Meski uang bisa menyenangkan, namun kegembiraan, kesenangan, dan kebahagiaan sesungguhnya tak bisa diperjualbelikan. Maka kemampuan kita mengembangkan senyum yang paling tulus sesungguhnya bukan wujud ekspresi cara bahagia yang sederhana, sebaliknya senyum tulus itu justru kekayaan yang patut disyukuri.

Ketua PCNU Kota Bandar Lampung, Ichwan Adji Wibowo (IAW), menuangkan segala proses pergulatan batinnya dalam bentuk tulisan. Dengan berbagai latar belakang fenomena sosial tentunya, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, olahraga, dan lain-lain.

Buku setebal 221 halaman ini memaparkan delapan (8) korasan besar, pertama, menghayati spiritualitas keberagamaan. Dalam korasan ini IAW menuangkan refleksinya sebanyak 11 tulisan . disinilah spiritualitas agama menjelajah, menelisik, menyublim, mengharmoni, memengaruhi, membimbing seluruh laku kehidupan, baik di sektor privat maupun publik, tidak berhenti pada urusan simbolik dan formalitas.

Baginya, sejatinya muara keberagamaan kita adalah pada laku pikir, laku sikap, laku wicara, laku tulis, laku interaksi sosial kita yang merupakan ekspresi dari seluruh kemuliaan agama. Dalam konteks agama ekspresi itu disebut sebagai akhlak, hal. 3.

Kedua, mendedah spiritualitas moderasi NU. Dalam korasan ini IAW memaparkan dalam beberapa judul tulisan. Baginya, NU senapas dengan Pancasila dan NKRI. Kehadiran NU memiliki tiga tanggung jawab, yakni mas’uliyah  diniyyah (tanggung jawab keagamaan), mas’uliyah  ummatiyah ( tanggung jawab keumatan) dan mas’uliyah  wathoniyah (tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan), inilah mandat yang diberikan para ulama kepada NU. Menjadi tugas NU untuk selalu menjaga NKRI meski disukai atau tidak disukai, dipuji atau dicaci, dihargai atau dilupakan, karena itulah harga kesetiaan, hal. 40.

Ketiga, spiritualitas  kearifan lokal. Dalam korasan ini terdapat enam tulisan yang istimewa. Ia merefleksikan kearifan lokal  dalam berbagai perspektif. Beruntung kita yang tinggal di Indonesia, sebuah negeri yang dikaruniai Allah dengan beragam latar belakang warganya bangsanya, maka daya uji kita kita sebagai umat yang wasathiah, umat yang moderat, yang mampu menampilkan wajah Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang memiliki ruang dan waktu untuk membumikannya,

Sejalan dengan falsafah ajaran adiluhung leluhur kita, maka sejatinya karakter Aswaja an Nahdliyyah akan melahirkan pribadi yang “ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh”. Kita diajarkan bukan menjadi umat yang gampang terkaget-kaget, tidak mudah terkagum-kagum, tiba-tiba memuja-muji sesaat kemudian membenci dan mencaci. Bukan  menjadi pribadi yang mudah terpana dengan posisi, merasa diri paling besar, merasa diri paling benar,  dan seterusnya, hal. 69.

Keempat, spiritualitas mauludur rasul. Sebagai ibukota Propinsi Lampung, menurut IAW, Bandar Lampung diantara kepungan Syiar Mauludur Rasul. Pembacaan shalawat barzanji, marhaban, mahalul qiyam berulang menggema dari sudut-sudut kota, dilantunkan dengan bibir pencinta dan perindu Rasul, menghentak dan menyentak menembus langit kesadaran spiritualitas. Orang berduyun digerakkan dari satu tempat ke tempat lain, berkumpul demi satu alasan mahabaturrrasul.

Dalam konteks religiusitas, bagi IAW ritual maulid ini juga menjadi semacam jembatan yang menghubungkan ritmis kerinduan dan kecintaan pada setiap dada jutaan umat menjadi ekspresi kolosal yang mengguncang langit negeri dan menembut jagat kosmis, hal. 97.

Kelima, spiritualitas kebencanaan dan kemanusiaan. Dalam korasan kelima ini, IAW mengajak pembaca untuk arif dan bijak dalam menghadapi musibah global Covid-19. Pandemi global Covid-19 ini bukanlah cerita fiksi. Bukan dongeng di siang bolong, bukan juga informasi rekaan yang sering diprasangkai berlebihan dan dimaksudkan untuk menakut-nakuti bangsa sendiri. Ini fakta, ini pandemi global, negeri-negeri besar pun dibuat kalang kabut.

Pandemi tidak boleh merusak sendi-sendi kearifan lokal masyarakat kita, rasa simpati, dan empati tidak boleh meredup. Maka saya harus hadir ditengah kecemasan masyarakat. Saya harus membersamai mereka, meski pada saat yang sama tentu kita tidak boleh bertindak konyol, hal. 120. 

Keenam, spiritualitas mata air hikmah ber-NU. Bagi IAW, niatnya terus bergiat di NU adalah demi ndandani awak (memperbaiki diri). Bagi alumnus Jurusan Peternakan Universitas Lampung ini, menjadi NU berarti menjadi manusia beragama yang tidak membuat jidatnya berkerut-kerut, terlampau serius, sehingga tidak menyediakan kegembiraan.

Betapa nikmatnya ber-NU, sama persis nikmatnya ber-Indonesia. Silahkan bersarung sambil merokok dan sesekali menyeruput kopi. Maka menjadi NU yang sesungguhnya sama halnya menjadi Indonesia lahir batin, hal. 145.

ketujuh, spiritualitas dialektika sosial. Pada korasan ini dituangkan dalam dua belas tulisan. Baginya, belantara peradaban digital telah mengubah segalanya. Disatu sisi telah menyediakan cara dan gaya hidup, sekaligus skema baru bagi tatanan kehidupan manusia dijagad bumi yang makin tak bersekat dan tak berbatas.

Pada sisi lain, juga telah mengubah perspektif tentang panggung dan pertunjukan itu sendiri. Ia telah memporakporandakan batas ruang dan waktu dimana, siapa, kapan, pada setiap epik drama kehidupan, hal. 173.

Dan kedelapan, sisi sunyi perjalanan spiritual. Diujung tulisan pria kelahiran Bumi Ayu, Brebes, Jawa Tengah ini menyampaikan beberapa peristiwa sosial keagamaan disekitar lingkungannya.

Kenangan tersendiri bersama pendiri Pesantren Al Hikmah Way Halim Bandar Lampung, almarhum almaghfurlah KH. Muhammad Sobari, beliau tidak sekedar guru dan pembimbing spiritual saya,  tetapi juga orang tua yang penuh welas asih, yang mengajarkan istiqomah, hakekat sabar, cinta dan kesetiaan pada harakah an Nahdliyyah, hal. 206.  

Bagi Wakil Rais Syuriah PWNU Propinsi Lampung sekaligus Ketua Umum MUI Propinsi Lampung, Dr. KH. Khairudin Tahmid, M.H dalam pengantar buku ini, menyampaikan, buku ini kurang lebih menggambarkan talenta penulisnya, selain sebagai birokrat juga sebagai aktivis organisasi sosial keagamaan yang cakap dalam berbicara, sekaligus mampu menuangkan gagasannya dalam sebuah tulisan.

Buku ini terdiri 73 tulisan dan 8 korasan besar. Buku ini sangat layak untuk dibaca untuk semua kalangan, baik akademisi, santri, pengamat, birokrat, peneliti, para aktivis, dan lain-lain. Tulisannya sederhana, mudah dicerna, mengalir, serta pembaca digiring untuk menghayati disetiap baris, kalimat serta paragraf dari tulisan-tulisannya. Wallahu’alam.

IDENTITAS BUKU     :

Judul           : Duren, Kopi dan NU                        

Penulis        : Ichwan Adji Wibowo

Editor                   : Ila Fadila Sari

Penerbit      : LTN PWNU Lampung

Terbit                   : Oktober, 2020

Tebal          : xx + 221 Halaman

Nomor ISBN: 978-602-73592-4-6

Peresensi     : Akhmad Syarief Kurniawan, warga NU, tinggal di Lampung Tengah

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *