Perjalanan sejarah perjuangan para pahlawan wanita di Indonesia tiada habisnya, kisah heroik dan perjuangan para pejuang wanita Indonesia dari ragam latar belakangnya. 

Ada sejarah bernuansa militer patriotik, seperti kisah Cut Nyak Dien, panglima wanita dari Aceh ini memimpin sendiri pasukannya melawan Belanda di tahun 1880an, ada Ratu Ageng permaisuri Hamengkubuwono I atau disebut juga Nyai Ageng Tegalrejo seorang Panglima wanita, pemimpin Pasukan Kawal Kerajaan Mataram putri yang disegani Belanda. Sekaligus beliau adalah Motivator Pangeran Diponegoro, cicit beliau.. 

Ada juga sejarah lama tahun 1550an, tentang perjuangan Laksamana Malayahati, seorang Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh yang berhasil mengusir armada Portugis. Begitu banyak kisah-kisah heroik para panglima perempuan yang gagah berani tercatat oleh sejarah perjuangan Indonesia.

Ada juga Pahlawan waanita Rohana Kudus sebagai perempuan yang berjuang dengan tulus.. Jurnalis dan pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia, serta mendirikan sekolah khusus perempuan tanpa rekayasa dan pencitraan.

Dalam masa yang lebih kontemporer, ada Gusti Nurul Kusumawardhani dari Mangkunegaran sebagai perempuan yg anti poligami. Paras cantik bak purnama, gadis ningrat nan multi talenta. Menolak lamaran Sukarno, Sutan Sjahrir, Sultan Hamengkubuwono IX dan pejabat negara lainnya, karena tak ingin menjadi yang kedua. Serta, membidani berdirinya stasiun radio pertama di Indonesia.

Ada Pahlawan waanita Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Dewi Sartika, Pocut Meurah Intan, Siti Manggopoh, Sultanah Safiatuddin, Nyai Ageng Serang, Ratu Kalinyamat dan jutaan pejuang perempuan lainnya yang tak pernah diagungkan oleh tinta sejarah,

Pahlawan wanita MARTHA CHRISTINA TIAHAHU srikandi dari Timur, gadis pemberani dari timur. Lahir pada tahun 1800an, disuatu desa bernama Abubu di Pulau Nusa Laut, Kabupaten Maluku Tengah. Sejak kecil dia terkenal pemberani dan berkemauan keras. Dia dikenal baik dari kalangan pejuang, masyarakat bahkan musuh atau penjajah sebagai gadis pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya. Ia selalu mengikuti ayahnya Kapitan Paulus Tiahahu dalam rapat merencanakan strategi perang.

Setelah dewasa pada usia 17 tahunan ia ikut bertempur bersama ayahnya dan Kapitan Pattimura melawan Belanda di Ulath, Saparua kabupaten Maluku Tengah. Mereka berhasil menggempur pasukan Belanda dan salah satu pasukan perempuan itu berhasil menewaskan Richemot seorang pemimpin pasukan Belanda.

Pertempuran terus berlanjut hingga pertempuran sengit di Ouw Ullath sebelah tenggara Pulau Saparua, para pejuang Maluku kalah karena kekuatan yang tak seimbang. Belanda menangkap para pejuang dan menghukum mati Kapiten Paulus Tiahahu. Martha Christina Tiahahu dibebaskan karena dianggap masih gadis. Dalam pembebasannya itu ia tetap berjuang dan kembali ditangkap Belanda.

Diatas kapal Eversten milik Belanda dia ditawan dan akan diasingkan ke Pulau Jawa. Diatas kapal itu dalam perjalanan menuju pengasingan, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir dimana masih selalu berkobar aroma perjuangannya.

Jasad beliau dimakamkan atau dilarung dilaut Banda dengan Penghormatan militer pada tahun 1818.

Namun demikian, terdapat pula perjuangan yang berlatarbelakang kultural, seperti yang dilakukan Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara di tahun 1890-an. Kartini yang lemah lembut itu justru menjadi simbol perjuangan perempuan Indonesia.

Tulisan2 ber-kesadaran dn cerdasnya sempat beredar di media cetak Belanda dan Indonesia pada masa itu. Susunan kalimat yang santun, lembut, tetapi lugas, berhasil memberikan perhatian khusus pada khalayak pembaca dari kalangan intelektual Belanda maupun Indonesia…

korespondensi surat-surat Kartini kepada para sahabat Belandanya menjelaskan semua. Dalam surat-suratnya yang dimuat di buku “habis gelap terbitlah terang”, Kartini mencurahkan pemikiran beliau, sejak masih sebagai gadis pingitan yang menunggu dinikahkan, hingga menjadi istri seorang Bupati Rembang. Cukup lama rentang waktunya, sejak surat pertama kepada Stella (Nona E.H. Zeehandelaar) tanggal 25 Mei 1899 hingga Nota Kartini pada Pemerintah Gubernemen Hindia Belanda, tanggal 19 April 1903. Emansipasi, kesetaraan gender, persamaan hak mendapatkan pendidikan antara perempuan dan laki-laki, menjadi issue penting yang berhasil di gaungkan Kartini. Sebuah kreativitas, ide, gagasan, dan inisiasi langkah yang sangat ber-kesadaran mengingat keadaan perempuan di masa itu khususnya di pulau Jawa.

Kartini kecil dibesarkan dalam lingkungan intelektual yang kental. Ayahnya, R.M. Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang yang terpelajar, open mind, jg salah satu Bupati tercerdas di eranya..  Kakak Kartini bernama, R.M. Panji Sosrokartono adalah seorang pribumi pertama lulusan Perguruan Tinggi Leiden Belanda, yang kemudian bekerja sebagai wartawan internasional karena kemampuan polyglot-nya. 

Kartini sekolh di ELS, Europees Lagere School hingga lulus pada usia 12 tahun, pendidikan tertinggi yang dapat diperoleh oleh seorang priyayi di sekolah Belanda pada masa kolonial Belanda. Di sekolah inilah Kartini mulai berinteraksi dengan teman-teman Belandanya.

Akhirnya dengan perantaraan teman-teman sekolahnya itulah Kartini mendapatkan networking di kalangan Belanda. Kartini bertukarpikiran dengan mereka, menceritakan keadaannya yang terpaksa menuruti adat-istiadat daerahnya, dan dengan sopan memuji budaya eropa yang lebih menghargai perempuan. Berbeda dengan Kartini yang semua pilihannya ditentukan oleh orangtua, teman-teman Kartini lebih beruntung karena dapat melanjutkan sekolah, serta memilih jalan hidup yang diinginkan…

Namun demikian, Kartini beruntung memiliki ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya. Beliau secara sadar membentuk Kartini menjadi pejuang untuk perbaikan nasib kaumnya. Hal itu ditandai dengan keseriusan beliau memfasilitasi Kartini dan saudara-saudarinya dengan pendidikan yang cukup serta membiarkan mereka merdeka mencari wawasan melalui bacaan, tulisan, dan korespondensi. 

Dalam usia belia, Kartini telah membaca buku Minnebrieven karya Multatuli yang berisi sindiran kepada pemerintah Belanda yang tidak adil dalam memperlakukan bumiputera. Bersamaan pada saat itu, media Belanda tengah gencar mengkampanyekan Politik Etis yang digaungkan oleh Van Deventer. Kartini juga membaca karya NY. C. Goekoop, sebuah tulisan tentang perjuangan Hylda van Suilenderb, pembela hak-hak wanita di Belanda. Tentunya bacaan-bacaan kelas berat ini membuka wawasan Kartini mengenai keadaan kaumnya yang belum mendapatkan kesetaraan pendidikan, sekaligus memahami keadaan negerinya yang sedang dieksploitasi oleh pemerintah asing. Kartini pun tersadar, beliau harus segera berbuat sesuatu.

Pada tanggal 21 Juni 1902, Kartini memberanikan diri mengajukan proposal kepada pemerintah untuk mengambil sekolah guru di Belanda. Surat itu ditujukan  kepada Tuan H.H Van Kol, seorang anggota parlemen pemerintah Belanda yang sangat berpengaruh. Dengan rangkaian kata-kata yang santun, Kartini menyebutkan tujuan sekolahnya ke Belanda, yaitu: “memberikan yang baik dari peradaban Belanda kepada bangsa kami, untuk memuliakan adat-istiadatnya; membawa bangsa itu kepada pandangan tata susila yang lebih tinggi sebagai sarana untuk mencapai keadaan masyarakat yang lebih baik dan lebih bahagia.” Selanjutnya disampaikan bahwa Kartini mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak perempuan Jawa, yang bertujuan: “agar ibu-ibu di Pulau Jawa menjadi maju dan cerdas dan akan meneruskan kemajuan dan kecerdasannya itu kepada anak-anaknya…”. 

Petikan proposal di atas memperlihatkan betapa cerdasnya Kartini. Beliau secara strategis menyampaikan tujuannya dalam persepsi seorang Belanda. 

Permintaan ini kemudian ditanggapi oleh pemerintah melalui keputusan Gubernemen tanggal 7 Juli 1903, Kartini mendapatkan beasiswa senilai 4800 gulden. Tetapi kemudian beliau memutuskan untuk menyerahkan beasiswa itu kepada Agus Salim, seorang pemuda jenius bumiputera dari Sumatera, lulusan ranking 1 HBS yang ingin melanjutkan kuliah kedokteran di Belanda. Hal ini beliau lakukan dengan tulus, bahkan tanpa mereka pernah saling kenal sebelumnya.

Pada tanggal 12 November 1903, Kartini menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, seorang suami yang sangat mencintai dan memahami perjuangannya. Bersama suaminya, Kartini berencana mewujudkan cita-citanya mencerdaskan perempuan bumiputera dengan mendirikan sebuah sekolah khusus putri. Sementara itu dalam benak Kartini melihat perjuangan bangsanya mulai bergulir kencang. Dia merasakan tangan-tangan Allah tengah mengatur nasib bangsanya, mengetuk jiwa para tokoh pejuang kemerdekaan yang saat itu masih belia, mengulik hati mereka untuk menyadari ketidakadilan yang tengah melanda bangsa yang dicintainya.

Dalam usia muda Kartini sudah punya kesadaran yang tinggi dan pandangannya sangat luas, sehingga tak ada seorang pribumipun yang menyamai pure consciunnesss atau Kesadaran nya..

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *