Semua bangkai hewan itu hukumnya najis. Yang menjadi illat najisnya adalah kematiannya. Maka haram memakan dagingnya, namun syari’at Islam masih membolehkan pemanfaatan kulit bangkai itu baik dari hewan yang boleh dimakan (kambing, sapi, kerbau, dan sejenisnya) maupun dilarang memakannya (seperti ular, harimau, buaya dan macamnya), yaitu dengan cara disamak.

Samak adalah proses menghilangkan sisa-sisa daging dan air daging yang membusuk pada kulit binatang. 

Setelah disamak, kulit tersebut boleh dimanfaatkan untuk keperluan manusia, misalnya untuk pembuatan bedug, alat-alat musik, ikat pinggang, dompet, tas, mantel, sepatu dan lain sebagainya. Ini mengindikasikan bahwa agama Islam sangat mendorong umatnya untuk kreatif dan inovatif, mampu memanfaatkan barang-barang yang tidak berguna sehingga bernilai seni dan bisnis.

Dasar hukum penyamakan itu bisa mensucikan  kulit bangkai adalah hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Abbas, yang mendengar Rasulullah Saw bersabda :

اذا دبغ الاهاب فقد طهر

IDZAA DUBIGHOL IHAABU FAQOD THOHURO”

Apabila kulit bangkai sudah disamak, maka telah menjadi suci.”

Ada pengecualian dari kasus di atas, yaitu bangkai anjing dan babi atau anak hasil perkawinan dengan salah satu binatang tersebut, maka kulit bangkainya pun tetap najis meski telah disamak. Karena kedua binatang itu sejak hidupnya sudah mengandung najis mughollazhoh (berat). Sedangkan penyamakan tersebut bisa mensucikan kulit binatang yang menjadi najis akibat kematian saja.

Juga manusia dikecualikan karena kemuliaan statusnya di sisi ALLAH (Q.S.al-Isra’ ayat 70). Maka mayatnya dan bagian-bagian tubuhnya (rambut/bulu), pun tidak najis. Di sini terlihat betapa manusia itu makhluk yang dimuliakan ALLAH baik ketika hidup maupun matinya. Manusia diberikan banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lain, seperti diberi akal, ilmu, keimanan, amal dan kelebihan lainnya.

Dasar haramnya bangkai adalah Q.S. al-Maidah ayat 3.

Pengertian bangkai menurut syariat adalah semua hewan yang telah hilang nyawanya tanpa melalui penyembelihan yang sah menurut syariat, misalnya penyembelihnya itu orang murtad/kafir, atau tidak menyebut nama ALLAH saat menyembelih.


Adapun tentang larangan penggunaan bejana atau wadah yang terbuat dari emas dan perak, serta memperbolehkan penggunaan wadah yang bukan terbuat dari keduanya, hal ini mengindikasikan bahwa ALLAH melarang hamba-hambaNya untuk hidup berlebihan-lebihan (Q.S. al-An’am : 141).  Di samping itu penggunaan wasah emas dan perak serta pakaian sutra sesungguhnya diperuntukkan bagi orang-orang kafir di dunia, sedangkan umat Islam akan boleh menggunakannya  di akhirat nanti (H.R. al-Bukhary dan Muslim).

Yusuf al-Qaradawi dalam kitab “al-Halal wal Haram fil Islam” menyatakan kaum lelaki diharamkan menggunakan emas dan sutra, dikarenakan ALLAH telah menciptakan kaum lelaki dalam keadaan lebih sempurna daripada kaum wanita, maka jika lelaki menggunakan perhiasan emas dan pakaian sutera, termasuk berlebih-lebihan (israf).

Sebaliknya kaum wanita yang diciptakan memiliki kekurangan (akal dan ibadah yang suka terhalang oleh haid, dan nifas) maka ALLAH menutupi kekurangan tersebut dengan memperbolehkan mereka menggunakan perhiasan emas dan sutra, agar wanita menjadi lebih indah, cantik, dan sempurna penampilannya.

Wallahu a’lam bish showab

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *