg sama. Dan pemandangan sebagaimana saat sang guru menyeberang sungai kembali terlihat pada sosok misterius itu, hingga dalam sekejap org itu sdh berada di seberang sungai. Dari kejauhan sosok misterius itu menoleh dan kembali melambaikan tangannya ke arah Kamid.
Masih di antara sadar dan tidak, Kamid kemudian bergegas pulang hendak menemui Kiai Ahmad, menuntaskan rasa penasarannya. Sesampai di ndalem, ia langsung masuk ke ruang tamu, berharap bisa segera mendapat jawaban atas misteri org yg ia jumpai di pinggir kali.
“Mid, kamu tau siapa org yang tadi membangunkan tidurmu?”
Mendadak suara kiai terdengar dari balik kamar menanyakan apa yg menjadi rasa penasarannya.
“Itu tadi Nabi Khidhir, kekasih Allah yg lama kau rindukan. Bila kau tak menyadarinya dan merasa kecewa karena tak mengenalinya, itu artinya kau masih perlu waktu untuk membasuh diri, membersihkan segala keinginan lahir, sampai benar2 kau pantas mengenalinya dan mendapatkan kesempatan meneguk samudera ilmu hikmah darinya.”
Hening.
Jawaban sang kiai seperti menelanjanginya, bahwa ia memang belum benar tulus dan siap menerima anugrah bertemu dengan kekasih Allah itu.
*****
Kredit foto : Buku Nabi Khidhir (terjemah 2 kitab, Bughyah dan Inayah al-Muftaqir karya Syeikh Mahfuzh al-Tremasi) Dapatkan bukunya di SINI
No responses yet