Belakangan, sependek pengamatan saya sejak 2015 ketika wacana “Islam Nusantara” mulai digulirkan, para ustadz-ustadz populer yang sehari-hari ikut aktif dalam gerakan islamis-transnasional juga ikut masuk ke dalam khazanah keislam-nusantaraan. Mereka telah sering dan banyak memproduksi buku, artikel, bahkan yang paling banyak adalah video dan audio yang disebarkan di youtube. Dalam arus islamisme-isasi yang mulai menguat beberapa tahun belakangan ini, ceramah-ceramah mereka mendapat anugerah penonton hingga ratusan ribu dalam hitungan beberapa bulan. Bukan tidak mungkin jumlah itu akan bertambah dalam hitungan tahun.

Harus diakui, bahan dan data sejarah yang mereka ajukan terkadang sama dengan arus utama historiografi Islam di nusantara. Hanya saja, mereka memasukkan narasi khusus di balik itu yang dilandasi oleh nalar tertentu. Panjang untuk menceritakan ini. Setidaknya sejauh ini, nalar yang melatari para sedulur islamis-transnasional yang belakangan masuk-masuk ke dalam (pe)wacana(an ulang) Wali Songo dan sejarah Islam di nusantara ada beberapa.

Pertama, nalar jihadi. Beberapa ceramah-ceramah mereka tentang walisongo, saya belum menemukan mereka mau mengucapkan kata “sufi/tasawuf/tarekat dan sepengambilannya”. Kata yang paling mungkin mereka ucapkan adalah “santri/kesantrian/keislaman”. Lebih banyak kata-kata semacam jihad dan dakwah Islam.

Kedua, nalar politik. Singgungan-singgungan pada peta politik kekhilafahan Turki Utsmani sangat sering dihamparkan oleh mereka. Dapat ditebak dari sana bahwa mereka ingin menegaskan bahwa khilafah merupakan bagian penting dari islamisasi yang dibawa oleh para wali songo di masanya.

Ketiga, nalar purifikasi, untuk tidak mengatakan wahabi. Ini sangat mudah dilihat dari latar-belakang aktifitas keorganisasian mereka. Menjadi wajar apabila mereka tidak akan mungkin mengucapkan kata “sufi, tasawuf” dan semisalnya di sana. Atas dasar itu, mereka akan memaparkan fakta-fakta keislaman kerajaan/kesultanan berbasis simbol-simbol yang pernah dipakai. Misalnya jilbab, jubah, hafal alquran, dan sebagainya.

Keempat, nalar modern. Jika mereka membaca naskah, fakta budaya, atau apa saja yang mencirikan keislaman di nusantara, maka mereka akan memaknainya secara simbolis-modernis. Sangat mudah dipahami bahwa mereka tidak mungkin akan masuk ke dalam sistem pemaknaan lokal yang sangat mistik-sufistik. Sehingga mungkin akan dipandang sebagai sesuatu yang penuh dengan khurafat dan ketakhayyulan. Tentu itu bertentangan dengan kemodernan. Di sinilah mereka akan sangat mudah mengimani anggitan historiografi para sarjana kolonial dan sekaligus rasionalitas orang modern.

Menjadi wajar bila adegan Kanjeng Sunan Pajang atau Joko Tingkir yang dikawal oleh 40 bajul (buaya besar) untuk menyeberangi bengawan solo, oleh mereka akan dimaknai sebagai simbol seorang politisi (joko tingkir) yang berkoalisi dengan 40 perampok (bajul).

Padahal, dalam sistem pemaknaan lokal yang sufistik-mistik itu, 40 bajul itu artinya: 40 kyai ageng atau 40 guru rohani yang membabarkan perkara ilmu ketuhanan (kamahisan = kebo). Mereka menggembleng Joko Tingkir sampai tuntas menguasai ilmu lahir (janandaru) dan batin (dewandaru).

Dari mana menemukan tata-makna islam lokal itu? Pertama, dari naskah-naskah. Kedua, dari kaweruh para ulama-kyai yang mewariskannya dalam cerita-cerita tutur berlatar epistemologi lokal. Keduanya tidak mungkin dipahami tanpa memahami kelokalan sistem pengetahuan (epistemologi) masyarakat. Ketiga, dari pengalaman sufistik. Yang terakhir ini akan diberikan pada yang bersih kepala (baitul ma’mur), suci dada (baitul muharram), dan terjaga kelamin (baitul muqaddas) nya. 

Itupun, dalam pengetahuan mistik yang diberikan itu, setiap orang akan mendapatkan pengetahuan sesuai tingkatan keruhaniannya dan terutama disesuaikan dengan “darah”nya. Pengetahuan tentang masa lalu yang didapatkan melalui pengalaman sufistik seseorang berdarah ksatria, akan berbeda dengan pengetahuan tentang masa lalu yang didapatkan melalui pengalaman mistik seorang berdarah pandita. Apalagi pengetahuan tentang masa lalu yang didapatkan melalui pengalaman mistik seorang berdarah dukun, tentu jauh berbeda dengan hal yang sama yang diberikan kepada seseorang berdarah wali. Begitu seterusnya.

Anda berdarah apa? Kalau saya berdarah merah. Tukang marah maksudnya.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *