Beliau guru saya di MTs Mabdaul Maarif, Desa/Kec. Jombang Kab. Jember. Namanya Pak Asduki. Beliau sudah 30 tahun mendarmabaktikan ilmunya untuk mengajar para siswa-siswi di lembaga tersebut.
Rentang pengabdian yang luar biasa. Pernah, di tahun 2005, beliau mengajukan pengunduran diri kepada KH. Achmad Zaini Syafawi, pengasuh Ponpes Mabdaul Maarif. Alasannya tenaganya tidak sekuat dulu. Fisiknya mulai melemah. Kiai Achmad belum mengizinkan karena keilmuan Pak Asduki masih dibutuhkan di MTs. Akhirnya, jam mengajar beliau dikurangi. Dan, menjelang “pensiun” tahun 2018 silam, setelah sakit, beliau masih aktif mengajar, mendampingi siswa-siswi di perlombaan dan kemah pramuka, serta masih telaten mendampingi drumb band MTs manakala tampil di luar desa.
Yang saya ingat, ketika pohon jambu air di depan ndalemnya berbuah lebat, beliau dengan ringan hati memanennya, lalu membawa buah itu berkresek-kresek ke sekolah untuk dibagi kepada para siswa maupun guru. Beliau nyaris hafal semua nama anak didiknya, rekan-rekan seangkatannya, berikut tahun kelulusannya.
Pak Asduki sabar dan sangat telaten ketika mendidik kami. Mata pelajaran yang beliau ampu, antara lain Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Sejarah Indonesia dan Bahasa Jawa. Untuk dua mata pelajaran pertama, guru lain masih mampu mengampu, tapi soal pelajaran Bahasa Jawa, ini yang masih mengganjal. Beliau belum mendapatkan kader pelanjutnya yang mumpuni. Guru-guru yang lebih muda mampu menguasai beberapa komponen pelajaran muatan lokal ini, tapi soal kelancaran menulis aksara Honocoroko, menghafal tembang, serta menjelaskan falsafah Jawa, tampaknya belum ada yang menyamai kualitas Pak Asduki. Dan, benar, beliau mengakuinya. Sulit mencari anak muda yang punya minat mendalam dan ilmu yang mumpuni di bidang kebahasaan Jawa ini.
Jika saya saat ini menyukai sejarah, antara lain, karena jasa beliau. Sebab, manakala mengajar sejarah dan menceritakan sebuah peristiwa, Pak Asduki sangat atraktif. Narasinya tertata, hafal tanggal, tahun, serta pelaku sejarah. Saya masih ingat bagaimana ekspresi beliau, lebih dari 23 tahun silam, manakala menceritakan Perang Jawa. Juga bagaimana suara beliau yang bergetar saat mengisahkan Pertempuran 10 Nopember 1945.
Di tahun ini, beliau berusia 74 tahun. Walaupun secara informal sudah “pensiun”, beliau tetap hadir dalam ingatan ratusan murid yang pernah dididik. Sebab, beliau bukan pekerja, melainkan guru, murabbi, seorang pemahat jiwa bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, baginya, mendidik adalah panggilan jiwa. Yang tak bisa dinilai dari materi, tak bisa dihargai dengan nominal, dan tak bisa diwujudkan dalam piagam dan piala. Sebagai panggilan jiwa, seruan nurani, mendidik adalah bagian dari dirinya. Menyatu, manunggal, tak terpisahkan dari kediriannya.
Jumat, 2 Syawal silam, saya mengajak istri, serta Avisa dan Ilkiya, dua buah hati saya, sowan ke kediaman beliau di desa Sebanen Kec. Jombang, Kab. Jember. Sekalian saya persembahkan biografi Mbahkung saya, “Khidmah Keummatan KH Syafawi Ahmad Basyir” kepada beliau. Di dalam buku ini juga saya ulas profil singkat dan perjuangan Pak Asduki dalam pengabdiannya di MTs Mabdaul Ma’arif. Dalam kondisi fisik yang mulai rapuh, beliau menerima buku ini dengan tangan gemetar dan tatapan bahagia. Apalagi saat beliau melihat fotonya saya sertakan dalam salah satu fragmen di buku tersebut. Tatapan berbinar. Saya bahagia melihat ekspresi beliau ini.
Setelah sowan Pak Asduki, saya juga berkunjung ke Bu Hindun, guru saya di Madrasah Ibtidaiyah Al-Maarif II yang juga tinggal di desa yang sama.
Sengaja saya ajak anak-anak sowan ke para guru, semata-mata mengenalkan sejak dini bahwa ada sosok penting setelah orangtua bernama Guru. Saya ingin anak-anak mengenali dan mencintai guru ayahnya sebagaimana mereka mengenal dan mencintai kedua orangtuanya. Memperkenalkan buah hati kepada guru kita, hemat saya, adalah salah satu proses mengawali kecintaan mereka terhadap ilmu. Ini menurut saya, lho. Panjenengan bisa setuju bisa juga tidak.
****
Semoga senantiasa sehat dan panjang umur, Pak Asduki, guruku. Semoga pengabdian ilmu panjenengan menjadi penerang alam kubur, kelak, serta menjadi investasi akhirat yang pahalanya terus mengalir.
Wallahu A’lam Bisshawab
–diposting ulang dengan editing di sana-sini–
No responses yet