Bagi manusia yang mau menggunakan kelebihannya, perkara rumitnya hidup tak akan jadi soal. Setiap masalah pasti akan ketemu jalan keluarnya. Sebaliknya, bagi mereka yang kufur atas kemampuan otak yang telah dianugerahkan oleh Tuhannya, tak lebih hanya akan menjadi sekumpulan pemalas dan penggerutu.

Dalam hal ini, bisa dipastikan seluruh manusia tak ingin berada dalam golongan pemalas dan penggerutu itu. Persaingan berlangsung. Setiap orang berlomba kegigihan dalam hidup. Berlomba untuk jadi sukses. Berlomba untuk jadi mapan. Seleksi alam berlangsung. Dengan sportif dan kompetitif.

Meski begitu, manusia tetaplah manusia. Otak yang super canggih ternyata membuat sebagian dari mereka berrindak terlampau jauh dari yang tersebut di atas. Sebagian dari mereka itu selalu ingin dihormati dan dihargai. Selalu ingin dilayani dan dituruti. Bagi mereka, jari telunjuk adalah senjata paling canggih. Wujud manusia seperti ini, dalam masyarakat umum, bisa dilihat pada fenomena premanisme. Baik preman yang berdasi, berpeci, ataupun yang amburadul tampilannya.

Di sisi lain, anugerah mereka itu, mampu membuat sebagian dari mereka menjadi pribadi yang sungguh luhur budi. Bahkan, lebih luhur dari yang kasat yang mereka perbuat. Luhur secara jasmani dan rohani.

Tipikal manusia yang terakhir inilah yang membuat kehidupan menjadi sejuk, terhindar dari masalah, dan nyaman untuk ditempati. Beberapa dari mereka yang terpilih, didaulat oleh Tuhan menjadi Rasul. Diberi tugas oleh Tuhan untuk mengajarkan perilaku luhur budi kepada semua umat manusia. Perilaku yang patuh dan taat pada perintah Tuhan YME.

Kini, beribu tahun setelah jaman kerasulan itu, ajaran luhur budi itu bertransformasi dalam ruang lingkup yang lebih beragam. Di kelas, di ruang diskusi, di kampus, dll. Kurikulum dibuat sebagai standar pengajaran luhur budi. Para manusia yang ingin menjadi pribadi yang luhur, pun berbondong-bondong datang ke ruang-ruang itu.

Dan setelah semua rangkaian proses belajar mengajar itu selesai…. semua tiba-tiba usai. Ada banyak yang kemudian justru gagap mengelola hidupnya.

Mari kita yakini bahwa ada jenis musibah yang sebenar-benarnya ujian. Dan mari kita yakini ujian yang hampir tanpa jeda ini pasti sebuah pesan tetapi tak mudah menangkap apa maknanya.

Di hadapan pesan ini kita butuh jeda untuk memahaminya. Kita butuh berefleksi dan muhasabah dalam tingkat yang sederhana. Refleksi semacam inilah yang menolong Nabi Muhammad saw putera ‘Abdullah ketika mengalami tahun duka cita atau Ibrahim as sebelum akhirnya mendapat gelar khalilullah.

Refleksi ruhani itu membimbing setiap salik dalam kesertaannya bersama Allah untuk; teliti membaca gejala; untuk diam tetapi bukan pasif; untuk aktif tetapi tidak gaduh; untuk tenang tetapi tetap waspada.

Di Dunia Ruhani, hari-hari ini rasanya ketenangan itu telah terusik jika tidak boleh dikatakan menjadi sesuatu yang tak dimiliki lagi oleh sebagian salik.

Mereka diserang wabah budaya; gugup dalam kekayaan tetapi dengan kemiskinan masih begitu jelas diwilayah rohaninya; antri memadati shaf-shaf untuk memuaskan hasrat konsumsi tanpa ada kemampuan mengaudit diri.

Itulah mereka, salik yang tak ada bedanya dengan para pemburu dunia pada umumnya.

Lihatlah kumpulan orang diluar Dunia Ruhani sana. Mereka tengah digiring untuk menghabiskan waktu ditelevisi, untuk berhalusinasi tentang sebuah gaya hidup dan mimpi.

Memanjangkan angan-angan adalah da’wah yang digaungkan oleh kapitalisme global dengan budaya menghibur diri sebagai alatnya.

Kita, para penempuh jalan ruhani terutama, tengah dihasut untuk menjadi ngepop dan kematangan spiritualitas kita sedang dihambat.

Kegaduhan semacam ini sungguh akan menghilangkan kemampuan kita untuk berhenti sejenak membangun jeda untuk kemudian melakukan refleksi dan muhasabah diri.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *