Salah satu harta karun yang ditemukan Ahmad Saufan (w.2018) adalah beberapa kitab, baik salinan ataupun ta’liq yang ringkas. Manuskrip-manuskrip ini disinyalir koleksi milik dari Sayid Hasan Baabud, suami dari Nyai Hafsah Dimyathi, putri sulung Mbah Kiai Dimyathi.

Melihat manuskrip yang sudah rusak dan berlubang termakan rayap, butuh kerja ekstra keras untuk mengungkap isi dari manuskrip tersebut. Dilihat dari jenis kertasnya, manuskrip ini ditulis di atas kertas jenis watermark (Kertas Eropa), kertas yang umum dipakai di nusantara sejak awal abad 1800an.

Dari pengamatan singkat sang penemu, terdapat beberapa judul: Miftah Al-Shawab, Syarah Umm Al-Barahin, kitab fikih dan dua lagi belum terlacak judulnya, karena halaman tidak lengkap.

Naskah-naskah seperti ini sudah selayaknya mendapat perhatian serius sebagai khazanah koleksi berharga yang harus diselamatkan sebelum lenyap dimangsa rayap.

Lebih lengkap ulasan tentang manuskrip para masyayikh Tremas, sila baca di buku

Salah satu lembar naskah salinan kitab Umm Al Barahin koleksi beliau.

Tak bisa dipungkiri, pesantren memainkan peran yang amat besar bagi perubahan sosial. Mereka, para kiai atau Masyayikh, yang ada di garda paling depan gerakan perubahan itu, pantas menyandang predikat, yang oleh Clifford Geertz, dalam bukunya, The Javanese Kijaji, disebut sebagai Cultural broker, atau agen perubahan.

Sosok kiai yang memiliki kemampuan memainkan perannya sebagai pendidik-pamomong sekaligus sebagai  pendakwah, menjadikannya mudah melakukan akulturasi budaya di tengah masyarakat hingga mampu mendorong mereka menerima wacana kebudayaan baru di tengah-tengah mereka.

Selain perannya sebagai agen perubahan lewat pendekatan personal yang santun dan luwes di tengah masyarakat, perubahan penting yang memengaruhi perkembangan dunia intelektual diantaranya peninggalan karya-karya monumental mereka, yang terekam dalam manuskrip atau naskah-naskah ilmiah yang tersebar di berbagai media, baik daun lontar, tulang hewan, batu candi hingga lembar-lembar daluwang yang bernilai sejarah tinggi. 

Jejak peninggalan ini seperti mengisyaratkan, bahwa warisan kebudayaan dalam wujud lembar-lembar manuskrip yang berisi berbagai informasi, termasuk ilmu pengetahuan, punya pengaruh tersendiri bagi perkembangan kebudayaan, khususnya dalam perkembangan ilmu pengetahuan di lingkup pesantren khususnya, maupun dunia pendidikan pada umumnya.

Sebagai satu-satunya lembaga pendidikan yang mewarisi jejak peninggalan para kiai, pesantren punya tanggungjawab besar mempertahankan tradisi lama yang telah melahirkan perubahan besar bagi dunia pendidikan, sekaligus dituntut mampu beradaptasi dengan dinamika perubahan agar tetap survive di tengah gelombang perubahan di era revolusi industri 4.0 saat ini.

Pesan utama dari buku ini, para pembaca, khususnya para santri, tak sekadar menyadari peran dan kekuatannya, tapi juga harus berani menunjukkan jatidiri dan kompetensi keilmuan yang dimiliki. Sebagaimana pesan Gus Baha’, salahsatu ikon ulama milenial produk asli pesantren, yang disampaikan kepada para santri di sela-sela acara haflah di salahsatu pesantren di Jawa Timur, ” Kalian (para santri) harus berani mengatakan , Saya ahli Fathul Wahab, Saya ahli Alfiyah ibn Malik, Saya ahli Bukhari-Muslim dan keahlian-keahlian kitab-kitab yang lain, sebagaimana mereka, para lulusan perguruan tinggi bangga dengan kesarjanaannya.”

Berminat buku ini, Hubungi Di Sini

Sebuah pesan tersirat agar santri generasi milenial kembali “merebut” panggung dakwah dari orang-orang yang tak memiliki kompetensi, sekaligus tugas berat merawat karya warisan para masyayikh-ulama, termasuk yang masih dalam bentuk lembar-lembar manuskrip yang tersebar di berbagai pesantren di penjuru Nusantara.

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *