Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Otoritas memiliki beberapa pengertian, yaitu: (1) kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga dalam masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya; (2) hak untuk bertindak; (3) kekuasaan; wewenang; (4) hak melakukan tindakan atau hak membuat peraturan untuk memerintah orang lain.
Otoritas dimaksud dalam tulisan ini adalah sebuah lembaga keislaman resmi bertaraf internasional yang ditetapkan dan disepakati berwenang menetapkan sebuah keputusan kalender untuk diikuti dan dipatuhi negara-negara di seluruh dunia. Pemikiran ‘otoritas’ ini muncul di Indonesia seiring diskursus tentang perumusan kalender Islam Global, dimana adanya otoritas tunggal dinyatakan menjadi salah satu syaratnya.

Namun yang menjadi pertanyaan dan patut di nalar dan di renungkan secara cermat adalah, dalam konteks Kalender Islam Globah, perlukah otoritas tertentu? Lalu siapa pula otoritas itu dalam konteks dunia hari ini? Dalam konteks penyatuan kalender Islam secara nasional, otoritas memiliki urgensi dan memang diperlukan. Sebab masyarakat Muslim sebagai berada di satu negara memerlukan ketetapan bersifat definitif.

Hemat penulis, otoritas global dalam pengertian sebuah lembaga keislaman tertentu yang di dalamnya terdapat orang-orang dengan jabatan dan fungsi masing-masing, tidaklah perlu dan tidak pula memiliki urgensi. Sebab dalam konteks kalender Islam Global, hal yang paling penting adalah kekuatan konsep (kriteria) kalender itu sendiri untuk dapat diterima dan diterapkan di dunia, bukan siapa (otoritas) yang menetapkannya. Selanjutnya yang juga diperlukan adalah pemahaman dan kemauan tiap-tiap negara untuk menerapkan dan mensosialisasikan kepada masyarakat di negaranya masing-masing. Karena itu, otoritas dalam bentuk dan pengertian hasil konvensi dan atau kesepakatan dunia tentang kalender Islam Global tampaknya merupakan opsi dan solusi yang logis, yang ia tidak terikat atau tersemat kepada lembaga tertentu. Tentu, untuk mewujudkan hal ini tidak mudah dan memerlukan waktu yang cukup lama, disampaing masyarakat dunia juga harus mengerti urgensi, substansi, dan filosofi kalender itu sendiri.

Dalam sebuah muktamar kalender Islam bertaraf internasional di Turki tahun 2016 M lalu misalnya (yang dikenal dengan Muktamar Turki 2016), sama sekali tidak menetapkan otoritas tertentu dalam pengimplementasian konsep kalendernya. Rumusan itu lebih diserahkan secara terbuka kepada peserta dan dunia untuk dikaji dan dipelajari dan berikutnya untuk diikuti. Hal ini berbeda dengan Rekomendasi Jakarta 2017 yang dalam dua butir rekomendasinya (butir keenam dan butir ketujuh) menetapkan dan sekaligus merekomendasikan otoritas tertentu (dalam hal ini Organisasi Kerjasama Islam) sebagai otoritas tunggal global dalam menetapkan Kalender Islam Global. Berikut diktum butir keenam dan ketujuh rekomendasi tersebut,

Butir ke-6, “Bahwa Kriteria tersebut dapat diterapkan ketika seluruh dunia menyatu dengan satu otoritas tunggal atau otoritas kolektif yang disepakati. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) merupakan salah satu lembaga antar negara-negara muslim yang bisa sangat potensial untuk dijadikan sebagai otoritas tunggal kolektif yang akan menetapkan Kalender Islam Global dengan menggunakan kriteria yang disepakati ini untuk diberlakukan di seluruh dunia”. Butir ke-7, “Organisasi Kerjasama Islam” (OKI) perlu membentuk/mengaktifkan kembali lembaga atau semacam working grup/lajnah daimah yang khusus menangani bidang penetapan tanggal hijriyah internasional”.

Problemnya adalah, jika sebuah lembaga “Organisasi Kerjasama Islam” ini ditetapkan sebagai otoritas tunggal, bagaimana jika karena satu dan lain hal otoritas (lembaga) yang ditetapkan dan disepakati ini kehilangan legitimasi? Bagaimana nasib dan keberadaan kalender Islam Global tersebut? Atau, bagaimana jika terdapat dua lembaga kredibel di dunia yang sama-sama memiliki kapasitas untuk menetapkan kalender Islam Global? Lembaga mana yang akan dipilih, apa pula alasan pilihannya? Tentu, jika umat Islam dunia dihadapkan pada situasi semacam ini akan cukup menyulitkan dan berpotensi tarjadi tarik-ulur yang dapat mengabaikan substansi kalender itu sendiri.

Karena itu, otoritas kolektif dengan pengertian kesepakatan dan penerimaan negara-negara di dunia secara alami terhadap sebuah keputusan Kalender Islam Global yang dihasilkan melalui muktamar, seminar , simposium, dan sejenisnya, merupakan opsi yang paling logis dan realistis, sebab ia bersifat mengalir, dinamis, natural dan universal, yang ditunjukkan dengan secara perlahan namun pasti diterima masyarakat Muslim dunia tanpa terikat kepada satu lembaga tertentu.

Dalam Kalender Masehi sendiri, yang telah bertahan cukup lama sampai hari ini, sejatinya tidak ada otoritas (dalam pengertian lembaga tertentu) yang menetapkannnya, kalender ini diterima secara alami betapapun secara bertahap, dalam arti tidak semua negara di dunia pada awalnya menerimanya. Namun kini praktis kalender ini diterima dan digunakan di seluruh dunia tanpa ada lembaga tertentu yang menetapkan dan mengaturnya. Seperti diketahui, kalender Masehi (Gregorian) saat ini adalah hasil kesepakatan negara-negara dalam Konferensi Meridian 1884 M di Washington sebagai perjanjian internasional. Hanya saja patut dicatat, Konferensi Washington 1884 M ini sejatinya bukan untuk menentukan kalender Masehi secara langsung, namun untuk menentukan meridian utama di permukaan Bumi, dimana saat itu pilihan yang mengemuka adalah meridian yang melewati Greenwich.

Konsekuensi konferensi ini adalah awal hari dan tanggal dimulai tengah malam di titik 180 BT waktu setempat. Melalui konferensi ini pula secara perlahan menjadi tonggak mapannya kalender Masehi. Patut dicatat, penerimaan Kalender Masehi yang bertahan sampai hari ini lebih karena kompatibilitas konsep atau kriterianya, bukan karena otoritasnya.Wallahu a’lam[]

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *