“Awak dinggo berjuang rusak ora dinggo berjuang rusak, awak dinggo ngibadah rusak ora dinggo ngibadah yo rusak, luwih becik kanggo Berjuang lan kanggo ngibadah”(KH. Muntaha Asy’ari al-Hafidz)
Dalam rangka menyambut tahun baru hijriyyah 1440 H, Haflah Khotmil Qur’an ke-41 dan Haul KH. Muntaha Asy’ari ke-14 Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Asy’ariyyah, Kalibeber, Mojotengah, Wonosobo mengadakan napak tilas perjuangan para masyayikh Pesantren Kalibeber. Napak tilas ini diwujudkan dengan berjalan kaki dari pesantren kalibeber ke makam masyayikh al-asy’ariyyah yang dimakamkan di areal Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Asy’ariyyah 2, Desa Deroduwur, Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo. Napak tilas ini juga berarti berziarah ke makam pengasuh Pesantren Al-Asy’ariyyah seperti KH. Asy’ari bin KH. Abdurrahim, KH. Muntaha Asy’ari (Mbah Mun), KH. Mustahal Asy’ari dan dzurriyyah lainnya.
Suatu hari tepatnya selepas sholat subuh berjamaah, santri putra-putri dikumpulkan di depan Masjid Baiturrahim untuk mendapatkan instruksi dari pengurus dan wejangan dari keluarga ndalem. Dalam kesempatan tersebut, pengasuh yang disampaikan Gus Nuruzzaman ini berharap santri harus memperhatikan etika selama dalam perjalanan dan menjaga nama baik Al-Asy’ariyyah. Putra KH. Faqih Muntaha ini juga mengingatkan bahwa makna dari napak tilas ini adalah bertawassul atau mencari wasilah dengan berziarah ke makam leluhur pesantren, beliau kemudian juga menyitir ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ”
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung”(QS. Al-Maidah: 35).
Kemudian, dengan bacaan sholawat dimulailah napak tilas santri PPTQ Al-Asy’ariyyah Kalibeber menuju Maqbaroh Masyayikh di Deroduwur. Dalam napak tilas yang diikuti oleh 2500 santri putra dan putri dari jenjang SMP, SMA, MA SMK salaf, tahfidz maupun mahasiswa UNSIQ (Universitas Sains Al-Qur’an) Jawa Tengah di Wonosobo. Mereka akan menempuh perjalanan sejauh 8 kilometer. Dengan berjalan kaki mereka melakukan napak tilas ini, bahkan sebagian rela untuk “nyeker” (tidak beralaskan sandal) dalam perjalanan menyusuri jalanan desa.
Selain cukup jauh yang ditempuh, jalanan yang dilalui juga naik turun bahkan sesekali menanjak. Disini ketahanan fisik sangat diperlukan mengingat beratnya medan yang ditempuh. Namun, yang cukup menghibur dalam perjalanan ini adalah pemadangan yang begitu indah dengan pepohonan tinggi menjulang, sawah terasering membentang, gemericik sungai yang tenang, hawa sejuk menyegarkan dan menyaksikan gugusan pegunungan Dieng yang membentang.
Meski dirasa memberatkan, namun hal ini tidak seberapa jika dibandingkan sebelum tahun 90-an. Dimana saat itu, Mbah Muntaha-lah yang merintis kegiatan yang dilakukan dalam rangka haflah khotmil Qur’an Pesantren yang namanya diambil dari Kyai Asy’ari, ayahanda Mbah Muntaha. Dulunya jalanan berupa jalan setapak yang hanya dapat dilewati dengan jalanan kaki. Jalanan tersebut melewati rerimbunan hutan, persawahan dan lahan penduduk.
Memang di Wonosobo sendiri masih cukup luas areal perhutanan, mengingat Wonosobo berasal dari akar kata Wono bermakna hutan dan Sobo yang berarti datang. Setelah masuknya progam TMMD (TNI Manunggal Masuk Desa), di Kalibeber barulah dibangun akses jalanan menuju desa Deroduwur. Jalanan tersebut saat ini berupa aspal dengan rute berliku-liku.
Terkait mengapa Mbah Muntaha dan sebagian besar keluarga Pesantren Kalibeber dimakamkan di desa Deroduwur, hal ini dijawab oleh KH. Atho’illah Asy’ari, putra KH. Mustahal atau keponakan Mbah Muntaha. “Sekitar tahun 1948, Belanda sempat masuk ke Wonosobo dalam rangkaian Agresi Milter Belanda II yang berpusat di Jogjakarta dan peristiwa tersebut merembet ke desa Kalibeber yang menjadi basis perlawanan rakyat” Tutur Kyai yang akrab disapa Abah Atho’ ini
“Sebelum masuk Kalibeber, Kyai Asy’ari (Abah Mbah Muntaha dan Mustahal) mengungsi ke Deroduwur untuk mencari perlindungan. Dan ketika Belanda datang, mereka menyerang dan mengobrak-abrik pesantren bahkan sempat menghancurkan mushaf peninggalan Mbah Abdurrahim (kakek Mbah Muntaha) yang ditulis tangan saat perjalanan haji yang dulu menggunakan moda kapal laut. Kisah pemusnahan mushaf inilah yang di kemudian hari mengilhami Mbah Muntaha dan santrinya untuk menulis Al-Qur’an Raksasa” tambah Gus Atho’.
“Saat dalam pengungsian itulah, KH. Abdurrahim yang sudah cukup sepuh dan sakit akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Deroduwur. Kemudian putra-putri beliau dimakamkan juga disana. Namun mulai era KH. Faqih (putra KH. Muntaha) beliau dimakamkan di sekitar pesantren Kalibeber” lanjut ulama’ yang khas dengan blangkon dan baju hitamnya ini.
Dalam perjalanan yang ditempuh kurang lebih satu jam ini yang melintasi tiga desa (Kalibeber, Derongisor, Deroduwur) ini, warga desa menyambut dengan antusias. Tak jarang mereka menyuguhkan makanan ringan dan minuman untuk sajian pelepas lapar dan dahaga perjalanan santri. Sementara itu, tenaga kesehatan pesantren juga telah sigap di beberapa titik untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan.
Santri putra di barisan awal, berjalan dengan tertib dengan komando dari pengurus dan petugas keamanan pesantren. Sementara satu kilometer di belakangnya menyusul santri yang terlihat anggun dengan busana yang berseragam sesuai dengan kompleks asrama masing-masing. Untuk mengusir rasa lelah, mereka sambil mendendangkan sholawat, jargon dan nada musik islami.
Sekitar pukul 09.00 sampailah rombongan di Areal makam Deroduwur. Secara bergantian pengurus memandu para santri untuk tahlil dan berdzikir di depan makam masyayikh al-asy’ariyyah. Dengan khusyu’ dan penuh ketakdziman mereka bermunajat mendoakan arwah leluhur pesantren. Menjelang adzan duhur, santri diarahkan untuk kembali ke pesantren dengan menumpang mobil bak terbuka untuk kembali ke Kalibeber.
Sungguh, betapa indahnya menyaksikan langsung fenomena napak tilas santri Al-Asy’ariyyah yang akan dilaksanakan kembali menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Meski terkesan sederhana dan menguras tenaga, kegiatan seperti ini cukup positif bagi santri agar mereka dapat meneladani secara langsung jejak perjuangan para masyayikh seperti yang dulu sempat dicontohkan Mbah Muntaha di masa menyantrinya yang berjalan kaki sambil merapalkan hafalan Al-Qur’annya dari Pesantren Kaliwungu, Kendal ke Pesantren Krapyak, Jogjakarta sampai Pesantren Termas Pacitan yang berjarak ratusan kilometer. Semoga inspirasi ini bisa juga dilaksanakan di pesantren atau lembaga pendidikan untuk dapat merasakan secara langsung perjuangan para guru dalam memperjuangkan kalimah Illahi di bumi persada Nusantara ini.
Wonosobo, 2 Muharram 1440 H
No responses yet